Sebuah cerita antara adik dan kakak, dalam suatu percakapan, sebut saja adek perempuannya bernama Farah dan Kakaknya bernama Fauzan.
“Aku ingin bisa menjadi pemikir ideologis!”
Sebuah statement dari si adik, Farah, seorang mahasiswi yang baru saja memasuki dunia perkuliahan ia diterima disalah satu universitas swasta ilmu komputer di Yogyakarta. Farah memiliki berkarakter energik pantang menyerah, punya semangat tinggi dalam menuntut khasanah ilmu keIslaman. Namun disela-sela semangatnya ia menemui berbagai kendala untuk mewujudkan dirinya sebagai pemikir ideologis.
“aku ingin jadi pemikir ideologis kak, maksudku, aku ingin dibina islam yang lengkap-kap-kap kak, yang tak hanya membahas islam sebatas ranah ritual saja, tapi islam yang ideologis.” Sapa adeknya yang mendatangi kakaknya seusai pulang kerja.
Dengan muka tersenyum Fauzan memberikan nasehat kepada adeknya : “dek, belajar Islam untuk mengatahui gambaran utuh pemahaman Islam yang lengkap dan luas, tidak mudah loh, tak cukup hanya bermodalkan semangat saja atau hanya dengan satu, dua kali pertemuan saja. Yang namanya pemahaman ISLAM tidak cukup juga hanya didapat dengan cara mendengarkan, tetapi harus bisa diambil sebagai pemahaman. Maksudnya, dalam mengkaji Islam harus dipahami untuk diamalkan. Sebelum beramal harus punya ilmunya, beramal harus memiliki ilmu dan ilmu harus diamalkan. Ketika Islam diambil sebagai pemahaman yaitu tau, difahami dan sampai tataran implikasi diamalkan, sehingga sangat berbeda orang yang faham dengan orang yang tidak faham, misalkan saja. Ada seorang temanmu yang berkerudung tapi dia berpacaran, meskipun ia Islam dan berkerudung bisa jadi dia belum paham terkait apa hukumnya pacaran, maka disini jadi hal yang wajib bagi kamu yang sudah faham untuk memahamkannya. Sedangkan contoh orang yang faham misalkan dek Farah nie, adek tau bahwa hukum berjilbab (berpakaian gamis) dan berkerudung bagi seorang wanita muslimah adalah wajib maka dari ilmu yang adek ketahui bahwa jilbab dan kerudung wajib sesegara mungkin adek mengamalkannya, karena kedudukannya adalah wajib maka adek menjalankannya. Maka adek bisa dikatakan orang yang faham apabila adek berkerudung dan berjilbab bukan karena paksaan atau disuruh tapi karena adek tau bahwa kedudukan hukumnya adalah wajib dan Allah yang memerintahkannya.”
Sambung Farah :“Iya kak, tapi ilmu Islam ku belum banyak kak, aku ingin sekali bisa belajar Islam, tapi kok aku tidak cocok ya dengan orang yang mengajari aku Islam kak, adek ikut kajian yang kakak sarankan tapi cara penyampaian kajiannya aku tidak cocok, adek jadi ingin pindah tempat kajian saja?”
Dengan tersenyum lagi Fauzan memandang Farah. “Farah untuk mengkaji Islam yang menyeluruh memang bukan perkara yang mudah dek, butuh menghargai waktu dan butuh berproses tapi ingat berproses bukan berarti diam bukan? Untuk membangun diri kita, kita bisa paham susah dek, susah bukan berarti tida bisa, pasti bisa. ketidak mudahan itu bisa saja datang dari beberapa faktor dek, yakni :
1. Faktor lingkungan sekitar yang tidak mengkondisikan diterapkannya Islam atau bahkan tidak menjagai diterapkannya Syariah. Dampak sistemik dari sistem negeri Demokrasi saat ini salah satunya adalah mendidik kita, bahkan masyarakat saat ini dididik sistem untuk bebas, bebas pula jauh dari pemahaman Islam. Maka jangan heran apabila keluar rumah banyak yang mengumbar aurat, pacaran dimana-mana, bahkan kedzaliman kemaksiatan dimana-mana ini menjadi dampaknya ketika sistem kebebasan diterapkan di negeri ini.
2. Faktor Internal, faktor ini berasal dari diri kita. Bisa saja rasa malas, rasa ketidak ingin tauan, atau misal kita sudah semangat mengaji Islam tetapi ternyata orang yang menyampaikan pemahaman Islam tidak cocok, maka hal ini jangan membuat kita lengah, maksudnya hal yang kiranya tidak cocok bisa dilakukan tabayun (krosek) apa yang membuat ketidak cocokan tersebut, agar hambatan ketidak cocokan tersebut dapat dirubah sesuai dengan apa yang kita inginkan sehingga jangan sampai justru membuat kita semakin jauh dari gambaran Islam yang utuh.
3. Faktor keluarga, tak jarang hasil didikan sistem sekuler saat ini, keluarga juga bisa menjadi korban, imbasnya dapat menjadi penghalang kita untuk memahami Islam lebih dalam bahkan menghalangi perjuangan menerapkan syariah dalam kehidupan. Misalkan saja, ada teman kakak yang dia rasa ingin taunya tinggi dalam mengkaji islam tapi sayang orangtuanya termakan isu terorisme sehingga anaknya dilarang menkaji islam, misal lainnya terkait kewajiban berjilbab bagi wanita muslimah, diera saat ini orang tua yang belum faham terkait Islam juga menjadi korban isu phobia takut kalau anaknya dikira teroris juga atau apa, wajar hingga ada anaknya hendak melaksanakan syariah islam dengan menutup aurat mengenakan jilbab (pakaian lorong/gamis) dan kerudung ditentang. Bahkan ada jilbabnya yang dibakar hingga habis sampai si waniita tadi terima berdiam diri dirumah ketimbang harus keluar rumah tanpa berjilbab.
4. Faktor lainnya masih banyak lagi dek
Farah menyahut : “kak bukannya kajian Islam itu sama saja, maksudnya mengkaji islam itu kan bisa dimana saja dan sama aja kan?” sang kakak melihatnya sambil tersenyum lagi dan berusaha sabar menjelaskannya, begini dinda soleha : “melihat realitas saat ini, memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kelompok, organisasi, atau masa yang mengkaji tentang islam. Kakak mau tanya Apa adek pindah tempat kajian atas asas ketidak cocokan adek saja atau ada yang lainnya? Jika adek tolok ukur karna asas ketidak cocokan maka disini perlu direflesh ulang terkait standar tolok ukur adek dalam berbuat. Selama adek mengkaji dengan kajian yang kakak sarankan, adek sudah dapat ilmu tolok ukur dalam berbuat belum?” “Belum kak?” Sahut Farah. “Yahh,,memang harus didudukan dulu dek apa tolok ukur kita dalam berbuat. Tolok ukur dalam berbuat itu terikat dengan hukum Syara’ yaitu apakah perbuatan yang kita lakukan termasuk yang (Wajibkah, Sunnahkah, mubahkah, makruhkah, atau haramkah). Ini yang menjadi tolok ukurnya, menuntut ilmu hukumnya fardllu ‘ain maka menuntut ilmu tadi kita perbuat karna Allah memerintahkannya yang status hukumnya wajib ‘ain. Jika Farah melihat bahwa Islam sama saja. Apa Farah lebih memilih penyampainnya yang bagus tetapi ilmu Islam yang didapatkan Islam yang hanya parsial (sebagian saja), maksudnya parsial hanya perkara aturan Islam wilayah dimensi pertama saja (hubungan diri kita dengan Allah) atau Farah memiliki di kajian lainnya karna ranah kajian Islamnya hanya skup individu saja (hubungan diri kita dengan diri kita sendiri) fokus akhlak misalnya. Mengapa kakak sarankan adek kajian islam diteman yang kakak sarankan.
Islam diturunkan bukan sekedar sebagai agama yang mengatur ranah ibadah ritual semata yang berhubungan diri kita dengan Sang Pencipta, melainkan Islam adalah suatu aturan kehidupan yang mengatur segala aspek kehidupan kita. Jika kakak petakan ada 3 Dimensi dek :
- Dimensi 1 : dimensi hubungan diri kita dengan Allah berupa Aqidah dan Ibadah (ada Sholat, Zakat, Puasa, Haji, Shadaqoh, dll)
- Dimensi ke 2 : hubungan diri kita dengan diri kita sendiri berupa aturan Islam dalam ranah Akhlak (Jujur, bertangungjawab, amanah), makan, minum dan berbusana.
- Dimensi ke 3 : hubungan diri kita dengan sesama manusia dalam ranah publik meliputi bidang politik, bidang pendidikan, uqubat, muamalah (jual-beli), interaksi dengan lawan jenis, sistem pergaulan, sistem sosial dan lain-lain.
Apabila dicermati kembali, banyak organisasi atau lembaga yang memfokuskan di salah satunya, jika tidak fokus pada dimensi pertama yakni ibadah mahdah, pasti fokus didimensi yang ke dua yakni ranah akhlak, sebagai umat muslim kita tidak bisa mengambil Islam hanya sebagian saja, melainkan Islam harus diambli secara menyeluruh yakni 3 Dimensi tersebut.
Untuk mengetahui apa-apa yang Islam aturan secara menyeluruh tersebutkan dibutuhkan Ilmu dan ilmu itu hanya akan kita peroleh dengan pertemuan yang intensif, kontinue, apabila tidak intensif maka gambaran Islam yang kaffah ini pun tidak akan tergambar secara sempurna pula dek. Misalkan saya adek semangat sekali ingin berubah menjadi baik saat ini, saat ini pula semangat adek menggebu-gebu untuk belajar dan mengkaji islam, minggu ke dua selanjutnya adek meresa tidak sreg dengan kajiannya karena ketidak cocokan dalam penyampaian, misal minggu ke 3 adek hadir tapi sebatas datang bawa muka namun pikiran kemana-mana atau tidak fokus. Minggu ke 4 merasa hal itu tidak penting dan sama saja dengan kajian islam yang lain. Maka disini kakak tegaskan butuh kesabaran dek dalam thalabul ilmi apalagi dalam memahami ISLAM yang begitu besarnya, butuh kesabaran, butuh menghargai waktu yang lama, serta intensif (continue). Agar gambaran Islam yang utuh bisa didapat, sehingga adek mau dakwah menyampaikan kebaikan atau berbuat amalan pun punya bekal ilmunya.
Kakak sarankan paling tidak adek mengkaji minimal 3 bulanlah, kalau dalam 3 bulan adek tidak mendapatkan pemahaman ISLAM yang utuh, silahkan mencari majelis ilmu Islam yang lain yang lebih ideologis :)
Farah ikut tersenyum, “oke kak, adek akan semangat dan bersabar menuntut ilmu sembari mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah adek dapatkan.”
Adzan magrib sudah berkumandang kemudian mereka masuk rumah. [PI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami