Masîrah secara harfiah berarti perjalanan, baik dengan diam maupun disertai dengan pembicaraan. Dalam kamus al-Mawrîd, disebutkan bahwa masîrah berarti march, atau long march; juga disamakan dengan demonstration?meski yang terakhir ini lebih tepat disebut dengan muzhâharah.1
Dalam konotasi etimologis, memang ada perbedaan antara masîrah dan muzhâharah. Bagi kaum sosialis, muzhâharah (demonstrasi) itu dilakukan dengan disertai boikot, aksi pemogokan, kerusuhan, dan perusakan (teror). Targetnya agar tujuan revolusi mereka berhasil dilakukan.2 Sedangkan masîrah tidak lebih dari medium untuk menyampaikan pendapat dan tuntutan, ataupun bantahan terhadap opini atau kebijakan yang dijalankan oleh para penguasa; bukan hanya pemerintah, tetapi semua kelompok yang memegang kekuasaan? bisa legislatif, eksekutif, yudikatif, partai yang sedang berkuasa, ataupun kelompok yang menjadi sandaran kekuasaan; seperti polisi dan militer. Pendapat, tuntutan, atau bantahan tersebut disampaikan sebagai bentuk seruan (dakwah) atau koreksi (muhâsabah); tanpa disertai dengan upaya-upaya yang justru bertentangan dengan misi dakwah dan muhâsabah itu sendiri? seperti aksi pemogokan, kerusuhan, dan teror.
Karena itu, hukum asal masîrah itu sendiri mengikuti hukum uslûb yang status asalnya adalah mubah. Sebagaimana uslûb (cara) yang lain, masîrah sebagai salah satu uslûb juga bisa digunakan untuk melaksanakan kewajiban, seperti menyampaikan seruan kepada para penguasa yang zalim atau mengoreksi kebijakan mereka. Hal ini dalam rangka melaksanakan sabda Nabi saw.:
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya jihad yang paling baik adalah (menyatakan)pernyataan hak kepada penguasa yang zalim." (HR al-Hakim)
Karena itu, statusnya sebagai uslûb yang mubah tetap tidak akan berubah menjadi wajib; sekalipun uslûb tersebut bisa digunakan untuk melaksanakan dan menyempurnakan suatu kewajiban.
Sebagai uslûb yang memang mubah, masîrah tidak boleh diwarnai dengan perkara-perkara yang diharamkan, seperti aksi pemogokan, kerusuhan, dan teror; termasuk di dalamnya adalah pernyataan-pernyataan yang disampaikan pada saat masîrah. Karena itu, dalam hal ini harus diperhatikan tiga ketentuan sebagi berikut:
- Al-jur?ah bi al-haq, yakni lantang dan berani dalam menyuarakan kebenaran (Islam);
- Al-Hikmah fi al-Khithâb, yakni bijak dalam menyampaikan seruan (orasi);
- Husn al-Hadits, yakni baik dalam tutur bahasa.
Mengenai boleh-tidaknya wanita melakukan masîrah, jelas hukumnya mubah:
Pertama, dilihat dari aspek keikutsertaan mereka dalam long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Keikutsertaan mereka dalam hal ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya, pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan perjalanan tersebut.3
Kedua, dilihat dari aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya juga mubah; dilihat dari sisi bahwa suara wanita jelas bukan merupakan aurat. Ini dibuktikan dengan tindakan para sahabat laki-laki yang biasa bertanya kepada 'Aisyah, jika mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw.
Di samping itu, bisa dilihat dari sisi penyampaian pendapat atau protes. Dalam hal ini, Ijma' Sahabat telah menyatakan kemubahan sikap seorang wanita memprotes kebijakan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap Umar bin al-Khatthab selaku khalifah dalam kasus penetapan mahar. (Lihat penuturan Abu Hatim al-Basti, dalam Musnad sahihnya, dari Abu al-Ajfa' as-Salami).
Dalam hal ini, tak seorang sahabat pun yang mengingkari tindakan wanita tersebut; mereka justru mendiamkannya. Padahal, tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan semua orang, dan jika bertentangan dengan hukum, seharusnya perkara tersebut diingkari; tetapi kenyataannya tidak.4
Tindakan muhâsabah semacam ini juga telah dilakukan oleh para sahabat wanita, seperti yang dilakukan oleh Asma? binti Abu Bakar ketika mengoreksi tindakan para penguasa Bani Umayah yang selalu menghina keluarga ?Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid.5
Dalil-dalil di atas dengan jelas membuktikan, bahwa masîrah (long march) sebagai sebuah uslûb (cara) untuk berdakwah dan menyampaikan pandangan hukum syariat atau protes terhadap pelanggaran hukum syariat jelas mubah. Kemubahan tersebut juga berlaku bukan hanya untuk kaum pria, tetapi juga untuk para wanita. Sebagaimana dalil-dalil dan alasan yang dikemukakan di atas. Wallâhu a'lam.
Catatan Kaki
- Ba'albakki, Qamus al-Mawrid: Arabiyyah-Injeliziyyah, materi: Masirah.
- V.I. Lennin, Where to Begin, dalam V.I. Lenin, Collected Works, ce IV, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1961, V/13-24.
- Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, ed. Thaha 'Abd ar-Ra'uf Sa?ad, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1411, V/15.
- Al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur?ân, ed. Ahmad 'Abd al-'Alim al-Barduni, Dar as-Sya?b, Beirut, cet. II, 1372, V/99.
- Al-Ya?qubi, Târîkh al-Ya?qûbi, Dar al-Kutub al-?Ilmiyyah, Beirut, t.t
Artikel 2
Islam memandang bahwa antara kaum lelaki dan kaum wanita sama-sama memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu secara umum hukum yang dikenakan kepada kaum lelaki juga dikenakan kepada kaum wanita. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw. Bersabda: “Sesungguhnya para wanita itu saudara kandung kaum laki-laki” (HR Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Di sisi yang lain bahwa kaum lelaki tidak sama seratus persen dengan kaum wanita. Allah SWT berfirman: Maka tatkala isteri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.”(QS Ali Imran 36).
Sehingga menurut pandangan Islam kesetaraan gender tidak dapat diberlakukan seratus persen. Kaum lelaki memiliki spesifikasi sebagaimana juga kaum wanita memilikinya. Jika Allah memiliki sifat Jalal (perkasa) dan Jamal (indah), maka sifat Jalal itu banyak diberikan pada kaum lelaki dibanding kaum wanita. Begitu juga sifat Jamal banyak diberikan kepada kaum wanita ketimbang kaum lelaki.
Demikianlah Allah SWT menciptakan segala sesuatu secara seimbang dan harmonis. Allah SWT. Menciptkan kaum lelaki sebagai qowwam (pemimpin dan pelindung) kaum wanita. Allah SWT. Berfirman, artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS An-Nisaa 34).
Dan Allah menciptakan kaum wanita yang memberikan sakinah (penyejuk hati) bagi kaum lelaki. Allah SWT berfirman, artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS Ar-Ruum 21).
Jika keseimbangan dan fitrah ini dilanggar, maka yang terjadi adalah kerusakan-demi kerusakan. Rasulullah saw. Bersabda: “Tidak akan berjaya selama-lamanya suatu kaum yang mengangkat wanita menjadi pemimpin”(HR Bukhari).
Diantara hukum yang memiliki perbedaan antara kaum lelaki dan wanita antara lain sbb: Sholat jamaah di masjid, shalat Jumat, adzan dan iqomah, batas menutup aurat, ziarah qubur, mencari nafkah, jihad dan lain-lain.
Adapun demonstrasi atau yang sejenisnya, seperti mukhoyyam (kemping), outbound, olah raga dan lain-lain adalah sesuatu yang secara umum hukumnya mubah bagi kaum lelaki dan wanita. Jika hal itu terkait dengan i’dad (persiapan jihad), maka wajib hukumnya bagi kaum lelaki dan dibolehkan bagi kaum wanita. Oleh karenannya, jika aktifitas tersebut akan melibatkan kaum muslimah, maka harus memperhatikan dhawabit (ukuran-ukuran) yang sesuai dengan fitrah dan adab-adab Islam terkait dengan kaum muslimah tersebut. Dhawabit itu adalah sbb:
A. Fitrah dan tugas asasi akhawat muslimah sebagai ibu rumah tangga demi mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS Ar Ruum: 21 ).
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS Al Ahzab 33).
Hadits Rasul saw.: Artinya: “Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anaknya dan dia bertangungjawab atas mereka” (HR Muslim).
Sehingga pelibatan akhwat muslimah dalam kegiatan tersebut bersifat terbatas. Tidak semua akhwat muslimah dapat mengikuti acara tersebut dan kesertaan mereka sangat terkait dengan marhalah (tingkatan) usia dan kondisi akhwat tersebut.
B. Adab-Adab Islami, yaitu sbb:
1. Dilakukan Secara Terpisah dengan Kaum Lelaki (Tidak Ikhtilath) dan Menjauhi Khalwah.
Hadits Nabi SAW: Artinya: “Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita karena yyang ketiganya adalah syetan” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
2. Ghodhdhul Bashar (Menahan Pandangan) Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaknya mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dangan janganlah menampakkan perhiasannya …” ( QS An Nuur 30-31)
3. Iltizam (Komitmen) dengan Pakaian Syar’i.
Allah SWT berfirman: Artinya: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu?min: ?Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ( QS Al- Ahzab 59).
4. Hendaknya dilakukan akhwat sesuai dengan kadar kebutuhannya, tidak menimbulkan fitnah dan tidak mengabaikan tugas asasinya.
Kaidah Fiqhiyah menyebutkan: Hajat diukur sesuai dengan batas-batas kebutuhannya
5. Mendapat izin suami atau mahramnya
Hadits Nabi saw.: Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ia mendengar Nabi saw bersabda:” Tidak boleh seorang lelaki berdua dengan wanita kecuali bersama mahramnya, dan tidak boleh wanita bepergian kecuali dengan mahramnya”. Berkata seseorang: “Wahai Rasulullah sesungguhnya istri keluar untuk naik haji, dan saya diwajibkan mengikuti perang ini dan itu.” Rasul saw.bersabda:” Pergilah berhaji bersama istrimu! (Muttafaqun ‘alaihi)
C. Kaidah Fiqhiyah Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib.
Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib. Dan demonstrasi adalah sarana yang sangat efektif dalam melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Dengan demikian bahwa demonstrasi sebagai salah satu sarana da’wah dan amar ma’ruf nahi mungkar serta jihad adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dan harus dilakukan baik oleh ikhwan (kaum muslimin) maupun akhwat (kaum muslimat), demi tegaknya nilai-nilai kebenaran dan keadilan, membrantas kezhaliman dan kebatilan. Dan umat Islam harus mendukung setiap upaya kebaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai Islam demi kejayaan Islam dan kemashlahatan umat. Dan jika dalam keadaan yang dibutuhkan, akhwat muslimah dibolehkan tampil dan berorasi di depan umum dengan senantiasa menjaga adab-adab Islam. Wallahu ‘alam bishawaab.
Sumber : www.syariahonline.com