Kapan
Hizbut Tahrir dan dakwahnya berhasil mencapai tujuannya? Kapan umat berhasil
meraih kekuasaan dan menegakkan Khilafah Islamiyah melalui aktivitas thalabun
nushrah?
Dalam
konteks thalabun nushrah, ada beberapa perkara penting yang harus
dimengerti para pengemban dakwah Islam, yaitu:
a.
Pengertian thalabun nushrah secara bahasa maupun istilah.
b.
Bagaimana suasana thalabun nushrah di Madinah al-Munawarah dipersiapkan
dan bagaimana suasana itu dipersiapkan pada masa sekarang.
c.
Realitas umat sekarang, dari sisi apakah mereka telah memiliki kesiapan untuk
menerima perkara yang besar ini, ataukah belum?
d.
Bagaimana cara menyempurnakan thalabun nushrah hingga memiliki kapasitas
untuk mendorong terjadinya penyerahan kekuasaan?
Pengertian
Thalabun Nushrah
Secara bahasa, an-nushrah dan al-munasharah
memiliki makna i’anah ‘ala al-amr (menolong atas suatu perkara). (Ibnu
Mandzur, hlm. 210).
Menurut
istilah, thalabun nushrah adalah aktivitas meminta pertolongan yang
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan (amir) kepada orang-orang
yang memiliki kekuasaan untuk tujuan penyerahan kekuasaan dan penegakkan Daulah
Islamiyah, atau untuk tujuan-tujuan lain yang berhubungan dengan dukungan
terhadap dakwah, misalnya: (1) untuk melindungi para pengemban dakwah di
negeri-negeri Islam agar mereka mampu menyampaikan maksud dan tujuan dakwah
mereka di tengah-tengah masyarakat; (2) untuk menyingkirkan berbagai macam
keburukan, baik yang akan menimpa maupun yang telah menimpa pengemban dakwah;
misalnya, meminta pertolongan dari tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh pada
kekuasaan agar penguasa tidak memasukkan pengemban dakwah ke dalam penjara,
atau berdiri di sampingnya ketika pengemban dakwah harus menghadapi
persidangan, dan lain sebagainya; (3) untuk mempopulerkan dan menunjukkan
kekuatan Hizbut Tahrir kepada masyarakat dengan cara memberdayakan orang-orang
yang memiliki kekuataan dan pengaruh, setelah mereka masuk Islam dan qana’ah
terhadap pemikiran-pemikiran dan tujuan-tujuan dakwah Hizbut Tahrir.
Adapun
thalabun nushrah yang ditujukan untuk aktivitas istilam al-hukm
(penerimaan kekuasaan) dan penegakkan Daulah Khilafah Islamiyah membutuhkan
sejumlah kondisi dan syarat-syarat yang berbeda dengan semua bentuk thalabun
nushrah yang telah dijelaskan di atas. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
adalah sebagai berikut:
1.
Terbentuknya opini umum (ra’yu al-’am) tentang Islam dan Hizb yang
bersumber dari kesadaran umum (wa’yu al-’am) di suatu negeri Islam.
2.
Terpenuhinya syarat-syarat khusus di suatu negeri yang hendak dimintai nushrah,
yakni: negeri tersebut memiliki kemampuan untuk melindungi eksistensi dan
keberlangsungan Daulah Islamiyah. Negeri tersebut harus mampu memberikan
proteksi mandiri terhadap Daulah Islamiyah dan tidak di bawah proteksi negara
lain, atau dikuasai secara langsung oleh negara lain.
3.
Keikhlasan ahlul-quwwah dalam menolong dakwah; penerimaan mereka
yang sempurna terhadap Islam dan Daulah Islamiyah; serta tidak adanya keraguan
dan kekhawatiran pada diri mereka terhadap kekuatan lain atau negara lain, atau
terhadap kelompok-kelompok Islam lain maupun kelompok non-Islam yang memiliki
tujuan yang berbeda dengan tujuan Islam.
Thalabun
nushrah untuk meraih kekuasaan adalah hukum syariah yang
berhubungan erat dengan metode meraih kekuasaan. Penyerahan kekuasaan tidak
akan terjadi tanpa adanya aktivitas thalabun nushrah serta terpenuhinya
syarat-syarat di atas; sama saja apakah kekuasaan tersebut diserahkan oleh atau
diminta dari ahlul-quwwah.
Mempersiapkan
Suasana Nushrah
Siapa saja yang mengkaji Sirah Nabi saw.
akan menyaksikan bahwa Nabi saw. melakukan beberapa aktivitas penting dan
berkesinambungan sebelum mempersiapkan suasana nushrah dan penerimaan
kekuasaan di Madinah. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah mengontak
delegasi suku Khazraj yang berkunjung ke Makkah dan meminta mereka masuk Islam.
Setelah masuk Islam, beliau memerintahkan mereka kembali ke Madinah untuk
mendakwahkan Islam kepada kaumnya. Setibanya di kota Madinah, mereka
menampakkan keislaman mereka dan mengajak kaumnya masuk Islam. Jumlah kaum
Muslim terus bertambah. Pada tahun berikutnya, mereka kembali menemui
Rasulullah saw. Jumlah mereka pada saat itu 12 orang. Nabi saw. menerima mereka
dan mengutus Mush’ab bin ‘Umair ra untuk menjadi pengajar mereka di Madinah.
Akhirnya, melalui tangan Mush’ab bin ‘Umair ra., para pembesar Auz dan Khazraj
masuk Islam serta menunjukkan dukungan dan loyalitas yang amat kuat terhadap
Islam.
Setelah
melihat kesiapan masyarakat Madinah, yang tampak pada masuk Islamnya para
pembesar Auz dan Khazraj serta terbentuknya opini umum tentang Islam yang lahir
dari kesadaran umum pada penduduk Madinah, Nabi saw. meminta mereka untuk
menemui beliau pada musim haji.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa realitas Madinah sebelum terjadinya Baiat Aqabah
II—baiat yang menandai terjadinya penyerahan kekuasaan di Madinah—adalah
realitas yang dipersiapkan untuk pembentukan opini umum membela Islam dengan
kekuatan. Artinya, Madinah dipersiapkan sedemikian rupa hingga Islam diterima
oleh mayoritas penduduk Madinah dan menjadi opini umum yang mampu mendominasi
para penganut agama lain di Madinah. Tidak hanya itu, opini umum tersebut juga
ditujukan agar masyarakat Madinah siap membela kepemimpinan baru, yakni
kepemimpinan Rasulullah saw. Opini umum untuk membela Islam tersebut lahir dari
kesadaran umum mayoritas masyarakat Madinah dan para pembesarnya atas hakikat
Islam dan atas diri Rasulullah saw. dalam kapasitasnya sebagai nabi dan pemimpin
takattul Sahabat.
Rasulullah saw. belum bersedia menerima nushrah
li istilam al-hukm, kecuali setelah kondisi-kondisi di atas terwujud dan
yakin dengan kesiapan penduduk Madinah. Setelah yakin terhadap kesiapan
penduduk Madinah untuk menerima dan membela kekuasaan Islam, Rasulullah saw.
meminta wakil penduduk Madinah dengan disertai Mush’ab bin Umair menemui beliau
di Bukit Aqabah. Tujuan pertemuan itu adalah meminta nushrah dari
penduduk Madinah agar menyerahkan kekuasaan mereka di Madinah kepada Rasulullah
saw. dan meminta kesediaan mereka untuk membela Rasulullah saw. dengan harta,
anak-anak istri dan nyawa mereka. Aktivitas thalabun nushrah di Bukit
Aqabah—sebagai langkah muqaddimah istilam al-hukm (penerimaan
kekuasaan)—menjadi sempurna setelah Nabi saw. tiba di Madinah dan menegakkan
Daulah Islamiyah di sana.
Terbentuknya opini umum yang
lahir dari kesadaran umum merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi oleh suatu negeri yang hendak ditegakkan thalabun nushrah li
istilam al-hukm. Hanya saja, negeri tersebut juga harus memiliki kemampuan
untuk melindungi eksistensi dan kelangsungan Daulah Islamiyah secara mandiri,
dan tidak di bawah kendali atau dominasi negara lain. Opini umum untuk membela
Islam, Hizb, dan pengikutnya harus lahir dari kesadaran umum untuk membela
Islam dan Hizb. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, maka, di negeri tersebut
tidak mungkin ditegakkan aktivitas thalabun nushrah li istilaam al-hukm, baik
secara syar’i maupun ‘aqli. Jikalau dipaksakan dilakukan
aktivitas nushrah di negeri tersebut, maka selain melanggar ketentuan
syariah dalam hal thalabun nushrah, aktivitas tersebut juga akan
berujung pada kegagalan dan kehancuran.
Yang
dimaksud dengan opini umum pada konteks sekarang adalah; adanya keinginan untuk
diatur dan diperintah oleh kekuasaan Islam pada mayoritas kaum Muslim yang ada
di sebuah negeri yang layak dilakukan thalabun nushrah. Keinginan
tersebut juga harus muncul pada diri ahlul-quwwah—panglima perang,
pemimpin kabilah, dan lain sebagainya—dan tidak cukup hanya muncul pada
mayoritas kaum Muslim belaka.
Adapun yang dimaksud dengan kesadaran
umum (wa’y al-’am) adalah kesadaran umum terhadap beberapa hal; (1)
tentang Islam, terutama pemikiran tentang Khilafah dan kekuasaan; (2)
permusuhan dan upaya-upaya penyesatan yang dilakukan kaum kafir untuk
menghalang-halangi tegaknya Khilafah; (3) umat tidak akan pernah bisa
melepaskan diri dari problematikanya, kecuali jika mereka mampu membebaskan
dirinya dari pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum kufur; (4) kesadaran
terhadap tipudaya dan permainan politik kaum kafir untuk memalingkan umat dari
jalan yang benar.
Di
samping itu, di tengah-tengah umat juga harus tumbuh kesadaran tentang Hizbut
Tahrir dan keikhlasannya dalam membebaskan umat dari dominasi sistem kufur, dan
kesiapannya untuk menyongsong perkara yang amat besar ini.
Kesiapan
Umat
Keadaan
umum umat Islam sekarang menunjukkan bahwa mereka berhasil menyiapkan atmosfir nushrah
dan istilam al-hukm. Hal ini bisa dilihat dari realitas berikut ini:
1.
Opini umum untuk membela Islam.
Di
banyak negara, opini umum untuk membela Islam dan keinginan untuk hidup di
bawah naungan Daulah Islamiyah telah terbentuk secara massif pada mayoritas
penduduknya. Keadaan seperti ini bisa dijumpai di Aljazair, Turki, Sudan,
Mesir, Yordan dan Pakistan. Massifnya opini umum di negeri-negeri ini bisa
dilihat dari hasil Pemilu serta masirah-masirah yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok Islam yang secara terbuka menyerukan syiar-syiar Islam.
2.
Terjadinya proses pembentukan opini umum untuk membela Hizb di beberapa negeri
Islam.
Pembentukan
opini umum untuk membela Hizb, dari sisi penerimaan umat terhadap
pemikiran-pemikiran penting Hizb, seperti pemikiran Khilafah Islamiyah, dan
pandangan-pandangan politiknya, telah berhasil cukup baik. Di beberapa negara
seperti Indonesia, Turki, Sudan dan Pakistan, Hizb telah berhasil menghimpun
umat sehingga mereka rela membantu dan membela Hizb dalam melawan sepak terjang
kaum kafir.
Sayang,
opini umum untuk membela Hizb masih harus menghadapi sejumlah halangan sehingga
tidak memungkinkan bagi Hizb untuk memimpin umat dan meraih kekuasaan dari
mereka. Faktor-faktor penghalangnya adalah: (1) pendustaan opini yang dilakukan
oleh para penguasa terhadap Hizb, semacam dikembangkannya opini bahwa Hizb
adalah gerakan teroris, menyimpang, sesat dan lain sebagainya; (2) penyesatan opini
yang dilakukan oleh ulama-ulama yang menjadi kaki tangan penguasa fasik dan
zalim untuk menyerang Hizb, keikhlasannya serta pandangan-pandangannya;
misalnya mereka mengembangkan pemikiran tentang kebolehan banyak pemimpin di
negeri-negeri Islam, utopia Khilafah, keharusan menerima demokrasi, dan lain
sebagainya; (3) adanya partai, ormas dan LSM yang memiliki hubungan dengan
penguasa maupun negara-negara imperialis yang terus menikam Hizb dan
keikhlasannya.
Namun
demikian, upaya pendustaan dan penyesatan opini maupun tikaman-tikaman yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok lain, sedikit demi sedikit mulai tersingkap.
Akibatnya, umat semakin yakin akan kepemimpinan dan keikhlasahan Hizb dalam
memperjuangkan hak-hak umat. Opini umum untuk membela Islam, Hizb dan
aktivisnya semakin hari semakin menguat, dan tumbuh pesat hampir di seluruh
negeri-negeri Islam.
Menyempurnakan
Nushrah
Aktivitas thalabun nushrah untuk
meraih kekuasaan umat hanya bisa sempurna ketika opini umum yang lahir dari
kesadaran umum untuk membela Islam dan Hizb telah lahir di tengah-tengah umat
secara sempurna pada sebuah negeri yang hendak ditegakkan Daulah Islamiyah di
dalamnya. Namun, musuh-musuh dakwah, terutama kaum kafir imperialis dan para
penguasa antek, berusaha menghalang-halangi terwujudnya opini umum tersebut
dengan cara menyerang pandangan-pandangan Hizb, keikhlasannya serta metode
perubahan yang ditempuh oleh Hizb. Ini ditujukan agar opini umum tentang
Islam dan Hizb yang lahir dari kesadaran untuk membela Islam dan Hizb tidak tumbuh
di tengah-tengah masyarakat.
Atas dasar itu, tugas utama dari Hizb
adalah menjaga konsistensi dirinya untuk berpegang teguh di atas pemikiran dan
pandangannya yang sahih, serta menjaga keikhlasan perjuangannya dari semua
bentuk tipudaya dunia. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa tugas utama Hizb
pada masa sekarang, sebagai langkah konkret untuk menyiapkan suasana nushrah,
adalah berpeguh teguh dengan mabda’ Islam tanpa pernah bergeser seujung
rambut pun, dan menjaga keikhlasan perjuangannya dari seluruh bentuk
penyimpangan dan tendensi-tendensi duniawi.
Aktivitas
yang harus dilakukan oleh Hizb untuk mewujudkan perkara-perkara di atas adalah:
Pertama, memelihara
keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah SWT dengan cara memupuk ketaatan dan
mendekatkan diri kepada-Nya pada seluruh aspeknya. Pasalnya, Allah tidak akan
menyerahkan amanah agama ini kecuali kepada orang-orang yang bertakwa, ikhlas
dan dekat dengan-Nya (QS an-Nur [24]: 55).
Kedua,
sabar untuk selalu berkorban dan melaksanakan tugas-tugas dakwah dengan
sungguh-sungguh. Kaum kafir imperialis berusaha untuk menghancurkan
kekuatan Hizb melalui kaki tangan mereka dari kalangan para penguasa Muslim.
Untuk itu, pada saat Hizb berhasil merengkuh dukungan umat secara massif
melawan sistem kufur dan penjaganya, seperti yang terjadi di Uzbekistan, para
penguasa segera mendeklarasikan perang melawan aktivis dan pendukung Hizb.
Dalam kondisi semacam ini, aktivis-aktivis Hizb tidak boleh surut ke belakang,
atau mengendorkan perjuangannya. Sebaliknya, mereka harus mencurahkan segenap
tenaga dan pengorbanannya untuk berpegang teguh dengan perjuangan Hizb yang
lurus dan suci.
Ketiga, meningkatkan
tenaga dan aktivitas yang ditunjukan untuk “membentengi” umat. Pasalnya,
musuh-musuh Islam berusaha terus-menerus untuk meletakkan di hadapan umat
berbagai macam pendustaan, penyesatan dan makar terhadap Hizb, pemikiran dan
pandangan-pandangannya. Upaya itu dilakukan untuk menjauhkan umat dari Hizb dan
aktivisnya. Oleh karena itu, aktivis Hizb harus meningkatkan tenaga dan
aktivitas yang ditujukan untuk membentengi dari semua bentuk penyesatan,
pendustaan dan makar terhadap Hizb dan aktivisnya; sekaligus untuk
menghancurkan dinding penyesatan yang diletakkan di hadapan umat (QS at-Taubah
[9]: 105).
Keempat, para aktivis
Hizb harus menonjolkan karakter dirinya sebagai seorang Mukmin yang selalu
ikhlas dalam beramal dan senantiasa mengikatkan diri dengan hukum syariah
serta tekun dalam ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Aktivitas-aktivitas
inilah yang akan mendekatkan Hizb dan aktivisnya pada nushrah Allah
(pertolongan Allah) pada dawr tafa’ul ma’a al-ummah.
Wallahu
al-Musta’an wa Huwa Waliy at-tawfiq. [Fathiy Syamsuddin
Ramadhan an-Nawiy; Disarikan dari Tahayya‘ al-Ajwa‘ Li Thalab an-Nushrah,
oleh Abu al-Mu’tashim, majalah al-Wa’ie (bahasa arab) no. 282-283 Rajab-Sya’ban
1431 H, Beirut.]