Pertanyaan
:
1.
Ustadz, apakah barang yang dibuat oleh produsen lain tapi mendapat lisensi dari
branded (merek) utamanya, bisa disebut barang KW juga? (081316436414)
2.
Ustadz, saya baru saja membaca MU (Media Umat) tentang barang KW. Nah, saya itu
sudah terlanjur mempunyai beberapa tas KW. Terus bagaimana? Apakah tas itu
sekarang tidak boleh dipakai? Padahal tasnya lebih dari satu, sebab kalau beli
yang asli harganya mahal. (Siti Barzana, Jogja)
3. Ustadz, saya dari Bogor berjualan HP, aksesoris HP, pulsa dll. Berkaitan rubrik tanya jawab MU (Media Umat) tentang hukum jual beli barang KW, saya masih ada yang mengganjal, sbb :
(1)
Aksesoris / sparepart HP yang beredar di pasaran mayoritas barang KW,
dikarenakan barang ori (asli) susah didapat (hanya tersedia di centernya) dan
harganya mahal. Jadi pedagang dan pembeli lebih memilih barang KW.
(2)
Pembeli umumnya membeli barang KW karena butuh dan sesuai dengan kesanggupan
dana akan barang tersebut. Contoh : jika dia memiliki HP harga murah atau HP
keluaran lama kemudian ada kerusakan di casing atau baterainya kemudian dia
ingin HP tersebut tetap dapat digunakan agar tidak mubadzir dengan perhitungan
membeli barang ori tentu tidak sebanding (bahkan mungkin lebih mahal
sparepartnya) kemudian dia memilih barang KW dengan kesadaran sendiri,
bagaimana ustadz?
(3)
Untuk HP keluaran lama (jadul) perusahaan resmi sudah tidak mengeluarkan
sparepartnya lagi, tapi barang-barang KW produk tersebut di pasaran masih ada.
Bagaimana hukum menjualnya atau membelinya? (089670373707).
4.
Ustadz, apakah yang dimaksud barang KW termasuk juga fotokopi dari buku atau
kitab hasil karangan seseorang? Apakah haram memfotokopi buku atau kitab karya
tulis seseorang? (hamba Allah).
Jawaban
:
Alhamdulillah. Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan di
atas. Berikut ini jawaban kami, semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya
:
Jawaban untuk pertanyaan pertama, barang yang
Anda sebut sebagai barang yang dibuat oleh produsen lain tapi mendapat lisensi
dari branded utamanya, bukan termasuk barang KW, melainkan
disebut barang OEM (Original Equipment Manufacturer). Barang OEM
merupakan produk yang memiliki kualitas sama dengan barang original. Bedanya
dengan barang original, barang OEM tidak dibuat oleh perusahaan produsen barang
original, melainkan dibuat oleh perusahaan lain namun atas dasar lisensi/ijin
dari perusahaan barang original, dan produknya tetap menggunakan merek barang
original.
Berdasarkan fakta
hukum (manath) ini, maka menjual belikan barang OEM hukumnya mubah dan
tidak mengapa, karena bukan termasuk barang KW. Jadi karena ada perbedaan
fakta, maka berbeda pula hukumnya. Kaidah ushuliyah menyebutkan : al
hukmu ‘ala al syai` far’un ‘an tashawwurihi (hukum atas suatu
fakta [manath] bergantung pada gambaran terhadap fakta itu).
Jawaban untuk
pertanyaan kedua, barang KW yang sudah terlanjur dibeli tetap boleh digunakan,
dengan syarat pada saat membelinya Anda memang tidak tahu hukumnya haram.
Inilah yang disebut al-jahlu bil ahkam al syar’iyyah (ketidaktahuan
hukum syariah) yang dapat menjadi udzur syar’i (unsur pemaaf)
terhadap pelanggaran hukum syara’ yang sudah dilakukan.
Namun dengan catatan,
bahwa ketidaktahuan hukum itu adalah ketidaktahuan yang sifatnya umum atau
merata untuk orang-orang semisal Anda. Jika Anda, dan orang-orang semisal Anda
seperti orang-orang dalam keluarga Anda, teman-teman Anda, tetangga Anda,
kolega dan relasi Anda, juga tidak tahu hukumnya, maka berarti udzur
syar’i itu berlaku. Namun jika Anda saja yang tidak tahu, sementara
orang-orang semisal Anda mengetahuinya, maka udzur syar’i itu tidak berlaku dan
tidak ada pemaafan secara syariah. (Lihat rinciannya dalam Taqiyuddin An
Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 175).
Jawaban untuk
pertanyaan ketiga, adalah sebagai berikut :
1) Sesungguhnya hukumnya tetap haram atas penjual
dan/atau pembeli menjualbelikan aksesoris atau sparepart KW yang dilakukan
dengan alasan barang originalnya sulit diperoleh atau harganya mahal. Alasan
ini tidak dapat diterima secara syariah dan tidak mempunyai nilai dalam
pandangan syariah. Karena alasan tersebut bukanlah dalil syar’i yang dapat
mengecualikan keharaman.
Dalam hal ini kaidah
ushul fiqih menetapkan : Al ‘amal bi al ‘aam waajib hatta yaquma
daliil al khushuush. (Mengamalkan dalil umum adalah wajib hingga
terdapat dalil yang mengkhususkan/mengecualikan). (Muhammad Shidqi Al
Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Juz 7 hlm. 460).
Maka dari itu,
walaupun pembeli rela dan sadar, hukum menjual belikan aksesoris atau sparepart
KW hukumnya tetap haram, berdasarkan keumuman nash-nash yang mengharamkan jual
beli KW. Lihat kembali dalil-dalilnya dalam tulisan kami sebelumnya “Hukum
Barang KW (Tiruan)”.
( 2) Jawaban untuk pertanyaan nomor (2) ini
hakikatnya sama dengan jawaban untuk pertanyaan nomor (1) di atas. Yakni
hukumnya tetap haram menjual belikan sparepart KW untuk keperluan servis dengan
dalih mahalnya sparepart yang original. Alasan ini secara syar’i tidak dapat
diterima, karena hanya alasan berdasarkan maslahat/manfaat saja, bukan dalil
syar’i yang dapat mengecualikan keharaman. Maka dari itu hukumnya tetap haram,
karena tidak ada dalil syar’i yang mengecualikan hukum asalnya yang haram.
Ini jika yang
dijualbelikan adalah sparepart KW. Adapun jika yang dijualbelikan bukan
sparepart KW, melainkan sparepart dengan merek lain tetapi cocok (compatibel)
dengan sparepart original, hukumnya boleh dan tidak mengapa. Sebab dalam
kondisi ini tidak terjadi jual beli barang KW yang diharamkan, melainkan jual
beli barang compatibel dengan merek lain yang hukumnya boleh.
Perlu diingat dan
ditegaskan bahwa seorang muslim, siapapun juga dan apa pun pekerjaannya,
termasuk pedagang sudah seharusnya menggunakan standar perbuatan yang berasal
dari Islam, yaitu halal-haram (Syariah Islam), bukan standar manfaat (utilitarianism)
yang berasal dari masyarakat Barat yang kafir. Kaidah hukum Islam menetapkan
: al-hasanu maa hassanahu as-syar’u wa al-qabiihu maa qabbahahu as-syar’u (perbuatan
yang baik/terpuji adalah perbuatan yang dinilai baik oleh Syariah Islam, sedang
perbuatan buruk/tercela adalah perbuatan yang dinilai buruk oleh Syariah Islam.
(Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm.
140).
( 3) Adapun hukum jual beli sparepart KW karena
sparepart originalnya sudah tidak diproduksi lagi, hukumnya boleh dengan tiga
syarat sbb:
Pertama, produsen sparepart asli tersebut sudah tutup
atau sudah bangkrut (pailit). Dalam kondisi ini jika ada produsen lain yang
memproduksi barang KW dari produsen asli tersebut, hukumnya boleh. Karena dalam
hal ini tidak terjadi pemalsuan merek yang merugikan produsen asli,
mengingat produsen asli termasuk mereknya yang asli sudah tidak ada lagi secara
hukum. Tapi jika produsennya masih ada (tidak bangkrut), hukumnya tetap tidak
boleh memproduksi atau menjual belikan sparepart KW. Karena hal ini tetap merupakan
pemalsuan merek yang dapat menimbulkan dharar (bahaya) bagi
produsen, yaitu kerugian finansial atau rusaknya reputasi produsen barang
original. Karena barang KW umumnya kualitasnya lebih rendah daripada barang
original.
Dalil syarat pertama
ini adalah sabda Rasulullah SAW,”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri
sendiri atau bahaya bagi orang lain dalam Islam (laa dharara wa la dhiraara
fi al islam)” (HR Ibnu Majah no 2340; Ahmad 1/133 & 5/326).
Kedua, sparepart yang original sudah tidak terdapat
lagi pasaran. Jika sparepart yang original masih ada di pasaran (misalnya di
center-nya) meski tak diproduksi lagi, tidak boleh hukumnya menjual belikan
sparepart KW. Karena hal ini akan menimbulkan dharar (bahaya)
berupa kerugian finansial bagi produsen barang original.
Dalil untuk syarat
kedua ini sama dengan syarat pertama, yaitu hadits Rasulullah SAW yang melarang
terjadinya dhirar (bahaya bagi orang lain dalam Islam).
Ketiga, penjual wajib memberi tahu pembeli bahwa
sparepartnya adalah barang KW dan bukan barang original. Jika penjual tidak
memberitahu, hukumnya tidak boleh. Karena hal itu termasuk perbuatan tadlis
fi al bai’, yaitu menyembunyikan aib/cacat dalam berjual beli, yang telah
diharamkan oleh syariah.
Dalil untuk syarat
ketiga ini adalah hadits yang melarang tadlis fi al bai’, yaitu
sabda Rasulullah SAW,“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, dan
tidaklah halal seorang muslim menjual kepada saudaranya barang yang ada
cacatnya, kecuali dia menerangkan cacatnya kepada saudaranya.” (HR Ibnu
Majah, no 2246).
Jawaban untuk
pertanyaan keempat, yakni mengenai hukum memfotokopi karya intelektual seperti
kitab atau buku, jawabannya bahwa seseorang yang telah memiliki suatu
buku/kitab karya seseorang, boleh memanfaatkan (al-intifaa’) secara luas
selama tidak melanggar syariah, baik memanfaatkannya untuk diri sendiri ataupun
untuk orang lain, selama tidak memperdagangkan buku atau kitab itu.
Jadi hukumnya bolehnya
memanfaatkan karya intelektual secara luas selama tidak melanggar syariah.
Karena karya intelektual itu hakikatnya adalah ilmu yang merupakan hak umum
milik masyarakat luas dan menyembunyikan ilmu (kitmanul ‘ilmi) adalah
perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa
yang ditanya suatu ilmu lalu dia menyembunyikan ilmu itu, maka Allah akan
mengekangnya pada Hari Kiamat nanti dengan tali kekang dari api neraka.”
(HR Abu Dawud no 3658, Ibnu Majah no 266, Tirmidzi no 2787. Hadits shahih).
Namun meski karya
intelektual hakikatnya adalah ilmu, namun faktanya pada karya intelektual ada
unsur jasa yang bernilai harta. Unsur jasa tersebut berupa usaha/upaya (al-juhdu,
effort) dari penulisnya atau juga dari penerbitnya, seperti usaha berpikir
untuk mencurahkan ide maupun upaya berupa modal yang dikeluarkan untuk
menerbitkan dan mengedarkan buku. Padahal usaha manusia (al-juhdu, effort)
seperti itu dalam pandangan Syariah mempunyai nilai secara finansial (maaliyatul
manfaah). Hal ini ditunjukkan oleh hadits shahih bahwa Rasulullah SAW
pernah menikahkan seorang shahabat dengan mahar berupa manfaat/jasa mengajarkan
Al Qur`an, dengan bersabda”Aku nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan Al
Qur`an yang ada padamu.” (HR Bukhari, no 2186).
Imam Ibnu Rajab Al
Hanbali mensyarah hadits tersebut dengan mengatakan,’Kalau manfaat itu bukan
bernilai harta, niscaya manfaat tidak sah untuk tujuan ini [sebagai mahar].”
(Ibnu Rajab Al Hanbali, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, hlm. 123).
Maka dari itu, pemanfaatan
karya intelektual oleh pemiliknya dibatasi dengan satu syarat, yaitu tidak
boleh memperdagangkan karya intelektual itu. Jadi kalau memfotokopi buku/kitab
untuk teman atau kolega dan sebagainya, hukumnya boleh. Tapi memfotokopi suatu
buku/kitab dalam jumlah banyak untuk dijual kembali dengan mendapatkan laba,
hukumnya haram. Karena perbuatan ini merupakan tindakan memanfaatkan harta
orang lain untuk mencari keuntungan tanpa seijin pemilik aslinya. Firman Allah
SWT (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan
harta di antara kamu dengan cara yang batil kecuali dengan jalan perdagangan
atas dasar saling rela di antara kamu.” (QS An Nisaa` [4] : 29). (Lihat
Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Al-Buyu’ fi Ad-Daulah Al-Islamiyyah,
‘Amman : Darul Wadhdhah, hlm. 132).
Untuk menambah faidah,
perlu kami tambahkan bahwa hukum haramnya barang KW, termasuk juga hukum
pemanfaatan suatu karya intelektual (kitab, dsb), berlaku bagi para
produsen (atau penulis) yang secara hukum Islam terpelihara darah dan hartanya
(ma’shuum al dam wa al maal), yaitu produsen muslim, atau produsen non
muslim dari negara kafir yang negaranya tidak sedang terlibat perang secara
nyata (al harb al fi’liyyah) dengan kaum muslimin.
Adapun jika
produsennya adalah non muslim dari negara kafir yang sedang berperang secara
nyata dengan kaum muslimin, yakni yang diistilahkan dengan Ad Daulah Al
Muharibah Fi’lan (negara kafir harbi secara de
facto), seperti Amerika Serikat (AS), Israel, Inggris, Prancis, Australia,
dan semisalnya, yang kini faktanya sedang memerangi kaum muslimin di
Afghanistan, Palestina, Suriah, dan sebagainya, maka secara hukum Islam darah
dan harta mereka tidaklah terpelihara. Dengan demikan harta mereka
menjadi ghanimah bagi kaum muslimin dan halal bagi kaum
muslimin. (lihat : Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 7
hlm. 108, entry Ahlul Harb). Wallahu a’lam. (M. Shiddiq
Al Jawi, 18/02/2014).
(www.konsultasi.wordpress.com)
Keterangan :
Beberapa waktu yang lalu telah dimuat soal jawab dengan KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi tentang Hukum Barang KW (Tiruan). Ternyata banyak sekali respon / pertanyaan susulan dari para pembaca yang menanyakan hukum-hukum yang terkait. Oleh karena itu, kami muat update soal jawab tersebut. Semoga bermanfaat. (m.syariah publications.com
Keterangan :
Beberapa waktu yang lalu telah dimuat soal jawab dengan KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi tentang Hukum Barang KW (Tiruan). Ternyata banyak sekali respon / pertanyaan susulan dari para pembaca yang menanyakan hukum-hukum yang terkait. Oleh karena itu, kami muat update soal jawab tersebut. Semoga bermanfaat. (m.syariah publications.com
maaf saya gak khatam nih bacanya haha berat nih saya ndak mampu emncernanya nya :) semoga tetap manfaat buat yang laen :)
BalasHapus