Oleh : Ukhtyan Muhibbah Firdaus
Semilir hembus angin membelai Azzam
bocah usia 13 tahun. Suasana riuh lalu-lalang di Rumah Sakit darurat relawan Indonesia,
Azzam terbangun dari komanya.
“Assalamu’alaikum, Shobahul
khair” sapa dokter muda berkalungkan stetoskop disampingnya.
“Alaykumusalam, Shobahul Nur. Thobibah,
hadza aina?” tanya Azzam sembari melihat sekelilingnya.
“Tenang azzam, kamu ada
diruangan dan kondisi yang baik-baik saja. Kenalkan Ana teman kerja ibumu,
panggilsaja Miss Faiza” jawab Faiza sambil merapikan Jas putihnya.
Azzam merupakan anak pertama dari
pasangan dokter Ayubi dan dokter Sarah asal Indonesia. Sejak usia lima tahun
Azzam sudah ikut tinggal di Palestina. Setahun yang lalu mereka sekeluarga
sempat pulang ke Indonesia untuk mengunjungi kampung halaman. Namun, pasca
pergolakan Gaza orangtua Azzam memutuskan untuk kembali ke Palestina menjalankan
amanah sebagai relawan medis. Jenazah Dokter Sarah sudah tiba di camp
yang jaraknya tidak jauh dari bangsal Azzam terbaring. Sarah meninggal karena dianiaya
oleh tentara Israel saat mencoba memerkosanya dan ditembak.
“Aina Ummi?” Tanya Azzam.
“Anak sholih, tenang ya! Ummi
insyallah dalam kondisi terbaik disana.” Jawab Faiza. Azzam juga menanyakan
kedua adiknya Aisyah dan Nisma. “Mereka
insyallah juga dalam kondisi terbaik”, lanjut Faiza. Muski sebenarnya Faiza
belum kuat untuk menyeritakan semuaya jika kedua adiknya telah meninggal dunia
karena tertimpa reruntuhan bangunan akibat bom Kamis tadi malam.”
Azzam mulai pelan-pelan menggerakkan
tangannya. Ada yang ia rasa berbeda, ingin ia beranjak bangun.
“ALLAHUAKBAR!!!“ pekik Azzam
memekakan telinga Faiza
Menaikan suara Azzam teriak “Miss,
dimana kakiku?” disusul keras tangisan Azzam mengalirkan air mata. Faiza
menjawab, “Semalam Azzam pulang menghafal Al Qur’an bersama Zaid, tapi
pasukan Israel mengirimkan rudal” belum selesai bicara Azzam bertanya. “Aina
Zaid?” bentak Azzam.
“Zaid insyallah dalam kondisi
terbaik.” Faiza masih coba menahan lelehan air mata. Sesungguhnya Zaid pun dikabarkan
telah meninggal dunia ditempat, terkena bom rudal.
“Hiks…hiks…Miss jangan bohong,
aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi..” tangis air mata Azzam memecah dan
rebahlah tubuhnya.
“Tidak Azzam. Ingat! kamu
masih punya Allah. Baiklah Miss akan ceritakan sesungguhnya. Ibumu Insyallah
syahidah saat terjun ke medan perang mengobati mujahidin. Ayahmu pun insyallah
juga syahid saat berusaha membela kehormatan Ibumu.” Airmata Faiza akhirnya
tak terbendung membasahi pipinya.
“Miss, Azzam ingin menyusul
mereka!!! Azzam bertekad akan menyusul mereka!!!” ketus Azzam.
“Tidak Azzam, kamu harus
istirahat cukup, obat dari Indonesia sudah datang. Kamu harus sabar, ikhlas” iba
Faiza masih menyeka teteskan airmatanya.
“Iya Miss aku tahu, Palestina kini
memang rapuh, Palestina memang lengah. Saat pulang ke Indonesia kemarin, Kakek menceritakan
padaku bahwa Bumi Palestina ini dulunya adalah tanah yang kaya, subur, makmur,
indah ternaung oleh syariah Islam. Terlebih luar biasa saat Shallahuddin Al
Ayubi bersama pasukan Islam mampu menakhlukan Al Quds dari pasukan Salib. Sampai-Sampai
Kakek memberi nama ayahku “Ayubi” karena ada harap Ayahlah yang membebaskan
Palestina kelak. Miss Faiza tahu tidak? Palestina itu dulu besarnya ibarat
Pulau Sumatera, namun kini dijarah Yahudi/Israel hingga secuil seperti Aceh.
Miss, meski aku tak lagi punya satu kaki, tapi aku masih punya keimanan. Akan
ku perjuangkan kembali tegaknya Khilafah yang menjadi satu-satunya benteng pengembali
kemuliaan Islam di pangkuan kaum muslimin. Berikan aku ikat kepala berlafadz kalimat
syahadat itu Miss!” tunjuk Azzam mengarah pada tas coklatnya.
(Flash Fiction)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami