Abdus Salam (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jawa Timur)
Pro dan Kontra UU APBN-P 2012 Pasal 7 ayat 6a di tubuh parlemen merupakan representasi dari carut marutnya kehidupan politik di negeri ini yang lebih menonjolkan politik kekuasaan elite bukan politik pelayanan urusan masyarakat/rakyat –riayatus syuunil ummah-. Ada dua kubu di tubuh parlemen antara kelompok parpol yang sepakat dengan substansi Pasal 7 ayat 6a diwakili oleh Parpol Penguasa seperti Demokrat, PPP, PAN, PKB dan Golkar yang memainkan peran strategis dengan politik dua kakinya yang disinyalir melakukan transaksi politik dengan Demokrat atas pasal 18 UU APBN-P 2012 sebagai kompensasi tetap menggoalkan eksistensi Pasal 7 ayat 6a oleh Parpol Penguasa, di lain pihak Kubu Parpol Oposisi yang menolak substansi Pasal 7 ayat 6a diwakili oleh PDI-P, Hanura, Gerindra dan PKS yang belakangan mengambil sikap politik menjadi oposisinya Koalisi dan memainkan peran penting menciptakan arus baru perlawanan sebagai bagian dari strategi investasi politik menjelang Pilpres 2014.
Kubu oposisi melihat bahwa kebijakan Pemerintah/Penguasa Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012 hanyalah menjadi legitimasi yuridis formil kebijakan kenaikan BBM yang benar-benar tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Sebaliknya Kubu Penguasa/Pemerintah dengan strategi status quonya menilai bahwa substansi Pasal 7 ayat 6a sudah pas karena selain tidak bertentangan dengan konstitusi tetapi juga atas dasar pertimbangan perlunya Pemerintah diberikan otoritas/kewenangan untuk melakukan kebijakan yang tepat tentang kenaikan BBM ini dengan standart kenaikan atau penurunan ICP (harga bahan mentah) minyak internasional sebesar 15 % sebagai jalan untuk menyelamatkan perekonomian negara, APBN, dan beberapa alasan lain yang banyak rakyat hampir bisa dipastikan tidak memahaminya karena lebih banyak alasan tekhnis kebijakan publik ketimbang logika sederhana pemenuhan hajat hidup rakyat pada umumnya.
“Rakyat dipaksa untuk mengikuti dan harus tahu logika kebijakan politik Pemerintah/Penguasa yang diambil bukan sebaliknya Penguasa yang harusnya memahami dulu persoalan Rakyat secara mendasar dan menyeluruh lalu setelah itu dijadikan tolak ukur untuk merumuskan kebijakan politik yang tepat dan pro rakyat”. Bukti bahwa kebijakan politik Pemerintah/Penguasa tidak merepresentasikan aspirasi rakyat adalah bahwa meski ada hasil survey yang dilakukan LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang menyatakan bahwa mayoritas rakyat negeri ini sejumlah 86,6 persen menolak/tidak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM, Pemerintah tidak melihat ini sebagai hal serius yang dijadikan pertimbangan utama untuk merumuskan kebijakan. Sementara di lain pihak sikap perlawanan yang dilakukan oleh Kelompok Partai Oposisi terhadap kebijakan Pemerintah ini masih menyisakan beberapa pertanyaan besar apakah sebagai bagian dari konsistensi potitioning sikap politik yang –waton berbeda- atau upaya menarik simpati rakyat sebagai investasi politik kekuasaan menuju kursi kekuasaan politik yang dicita-citakan atau sebagai sebuah strategi keniscayaan dalam peta konstelasi politik Demokrasi yang tidak jelas rumusannya alias –multi tafsir-. Pada intinya baik Partai Kubu Pemerintah maupun Partai Kubu Oposisi saat ini tengah memperlihatkan sebuah adegan fragmen atau sandiwara politik kekuasaan yang semakin membuat rakyat bingung, membuat rakyat prihatin, membuat rakyat gak peduli, membuat rakyat tidak klik nuraninya dan membuat rakyat semakin menderita batin di tengah penderitaan riil rakyat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Belum pernah secara serius dilakukan kajian tentang implikasi kebijakan politik Pemerintah dalam beberapa persoalan termasuk Kebijakan Kenaikan BBM terhadap rakyat meski banyak data menunjukkan semakin meningkatnya angka kemiskinan seperti Data BPS tahun 2010 saja terdapat sejumlah 100 juta orang miskin termasuk juga angka kemiskinan di Jawa Timur sebagai salah satu barometer Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Kabid Statistik sosial BPS Jawa Timur bahwa Per-September 2011 terdapat sejumlah 5.227.310 jiwa dengan income per-capita 225 ribu rupiah.
“Pemerintah yang harusnya melayani rakyat justeru secara sistemik di banyak kasus kebijakan politik yang dilahirkan dan diterapkan dipaksa oleh hegemoni sistem politik yang diterapkan di negeri ini semakin menyakiti rakyat, menzalimi rakyat, mengkhianati rakyat dan membohongi rakyat”. Ketidak seriusan untuk memperhatikan bagaimana keadaan rakyat sebagai titik tolak untuk merumuskan kebijakan politik pemerintah yang tepat, bijak dan benar semakin terlihat dari semakin gencarnya diperbincangkan akhir-akhir ini tentang standart presentase Parliamentary Treshold pada pembahasan RUU Pemilu. Para Elite Politik dan Elite Penguasa melalui Partai Politiknya sibuk untuk merumuskan kalkulasi angka dukungan massa ketimbang mengedepankan ketulusan dan kesungguhan untuk memperhatikan kalkulasi angka seberapa jauh persoalan rakyat bisa dipahami, diteliti dan kemudian dipecahkan. Ironis di sebuah negeri yang katanya orang dulu –gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo- dihadapkan oleh problem kehidupan politik yang carut marut akibat penampilan para elit politik, elit penguasa, aktor politik dan partai politik dalam konstelasi percaturan politik yang sarat dengan banyak barter kepentingan politik, bargaining politik di tengah keadaan semakin melambungnya utang luar negeri sampai mencapai angka 1.800 triliun rupiah, kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran, korupsi yang menggurita, pemborosan anggaran negara untuk belanja birokrasi, sumber daya alam yang banyak dieksploitasi asing, legislasi UU/aturan yang tidak pro-rakyat, korporasi negara, mafioso hukum-peradilan dan banyak persoalan lain yang semakin mendorong sebuah pertanyaan besar sudah tepatkah pilihan sistem politik yang disepakati diterapkan di negeri ini ?
Demokrasi, Pilihan Sistem Politik sebagai Jalan Dominasi Penjajahan Asing
Meski mengalami pengertian yang luas dan perumusan definisi yang multi tafsir antara sebagai sebuah sifat/karakter dari kehidupan politik ataukah sistem penyelenggaraan pemerintahan/kenegaraan tapi yang jelas Demokrasi memiliki karakter utama diantaranya bahwa rumusan produk legislasi dalam bentuk aturan atau undang-undang itu menjadi otoritas/kewenangan manusia. Dengan kata lain, bahwa manusialah yang berhak sekaligus berwenang untuk menciptakan aturannya sendiri –as siyadah lil ummah-. Disinilah letak paradoks Demokrasi yang melahirkan kegamangan bagaimana mungkin manusia mampu secara benar merumuskan aturannya sendiri. Dalam konteks Demokrasi, saat perumusan sebuah aturan atau undang-undang maka banyak lahirnya undang-undang adalah representasi sebuah kompromi di antara berbagai kepentingan yang beredar di tengah-tengah rakyat. Realitasnya, yang banyak terjadi adalah hegemoni kekuasaan suara mayoritas terhadap suara minoritas di tubuh parlemen, atas nama rakyat, dan dengan menggunakan senjata utama mekanisme pengambilan keputusan voting (suara terbanyak). Pada akhirnya voting dipahami sebagai legitimasi kekuasaan bagi Penguasa/Pemerintah melalui cap stempel atas nama rakyat untuk melahirkan dan menerapkan kebijakan politik apapun tidak peduli kebijakan politik itu menguntungkan atau merugikan rakyat. Demokrasi telah banyak melahirkan aktor politik maupun aktor penyelenggara negara yang tidak jujur benar-benar berpihak kepada pelayanan rakyat tetapi sebaliknya banyak melahirkan aktor politik dan aktor penyelenggara negara yang penuh permainan kamuflase dan ambivalensi politik yang mencederai nurani rakyat. Kapan menjadi lawan dan kapan menjadi kawan dalam rivalitas politik terjadi lebih karena pertimbangan pragmatisme kepentingan. Inilah dilema Demokrasi yang merupakan produk sistem politik buatan manusia bawaan Para Penjajah sebagai perpanjangan tangan Penjajah (Barat) untuk menciptakan ketergantungan politik di negara-negara jajahannya agar bisa didikte dan diarahkan sesuai dengan kepentingan Para Penjajah. Banyak kebijakan politik yang lebih menguntungkan asing daripada menguntungkan rakyat adalah implikasi dari longgarnya infrastruktur politik Demokrasi yang memberikan pintu lebar-lebar bagi intervensi Asing masuk ke negeri ini. Atas nama keniscayaan dalam peta percaturan politik dunia, Asing secara bebas menentukan pilihan untuk mengendalikan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya di negeri ini. Kita bisa melihat bagaimana pengakuan IMF, World Bank dan USAID terkait dengan Liberalisasi Migas :
”(pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional). Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000):
“(Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja public, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya).”Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001):
…(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000).
(Pasang surutnya kemauan politik terhadap reformasi sektor energi akan menjamin penyesuaian terhadap tujuan ini. Oleh karena itu pengangkatan Direktur Utama Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar] sangat mendukung kemajuan agenda reformasi tersebut.
(Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu [Rp 8.5 miliar] untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal)
UU APBN-P 2012 pasal 7 ayat 6a sebagai produk kebijakan politik legislatif yang digunakan acuan untuk Pemerintah/Penguasa yang menjadi representasi mayoritas suara legislatif untuk menetapkan kebijakan BBM adalah cerminan semangat ketundukan Penguasa/Pemerintah terhadap Asing mulai dari lahirnya UU Migas No 22 tahun 2001 yang merupakan revisi dari Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang .tidak relevan lagi. Dan lebih dikuatkan lagi oleh Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2015 Kementrian ESDM. Walaupun hujan yudicial review baik terhadap pasal 28 UU No 22 tahun 2001 maupun UU APBN-P 2012 pasal 7 ayat 6a diajukan oleh berbagai elemen dan kalangan, tidak peduli apakah bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ataukah tidak, Penguasa/Pemerintah tetap dengan prinsip yang penting –so must go on-. Begitu besarnya syahwat melahirkan kebijakan politik yang tidak lagi memperhatikan nasib rakyat menunjukkan bahwa Regim Penguasa ini adalah sebagai bagian dari skenario global penjajahan Asing (terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya) alias sebagai “ Antek Penjajah Asing”. Pada akhirnya dapatlah dipahami bahwa pilihan sistem politik Demokrasi adalah Jalan Menuju Dominasi Penjajahan Asing dengan segala strateginya melalui Para Antek Penguasa di Negeri ini.
Khilafah, Sistem Politik Alternatif Pengganti Sistem Politik Bobrok Demokrasi
Sebagai sebuah sistem politik manapun apakah sistem Demokrasi ataukah Khilafah maka akan menentukan pilihan alat-alat/piranti-piranti penyelenggaraan negara beserta aturan main/hukumnya. Sehingga ada keterkaitan erat antara performa regim dengan performa sistem politik. Sistem Politik yang bobrok akan melahirkan juga regim yang bobrok sebaliknya Sistem Politik yang handal dan benar akan melahirkan juga regim yang amanah dan bisa diandalkan. Allah Taalla telah menjadikan penciptaan alam dan makhluk di dalamnya sebagai tanda-tanda kekuasaannya. Dan Allah Taalla telah menjadikan syariat Islam sebagai seperangkat aturan yang datang untuk memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Manusia tidak mungkin mampu merancang aturannya sendiri karena serba dalam keterbatasan. Manusia hanya memiliki otoritas dengan segala kemampuan dan kreatifitas akalnya menggali hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Sang Pencipta kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Syariat Islam memuat banyak ketentuan aturan yang mengatur beragam persoalan kehidupan manusia termasuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan berpolitik. Regim yang mampu menjalankan syariat Islam adalah Regim yang menjalankan prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang bukan hanya janji –wa’dun- tetapi juga menjadi kewajiban –fardlun-. Sebuah prinsip penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang selama berabad-abad lamanya menaungi kehidupan manusia melahirkan peradaban agung manusia di semua bidang kehidupan kurang lebih 13 abad lamanya. Prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang dikemas ke dalam sebuah Sistem Politik Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwah. Sebuah sistem politik yang menumpukan prinsip utamanya –as siyadah lis syara’- sebagaimana firman Allah Taalla : “Innil Hukmu Illa Lillah” yakni Kedaulatan ada di tangan Allah Taalla Tuhan Pencipta Manusia beserta Alam seisinya. Artinya Kewenangan membuat aturan/undang-undang itu ada pada Sang Pencipta, karena memang Hanya Tuhan Pencipta Manusialah yang paling paham terhadap karakteristik yang diciptakan termasuk aturan main kehidupan apa yang sesuai dengan yang diciptakan. Sistem Politik Khilafah inilah yang datang sebagai Solusi Alternatif Sistem Demokrasi yang bobrok dan akan membebaskan dari penghambaan atas manusia oleh manusia kepada penghambaan kepada Allah Taalla Dzat Sang Pencipta Alam dan Manusia. Wallahu ‘alam bis showab.
[al-khilafah.org]
Pro dan Kontra UU APBN-P 2012 Pasal 7 ayat 6a di tubuh parlemen merupakan representasi dari carut marutnya kehidupan politik di negeri ini yang lebih menonjolkan politik kekuasaan elite bukan politik pelayanan urusan masyarakat/rakyat –riayatus syuunil ummah-. Ada dua kubu di tubuh parlemen antara kelompok parpol yang sepakat dengan substansi Pasal 7 ayat 6a diwakili oleh Parpol Penguasa seperti Demokrat, PPP, PAN, PKB dan Golkar yang memainkan peran strategis dengan politik dua kakinya yang disinyalir melakukan transaksi politik dengan Demokrat atas pasal 18 UU APBN-P 2012 sebagai kompensasi tetap menggoalkan eksistensi Pasal 7 ayat 6a oleh Parpol Penguasa, di lain pihak Kubu Parpol Oposisi yang menolak substansi Pasal 7 ayat 6a diwakili oleh PDI-P, Hanura, Gerindra dan PKS yang belakangan mengambil sikap politik menjadi oposisinya Koalisi dan memainkan peran penting menciptakan arus baru perlawanan sebagai bagian dari strategi investasi politik menjelang Pilpres 2014.
Kubu oposisi melihat bahwa kebijakan Pemerintah/Penguasa Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012 hanyalah menjadi legitimasi yuridis formil kebijakan kenaikan BBM yang benar-benar tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Sebaliknya Kubu Penguasa/Pemerintah dengan strategi status quonya menilai bahwa substansi Pasal 7 ayat 6a sudah pas karena selain tidak bertentangan dengan konstitusi tetapi juga atas dasar pertimbangan perlunya Pemerintah diberikan otoritas/kewenangan untuk melakukan kebijakan yang tepat tentang kenaikan BBM ini dengan standart kenaikan atau penurunan ICP (harga bahan mentah) minyak internasional sebesar 15 % sebagai jalan untuk menyelamatkan perekonomian negara, APBN, dan beberapa alasan lain yang banyak rakyat hampir bisa dipastikan tidak memahaminya karena lebih banyak alasan tekhnis kebijakan publik ketimbang logika sederhana pemenuhan hajat hidup rakyat pada umumnya.
“Rakyat dipaksa untuk mengikuti dan harus tahu logika kebijakan politik Pemerintah/Penguasa yang diambil bukan sebaliknya Penguasa yang harusnya memahami dulu persoalan Rakyat secara mendasar dan menyeluruh lalu setelah itu dijadikan tolak ukur untuk merumuskan kebijakan politik yang tepat dan pro rakyat”. Bukti bahwa kebijakan politik Pemerintah/Penguasa tidak merepresentasikan aspirasi rakyat adalah bahwa meski ada hasil survey yang dilakukan LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang menyatakan bahwa mayoritas rakyat negeri ini sejumlah 86,6 persen menolak/tidak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM, Pemerintah tidak melihat ini sebagai hal serius yang dijadikan pertimbangan utama untuk merumuskan kebijakan. Sementara di lain pihak sikap perlawanan yang dilakukan oleh Kelompok Partai Oposisi terhadap kebijakan Pemerintah ini masih menyisakan beberapa pertanyaan besar apakah sebagai bagian dari konsistensi potitioning sikap politik yang –waton berbeda- atau upaya menarik simpati rakyat sebagai investasi politik kekuasaan menuju kursi kekuasaan politik yang dicita-citakan atau sebagai sebuah strategi keniscayaan dalam peta konstelasi politik Demokrasi yang tidak jelas rumusannya alias –multi tafsir-. Pada intinya baik Partai Kubu Pemerintah maupun Partai Kubu Oposisi saat ini tengah memperlihatkan sebuah adegan fragmen atau sandiwara politik kekuasaan yang semakin membuat rakyat bingung, membuat rakyat prihatin, membuat rakyat gak peduli, membuat rakyat tidak klik nuraninya dan membuat rakyat semakin menderita batin di tengah penderitaan riil rakyat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Belum pernah secara serius dilakukan kajian tentang implikasi kebijakan politik Pemerintah dalam beberapa persoalan termasuk Kebijakan Kenaikan BBM terhadap rakyat meski banyak data menunjukkan semakin meningkatnya angka kemiskinan seperti Data BPS tahun 2010 saja terdapat sejumlah 100 juta orang miskin termasuk juga angka kemiskinan di Jawa Timur sebagai salah satu barometer Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Kabid Statistik sosial BPS Jawa Timur bahwa Per-September 2011 terdapat sejumlah 5.227.310 jiwa dengan income per-capita 225 ribu rupiah.
“Pemerintah yang harusnya melayani rakyat justeru secara sistemik di banyak kasus kebijakan politik yang dilahirkan dan diterapkan dipaksa oleh hegemoni sistem politik yang diterapkan di negeri ini semakin menyakiti rakyat, menzalimi rakyat, mengkhianati rakyat dan membohongi rakyat”. Ketidak seriusan untuk memperhatikan bagaimana keadaan rakyat sebagai titik tolak untuk merumuskan kebijakan politik pemerintah yang tepat, bijak dan benar semakin terlihat dari semakin gencarnya diperbincangkan akhir-akhir ini tentang standart presentase Parliamentary Treshold pada pembahasan RUU Pemilu. Para Elite Politik dan Elite Penguasa melalui Partai Politiknya sibuk untuk merumuskan kalkulasi angka dukungan massa ketimbang mengedepankan ketulusan dan kesungguhan untuk memperhatikan kalkulasi angka seberapa jauh persoalan rakyat bisa dipahami, diteliti dan kemudian dipecahkan. Ironis di sebuah negeri yang katanya orang dulu –gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo- dihadapkan oleh problem kehidupan politik yang carut marut akibat penampilan para elit politik, elit penguasa, aktor politik dan partai politik dalam konstelasi percaturan politik yang sarat dengan banyak barter kepentingan politik, bargaining politik di tengah keadaan semakin melambungnya utang luar negeri sampai mencapai angka 1.800 triliun rupiah, kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran, korupsi yang menggurita, pemborosan anggaran negara untuk belanja birokrasi, sumber daya alam yang banyak dieksploitasi asing, legislasi UU/aturan yang tidak pro-rakyat, korporasi negara, mafioso hukum-peradilan dan banyak persoalan lain yang semakin mendorong sebuah pertanyaan besar sudah tepatkah pilihan sistem politik yang disepakati diterapkan di negeri ini ?
Demokrasi, Pilihan Sistem Politik sebagai Jalan Dominasi Penjajahan Asing
Meski mengalami pengertian yang luas dan perumusan definisi yang multi tafsir antara sebagai sebuah sifat/karakter dari kehidupan politik ataukah sistem penyelenggaraan pemerintahan/kenegaraan tapi yang jelas Demokrasi memiliki karakter utama diantaranya bahwa rumusan produk legislasi dalam bentuk aturan atau undang-undang itu menjadi otoritas/kewenangan manusia. Dengan kata lain, bahwa manusialah yang berhak sekaligus berwenang untuk menciptakan aturannya sendiri –as siyadah lil ummah-. Disinilah letak paradoks Demokrasi yang melahirkan kegamangan bagaimana mungkin manusia mampu secara benar merumuskan aturannya sendiri. Dalam konteks Demokrasi, saat perumusan sebuah aturan atau undang-undang maka banyak lahirnya undang-undang adalah representasi sebuah kompromi di antara berbagai kepentingan yang beredar di tengah-tengah rakyat. Realitasnya, yang banyak terjadi adalah hegemoni kekuasaan suara mayoritas terhadap suara minoritas di tubuh parlemen, atas nama rakyat, dan dengan menggunakan senjata utama mekanisme pengambilan keputusan voting (suara terbanyak). Pada akhirnya voting dipahami sebagai legitimasi kekuasaan bagi Penguasa/Pemerintah melalui cap stempel atas nama rakyat untuk melahirkan dan menerapkan kebijakan politik apapun tidak peduli kebijakan politik itu menguntungkan atau merugikan rakyat. Demokrasi telah banyak melahirkan aktor politik maupun aktor penyelenggara negara yang tidak jujur benar-benar berpihak kepada pelayanan rakyat tetapi sebaliknya banyak melahirkan aktor politik dan aktor penyelenggara negara yang penuh permainan kamuflase dan ambivalensi politik yang mencederai nurani rakyat. Kapan menjadi lawan dan kapan menjadi kawan dalam rivalitas politik terjadi lebih karena pertimbangan pragmatisme kepentingan. Inilah dilema Demokrasi yang merupakan produk sistem politik buatan manusia bawaan Para Penjajah sebagai perpanjangan tangan Penjajah (Barat) untuk menciptakan ketergantungan politik di negara-negara jajahannya agar bisa didikte dan diarahkan sesuai dengan kepentingan Para Penjajah. Banyak kebijakan politik yang lebih menguntungkan asing daripada menguntungkan rakyat adalah implikasi dari longgarnya infrastruktur politik Demokrasi yang memberikan pintu lebar-lebar bagi intervensi Asing masuk ke negeri ini. Atas nama keniscayaan dalam peta percaturan politik dunia, Asing secara bebas menentukan pilihan untuk mengendalikan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya di negeri ini. Kita bisa melihat bagaimana pengakuan IMF, World Bank dan USAID terkait dengan Liberalisasi Migas :
”(pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional). Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000):
“(Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja public, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya).”Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001):
…(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000).
(Pasang surutnya kemauan politik terhadap reformasi sektor energi akan menjamin penyesuaian terhadap tujuan ini. Oleh karena itu pengangkatan Direktur Utama Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar] sangat mendukung kemajuan agenda reformasi tersebut.
(Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu [Rp 8.5 miliar] untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal)
UU APBN-P 2012 pasal 7 ayat 6a sebagai produk kebijakan politik legislatif yang digunakan acuan untuk Pemerintah/Penguasa yang menjadi representasi mayoritas suara legislatif untuk menetapkan kebijakan BBM adalah cerminan semangat ketundukan Penguasa/Pemerintah terhadap Asing mulai dari lahirnya UU Migas No 22 tahun 2001 yang merupakan revisi dari Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang .tidak relevan lagi. Dan lebih dikuatkan lagi oleh Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2015 Kementrian ESDM. Walaupun hujan yudicial review baik terhadap pasal 28 UU No 22 tahun 2001 maupun UU APBN-P 2012 pasal 7 ayat 6a diajukan oleh berbagai elemen dan kalangan, tidak peduli apakah bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ataukah tidak, Penguasa/Pemerintah tetap dengan prinsip yang penting –so must go on-. Begitu besarnya syahwat melahirkan kebijakan politik yang tidak lagi memperhatikan nasib rakyat menunjukkan bahwa Regim Penguasa ini adalah sebagai bagian dari skenario global penjajahan Asing (terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya) alias sebagai “ Antek Penjajah Asing”. Pada akhirnya dapatlah dipahami bahwa pilihan sistem politik Demokrasi adalah Jalan Menuju Dominasi Penjajahan Asing dengan segala strateginya melalui Para Antek Penguasa di Negeri ini.
Khilafah, Sistem Politik Alternatif Pengganti Sistem Politik Bobrok Demokrasi
Sebagai sebuah sistem politik manapun apakah sistem Demokrasi ataukah Khilafah maka akan menentukan pilihan alat-alat/piranti-piranti penyelenggaraan negara beserta aturan main/hukumnya. Sehingga ada keterkaitan erat antara performa regim dengan performa sistem politik. Sistem Politik yang bobrok akan melahirkan juga regim yang bobrok sebaliknya Sistem Politik yang handal dan benar akan melahirkan juga regim yang amanah dan bisa diandalkan. Allah Taalla telah menjadikan penciptaan alam dan makhluk di dalamnya sebagai tanda-tanda kekuasaannya. Dan Allah Taalla telah menjadikan syariat Islam sebagai seperangkat aturan yang datang untuk memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Manusia tidak mungkin mampu merancang aturannya sendiri karena serba dalam keterbatasan. Manusia hanya memiliki otoritas dengan segala kemampuan dan kreatifitas akalnya menggali hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Sang Pencipta kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Syariat Islam memuat banyak ketentuan aturan yang mengatur beragam persoalan kehidupan manusia termasuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan berpolitik. Regim yang mampu menjalankan syariat Islam adalah Regim yang menjalankan prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang bukan hanya janji –wa’dun- tetapi juga menjadi kewajiban –fardlun-. Sebuah prinsip penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang selama berabad-abad lamanya menaungi kehidupan manusia melahirkan peradaban agung manusia di semua bidang kehidupan kurang lebih 13 abad lamanya. Prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang dikemas ke dalam sebuah Sistem Politik Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwah. Sebuah sistem politik yang menumpukan prinsip utamanya –as siyadah lis syara’- sebagaimana firman Allah Taalla : “Innil Hukmu Illa Lillah” yakni Kedaulatan ada di tangan Allah Taalla Tuhan Pencipta Manusia beserta Alam seisinya. Artinya Kewenangan membuat aturan/undang-undang itu ada pada Sang Pencipta, karena memang Hanya Tuhan Pencipta Manusialah yang paling paham terhadap karakteristik yang diciptakan termasuk aturan main kehidupan apa yang sesuai dengan yang diciptakan. Sistem Politik Khilafah inilah yang datang sebagai Solusi Alternatif Sistem Demokrasi yang bobrok dan akan membebaskan dari penghambaan atas manusia oleh manusia kepada penghambaan kepada Allah Taalla Dzat Sang Pencipta Alam dan Manusia. Wallahu ‘alam bis showab.
[al-khilafah.org]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami