Rabu, 26 September 2012
Bendera Rasulullah SAW, simbol yang ditinggalkan untuk mempersatukan Umat
Setiap kelompok tentu memiliki
identitas tertentu untuk membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Salah satu
identitas tersebut berbentuk bendera. Ada bendera negara tertentu, ada bendera
klub sepak bola, ada bendera partai, ada bendera ormas, nah bagaimana dengan
bendera Islam, benderanya Rasulullah saw dan kaum muslimin..?
Kajian tentang bendera (al-liwaa’)
dan panji-panji (al-raayaah) dalam khasanah tsaqafah Islam termasuk
topik yang amat langka. Bahkan sebagian besar kaum Muslim tidak terlalu
mempedulikan simbol-simbol Islam ini karena ketidakpahaman mereka.
Bendera Dan Panji-Panji Rasulullah
saw
Sudah berabad lamanya dan sehingga
sekarang, setiap negara di dunia akan mempunyai bendera negara masing-masing,
baik besar atau kecil negara tersebut. Tidakkah ini membuat kita bertanya-tanya
– apakah Negara Islam pertama di dunia yang telah ditegakkan oleh Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa Sallam di Madinah mempunyai bendera? Jika ya,
bagaimanakah spesifikasi bendera tersebut dan apakah hukum pengambilannya? Jika
di zaman Khilafah dulu, anak-anak kaum Muslimin dibesarkan tanpa perlu diajar
bahwa bendera umat Islam adalah bendera Rasulullah, karena mereka melihat
sendiri bendera tersebut. Namun di zaman ini, anak-anak kita dibesarkan dengan
diajar dan dipaksa menerima bahwa bendera kita adalah bendera yang telah
ditentukan oleh manusia para pendiri negara, berdasarkan Nation State, yang
bisa jadi ada yang dirancang oleh para penjajah negeri-negeri Islam sebelumnya.
Jadi, wajar jika kita atau anak-anak kita tidak mengenal bagaimana bendera
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Negara Islam sudah tentu mempunyai
bendera (al-liwa’) dan juga panji (ar-rayah). Inilah apa yang telah ditunjukkan
oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika tegaknya Daulah Islamiyyah
pertama di Madinah al-Munawwarah. Banyak riwayat shahih yang menunjukkan
keberadaan bendera ini, di antaranya[1]:
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ; قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ
الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَإِنَّ عَيْنَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَتَذْرِفَانِ ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ
الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu
Ma’mar telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits telah menceritakan kepada
kami Ayyub dari Humaid bin Hilal dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata:
Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bendera perang dipegang oleh
Zaid lalu dia terbunuh kemudian dipegang oleh Ja’far lalu dia terbunuh kemudian
dipegang oleh ‘Abdullah bin Rawahah namun diapun terbunuh, Dan nampak kedua
mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berlinang. Akhirnya bendera
dipegang oleh Khalid bin Al Walid tanpa menunggu perintah, namun akhirnya
kemenangan diraihnya”. (HR. al-Bukhari no. 1169, lihat pula hadits no. 2589,
no. 2835, no. 3474. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, lihat: hadits no. 11671,
11728)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ القَعْنَبِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَهْلِ بْنِ
سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَ خَيْبَرَ لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلًا يَفْتَحُ اللَّهُ
عَلَى يَدَيْهِ فَقَامُوا يَرْجُونَ لِذَلِكَ أَيُّهُمْ يُعْطَى فَغَدَوْا
وَكُلُّهُمْ يَرْجُو أَنْ يُعْطَى فَقَالَ أَيْنَ عَلِيٌّ فَقِيلَ يَشْتَكِي
عَيْنَيْهِ فَأَمَرَ فَدُعِيَ لَهُ فَبَصَقَ فِي عَيْنَيْهِ فَبَرَأَ مَكَانَهُ
حَتَّى كَأَنَّه لَمْ يَكُنْ بِهِ شَيْءٌ فَقَالَ نُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوا
مِثْلَنَا فَقَالَ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ
إِلَى الْإِسْلَامِ وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ فَوَاللَّهِ لَأَنْ
يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Telah bercerita kepada kami
‘Abdullah bin Maslamah Al Qo’nabiy telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin
Abi Hazim dari bapaknya dari Sahal bin Sa’ad radliallahu ‘anhu dia mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat perang Khaibar: “Sungguh
bendera perang ini akan aku berikan kepada seseorang yang Allah akan
memenangkan peperangan ini lewat tangannya”. Maka orang-orang berdiri sambil
berharap siapa di antara mereka yang akan diberikan. Keesokan harinya setiap
orang dari mereka berharap diberikan kepercayaan itu. Kemudian Beliau berkata:
“Mana ‘Ali?” Dijawab: “Dia sedang sakit kedua matanya”. Maka Beliau
memerintahkan agar memanggilnya. (Setelah ‘Ali datang) Beliau meludahi kedua
matanya hingga sembuh seakan-akan belum pernah terkena penyakit sedikitpun.
Lalu Beliau bersabda: “Kita perangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita
(Muslim) “. Beliau melanjutkan: “Melangkahlah ke depan hingga kamu memasuki
tempat tinggal mereka lalu serulah mereka ke dalam Islam dan beritahu kepada
mereka tentang apa yang diwajibkan atas mereka. Demi Allah, bila ada satu orang
saja yang mendapat petunjuk melalui dirimu maka itu lebih baik bagimu dari pada
unta-unta merah (yang paling bagus) “. (HR. al-Bukhari no. 2724, 2787, 3425,
3888. Dalam Shahih Muslim no. 4422 & 4423 dan dalam Musnad Ahmad no. 21755)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَخَلَّفَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَيْبَرَ وَكَانَ بِهِ رَمَدٌ
فَقَالَ أَنَا أَتَخَلَّفُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَخَرَجَ عَلِيٌّ فَلَحِقَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَانَ مَسَاءُ اللَّيْلَةِ الَّتِي فَتَحَهَا فِي صَبَاحِهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ أَوْ قَالَ لَيَأْخُذَنَّ غَدًا رَجُلٌ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَوْ قَالَ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَإِذَا نَحْنُ
بِعَلِيٍّ وَمَا نَرْجُوهُ فَقَالُوا هَذَا عَلِيٌّ فَأَعْطَاهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ
Telah bercerita kepada kami Qutaibah
bin Sa’ad telah bercerita kepada kami Hatim bin Isma’il dari Yazid bin Abi
‘Ubaid dari Salamah bin Al Akwa’ radliallahu ‘anhu berkata; ‘Ali radliallahu
‘anhu pernah tertinggal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peperangan
Khaibar karena dia menderita sakit mata. ‘Ali berkata: “Aku terlambat dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Kemudian dia berangkat lalu bertemu
dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika malam hari yang keesokan
paginya Khaibar ditaklukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh pasti aku kan menyerahkan bendera perang ini”, atau Beliau bersabda:
“Sungguh (bendera ini) akan diambil besok pagi oleh orang yang dicintai oleh
Allah dan Rasul-Nya”, atau Beliau bersabda: “Orang yang mencintai Allah dan
Rosul-Nya, dimana Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya”. Maka
ketika kami sedang bersama ‘Ali, dan ini perkata yang kami tidak harapkan,
mereka berkata: “Inilah ‘Ali”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memberikan bendera itu kepadanya kemudian Allah memenangkan peperangan Khaibar
ini melalui tangannya. (HR. al-Bukhari no. 2753, 3425, 3426, 3887. Dalam
Shahih Muslim hadits no. 4424)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو
أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ
قَالَ سَمِعْتُ الْعَبَّاسَ يَقُولُ لِلْزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هَا
هُنَا أَمَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَرْكُزَ
الرَّايَةَ
Telah bercerita kepada kami Muhammad
bin Al ‘Alaa’ telah bercerita kepada kami Abu Usamah dari Hisyam bin ‘Urwah
dari bapaknya dari Nafi’ bin Jubair berkata aku mendengar Al ‘Abbas berkata
kepada Az Zubair radliallahu ‘anhuma: “Disinikah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan kamu untuk menancapkan bendera?” (HR. al-Bukhari no.
2754)
Karakteristik Bendera & Panji
Rasulullah saw
Secara bahasa, bendera dan panji di
dalam bahasa Arab disebut ‘alam. Juga disebutkan dari akar kata lawiya
bahwa al-liwa’ adalah al-’alam, yang jama’nya (plural) disebut
sebagai alwiyah. Dalam Mu’jam Lughatil Fuqaha’ didefinisikan;
اللواء : بكسر اللام ج ألوية وألويات ، علم الجيش سمي بذلك
لأنه يلوى لكبره فلا ينتشر إلا عند الحاجة
Tak jauh berbeda dengan definisi
dalam al-Mu’jam al-Wasiith;
(
اللواء ) العلم و هو دون الراية ( ج ) ألوية وألويات
ويقال بعثوا بالسواء واللواء بعثوا يستغيثون وفي الجيش عدد من الكتائب ( محدثة )
ورتبة عسكرية فوق العقيد ودون الفريق ( محدثة )
Sedangkan al-Raayah, merujuk
pada Kamus al-Muhiit rayah dari akar kata rawiya, ar-rayah adalah
al-’alam, yang jama’nya (plural) disebut sebagai raayaat. Dalam Mu’jam
Lughatil Fuqaha’ didefinisikan;
الراية : ج راي ورايات ، العلامة المنصوبة للرؤية
Tak jauh berbeda dengan definisi
dalam al-Mu’jam al-Wasiith;
(
الراية ) العلم ( ج ) راي
Secara syar’i, syara’ pun
menjelaskan bahwa al-liwaa’, al-raayah mengandung maksud dan ciri-ciri
khas, unik yang membedakannya dengan bendera-bendera kebangsaan manipulasi
penjajah, yaitu:-
- Bendera (Liwa’) adalah berwarna putih dan tertera di atasnya kalimah ‘La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah’ dengan warna hitam. Al-Liwaa’ adalah al-’alam (bendera) yang berukuran besar. Al-liwaa’ adalah bendera resmi Daulah Khilafah Islamiyah di masa Rasulullah Saw dan para Khalifah setelah beliau Saw, dan jumlahnya hanya satu.
DALIL-DALIL AL-SUNNAH
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
mengatakan, Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ishaq Al Washithi An
Naqid; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq dari Yazid bin Hayyan;
aku mendengar Abu Mijlaz menceritakan dari Ibnu Abbas, ia berkata;
أَنَّ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَتْ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ
“Sesungguhnya panji Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berwarna hitam dan benderanya berwarna putih.” (HR.
Abu Dawud no. 2808)
Riwayat Ibnu Abbas yang lain menurut
Abi Syeikh dengan lafadz, “Bahwa pada bendera Nabi Sallallahu ‘alaihi wa
Sallam. tertulis kalimat ‘La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah’. Semasa
perang (jihad), bendera ini akan dipegang oleh amir (panglima/ketua) perang. Ia
akan dibawa dan menjadi tanda serta diletakkan di lokasi amir tadi.
Dalil lainnya adalah perbuatan (af
’al) Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri, di mana baginda (sebagai amir),
semasa pembukaan kota Makkah telah membawa dan mengibarkan bendera putih
bersamanya. Diriwayatkan dari Jabir, “Bahwa Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam
memasuki Makkah dengan membawa bendera (liwa’) berwarna putih.” [HR Ibnu
Majah].
An-Nasa’i juga meriwayatkan Hadis
melalui Anas bahwa semasa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam mengangkat
Usama ibn Zaid sebagai amir (panglima) pasukan ke Romawi, baginda menyerahkan
bendera (liwa’) kepada Usama ibn Zaid dengan mengikatnya sendiri.
- Panji (Rayah) adalah berwarna hitam, yang tertulis di atasnya kalimah ‘La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah’ dengan warna putih. Ar-Raayah berbeda dengan al-’alam (bendera). Ar-Raayah adalah al’alam (bendera) yang berukuran kecil yang diserahkan oleh Khalifah atau wakilnya kepada pemimpin perang serta komandan-komandan pasukan Islam lainnya. Ar-Raayah merupakan tanda yang menunjukkan bahwa orang yang membawanya adalah pemimpin perang, dan jumlahnya banyak.
DALIL-DALIL AL-SUNNAH
Hadis riwayat Ibnu Abbas di atas
menjelaskan hal ini kepada kita. Ketika jihad, ia dibawa oleh ketua setiap unit
(Divisi, Batalion, Detasement ataupun unit lainnya). Dalilnya adalah Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa Sallam, semasa menjadi panglima perang di Khaibar,
bersabda, “Aku benar-benar akan memberikan panji (rayah) ini kepada orang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, lalu Rasulullah
memberikan panji itu kepada Ali.” [HR Bukhari]. Sayidina Ali karramallahu
wajhah pada masa itu boleh dikatakan bertindak sebagai ketua divisi ataupun
resimen.
Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Zakaria Telah menceritakan kepada kami Abu Ya’qub Ats Tsaqafi telah
menceritakan kepadaku Yunus bin Ubaid mantan budaknya Muhammad bin Al Qasim, ia
berkata; Muhammad bin Al Qasim mengutusku untuk menemui Al Baraa` bin Azib agar
menanyakan padanya tentang panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
seperti apakah bentuknya. Maka ia pun menjawab:
كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ
“Warnanya adalah hitam, berbentuk
persegi panjang dan terbuat dari kain wol.”
(HR. Ahmad no. 17884)
Diriwayatkan dari Harits Bin Hassan
Al Bakri yang mengatakan, “Kami datang ke Madinah, saat itu dan Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang berada di atas mimbar, sementara itu Bilal
berdiri dekat dengan beliau dengan pedang di tangannya. Dan di hadapan
Rasulullah terdapat banyak rayah (panji) hitam. Lalu aku bertanya: “Ini
panji-panjii apa?” Mereka pun menjawab: “(panji-panji) Amru Bin Ash, yang baru
tiba dari peperangan.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi,
menggunakan lafadz, “Aku datang ke Madinah, lalu aku masuk ke masjid di mana
masjid penuh sesak, dan di sana terdapat banyak panji hitam, sementara Bilal
–ketika itu- tangannya sedang memegang pedang di dekat Rasulullah Sallallahu
‘alaihi wa Sallam. Lalu aku bertanya: “Ada apa dengan orang-orang itu?” Mereka
menjawab: “Beliau Sallallahu ‘alaihi wa Sallam akan mengirim Amru Bin Ash ke
suatu tempat.” Maksud ungkapan “terdapat banyak rayah (panji) hitam”
menunjukkan bahwa terdapat banyak panji-panji yang dibawa oleh para tentera,
walaupun amir (panglima perang)nya hanyalah seorang, yaitu Amru Bin Ash. Dalam
riwayat An Nasa’i, dari Anas, “Bahwa Ibnu Ummi Maktum membawa panji hitam,
dalam beberapa pertempuran bersama Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam.”
Hadis-hadis di atas dan banyak lagi hadis-hadis lain menunjukkan kepada kita
bahwa itulah ciri-ciri bendera dan panji Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa
Sallam. Nas-nas tersebut juga menunjukkan bahwa hanya terdapat satu bendera
(liwa’) di dalam satu pasukan, tetapi boleh terdapat banyak panji (rayah) di
dalam setiap unit dalam pasukan yang sama, yang dipegang oleh ketua unit
masing-masing.
PENJELASAN PARA ‘ULAMA
Berikut ini adalah kesimpulan yang
telah dibuat oleh Imam al-Zarkhasiy, dan dikuatkan dalam syarah Kitab
al-Sair al-Kabir, karangan Imam Muhammad bin al-Hasan as-Syaibaniy, murid
dari Imam Abu Hanifah. Disana disimpulkan, “Liwaa’ adalah bendera yang berada
di tangan penguasa. Ar-Raayah, adalah panji yang dimiliki oleh setiap pemimpin
divisi pasukan, dimana semua pasukan yang ada dalam divisinya disatukan di
bawah panji tersebut. Liwaa’ hanya berjumlah satu buah untuk keseluruhan
pasukan. Liwaa’ digunakan sebagai patokan pasukan ketika mereka merasa perlu
untuk menyampaikan keperluan mereka hadapan penguasa (imam). Liwaa’ dipilih
berwarna putih. Ini ditujukan agar bisa dibedakan dengan panji-panji berwarna
hitam yang ada di tangan para pemimpin divisi pasukan.” (Syarh as-Sair
al-Kabir: I/72).
Bendera Sebagai Syi’ar Islam
Dulu kaum Muslimin hanya hidup untuk
Allah dan mati untuk Allah. Mereka benar-benar memahami ayat-ayat Allah bahwa
mereka dicipta hanya untuk beribadah kepadaNya. Oleh itu, mereka tidak ragu-ragu
untuk menyerahkan nyawa mereka di jalan Allah. Mereka menyertai peperangan demi
peperangan untuk menyebarkan risalah Allah dan rahmatNya. Mereka membuka negeri
demi negeri untuk menyatukannya ke dalam Daulah Islam. Dalam setiap peperangan
dan pembukaan negeri-negeri, mereka tidak pernah lalai dari membawa bendera
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. Itulah bendera yang mereka warisi dari
Nabi mereka dan mereka sanggup mati dengan bendera di tangan. Sebagaimana lagu
dan irama, peperangan dan bendera merupakan suatu yang tak dapat dipisahkan.
Di antara peperangan yang begitu
menyayat hati kita umat Islam ialah Perang Mu’tah yang terjadi pada bulan
Jamadil Awal tahun ke-8 H. Di dalam perang ini, Rasulullah menghantar 3,000
pahlawan elit Islam untuk bertempur dengan pasukan Romawi. Baginda mengangkat
Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dan bersabda, “Jika Zaid gugur, maka
Ja’far bin Abi Thalib akan menggantikan tempatnya, jika Ja’far gugur, maka
Abdullah bin Rawahah akan menggantikan tempatnya.” Pasukan pun berangkat dengan
disertai Khalid bin Al-Walid yang baru memeluk Islam setelah Perjanjian
Hudaibiyyah. Di dalam perjalanan, mereka telah mendapat informasi bahwa Malik
bin Zafilah telah mengumpulkan 100,000 tentara sementara Heraklius sendiri datang
dengan 100,000 tentara. Berita ini menyebabkan pasukan Islam berbeda pendapat
apakah harus terus berperang atau mengirim utusan untuk meminta bantuan
tambahan dari Rasulullah.
Namun Abdullah bin Rawahah terus
maju ke hadapan kaum Muslimin dan berkata dengan lantang dan berani, “Wahai
sekelompok kaum! Demi Allah! Sesungguhnya apa yang kalian benci justru itulah
yang kalian cari, yaitu syahid! Kita keluar memerangi musuh bukan karena jumlah
atau kekuatan atau berdasarkan jumlah, tetapi kita memerangi mereka demi Dinul
Islam, yang Allah telah memuliakan kita dengannya. Oleh karena itu
berangkatlah! Sesungguhnya di tengah kita ada dua kebaikan; menang atau
syahid.” Kata-kata ini telah membakar semangat mereka, lalu mereka pun
berangkat dengan penuh keimanan untuk menggempur musuh semata-mata karena
Allah. Maka terjadilah peperangan di tempat yang bernama Mu’tah, di mana di
tempat inilah Allah telah membeli beberapa jiwa kaum Muslimin untuk dibayar
dengan syurgaNya.
Sejumlah 3,000 pasukan Islam
berjuang habis-habisan melawan 200,000 tentera musuh. Satu perbandingan yang
tidak masuk akal jika difikirkan secara logik. Tetapi itulah hakikat umat
Islam, umat yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dibantu olehNya
pada setiap peperangan. Umat yang hidup di dunia ini hanya untuk Allah. Zaid
bin Haritsah yang merupakan panglima perang terus maju menggempur pasukan musuh
dengan membawa bendera Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam di tangan. Akhirnya
sebatang tombak menembusi tubuhnya dan beliau akhirnya gugur. Bendera segera
diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib, seorang pemuda yang baru berusia 33 tahun.
Ketika musuh telah mengepung kudanya dan menciderai tubuhnya, Ja’far justeru
turun dan terus menuju ke tengah-tengah musuh mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba
seorang tentera Romawi datang dan berhasil memukulnya. Pukulan itu menyebabkan
tubuh Ja’far terbelah dua dan beliau syahid
menemui Tuhannya. Bendera lalu disambar oleh Abdullah bin Rawahah dan terus
dibawa dengan menunggang kuda menuju ke tengah musuh. Beliau juga turut syahid
menyusuri kedua sahabatnya. Bendera lalu diambil oleh Tsabit bin Arqam seraya
berteriak, “Wahai kaum Muslimin! Berkumpullah disekeliling seseorang.” Lalu
kaum Muslimin pun berkumpul mengelilingi Khalid bin Al-Walid dan bendera Nabi
terus diserahkan kepada Khalid yang kemudian terus memimpin pasukan.Wahai kaum Muslimin! Begitulah sedikit kisah perjuangan golongan awal yang merupakan generasi terbaik umat Islam dengan membawa bendera Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. Bendera yang menjadi rebutan para sahabat untuk memegangnya di setiap peperangan. Bendera yang menyaksikan berapa banyak sahabat telah syahid demi mempertahankannya. Bendera yang dipegang erat oleh para sahabat agar ia tidak jatuh menjamah bumi. Bendera yang benar-benar dipertahankan oleh para pemimpin dan pejuang dari kaum Muslimin yang mulia sebagai syi’ar Islam. Bendera yang bagi setiap orang yang mengucap syahadah, ia sanggup mati kerananya di dalam setiap perjuangan, semata-mata kerana Allah. Inilah bendera kalian wahai saudaraku. Inilah bendera kita, umat Muhammad yang dimuliakan!
Khatimah
Wahai kaum Muslimin! Marilah kita kembali mengibarkan bendera kita, bendera Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam, bendera yang dicipta atas perintah Allah, bukannya ciptaan akal manusia, apalagi dicipta hanya melalui satu pertandingan. Inilah bendera yang selayaknya bagi umat Islam. Kita adalah umat Rasulullah, maka tunjukkanlah rasa kasih dan sayang kita kepada Rasul kita dengan kembali mengibarkan bendera Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. Bayangkan wahai kaum Muslimin, jika Rasulullah ada bersama kita, sanggupkah kalian berada di belakang Rasulullah dan mengibarkan bendera selain dari bendera Rasulullah? Padahal dengan bendera inilah Rasulullah telah menyatukan seluruh umat manusia yang mengucap kalimah yang tertulis padanya. Kibaran bendera inilah yang telah membawa risalah Allah ke seluruh penjuru dunia. Dengan melihat bendera inilah jantung musuh-musuh Islam berdegup kencang menanti saat kehancuran mereka. Bendera ini telah dibawa dan diangkat oleh para pejuang Islam ketika mendakwahkan agama Allah. Inilah satu-satunya bendera kita, bendera Rasulullah, bendera Islam, bendera Negara Islam, bendera Daulah Islam!!
Kita telah melihat bendera ini dikibarkan oleh kaum Muslimin di seluruh dunia seiring dengan perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan jalan menegakkan kembali Daulah Khilafah. Kita juga melihat bendera ini berkibar di Indonesia oleh para pejuang Islam yang berusaha ke arah yang sama. Semoga kita akan dapat melihat bendera ini dikibarkan oleh para pemimpin kaum Muslimin di seluruh dunia termasuk Indonesia walaupun sebelum berdirinya Khilafah. InsyaAllah, setelah Khilafah berjaya ditegakkan, kita akan melihat bendera ini sekali lagi dikibarkan dengan penuh bangga. Air mata terharu dan kegembiraan akan menitis pada hari itu, hari di mana sistem Allah telah kembali ke muka bumi. Bendera ciptaan Allah ini akan kembali berkibar ditiup angin di udara dengan megahnya. Inilah hari kemenangan Islam, hari yang Allah menurunkan pertolonganNya kepada kaum Muslimin yang bersungguh-sunguh berjuang demi menegakkan agamaNya. Inilah hari yang kita berusaha siang dan malam untuk menggapainya dan kita benar-benar menanti akan kedatangannya. Inilah hari Daulah Khilafah ’ala minhaj nubuwah yang kedua kalinya, kembali muncul memimpin dunia untuk membawa rahmat Allah ke seluruh alam. Maha Suci Allah yang akan mengembalikan hari tersebut kepada kita semua.
SERUAN
Wahai kaum Muslimin! Itulah bentuk, corak dan warna bendera Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadis-hadis yang diriwayatkan menggambarkan dengan jelas akan bendera dan panji Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak ada spesifikasi lain selain ini. Yang tertulis padanya hanyalah satu kalimah yang Rasulullah diutus karenanya. Kalimah yang telah dibawa dan diperjuangkan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat. Kalimah yang para pendahulu kita telah syahid kerana mempertahankannya. Dan kalimah inilah yang akan kita ucapkan di kala Izrail datang menjemput. Inilah kalimah tauhid yang menyatukan kita semua tanpa melihat bangsa, warna kulit, persamaan geografi dan sebagainya. Inilah kalimah yang akan menyelamatkan kita dari azab Allah di akhirat nanti. Inilah kalimah yang ada pada bendera Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam…..kalimah “LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH”!
Amin ya Rabbal alamin.
SUDAH SAATNYA BAGI KITA MENJUNJUNG TINGGI BENDERA & PANJI ALLAH & RASUL-NYA!!!
اَللّهُمَّ
مَكِّنّاَ مِنْ إقَامَةِ الْخِلآفَةِ الإسْلآمِيَّةِ وَ رَفْعِ الرَّايَةِ
الإسْلآمِيَّةِ وَ تَطْبِيْقِ الشَّرِيْعَةِ الإسْلآمِيَّةِ
Yaa Allah, kokohkanlah kami untuk mendirikan Negara Al Khilafah Al
Islamiyyah, mengibarkan bendera Islam, dan menerapkan Syariat Islam.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ وَاقِدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ
حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى زَيْدًا وَجَعْفَرًا وَابْنَ
رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ فَقَالَ أَخَذَ الرَّايَةَ
زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ
فَأُصِيبَ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ
اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Waqid Telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dai Humaid bin Hilal dari Anas radliallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengumumkan kematian
Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah kepada para sahabat
sebelum berita kematian mereka sampai. Nabi sabdakan: “Bendera perang diambil
oleh Zaid, lantas ia gugur, kemudian Ja’far mengambil alih benderanya, ia pun
gugur, lantas diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah dan ia pun gugur -seraya
kedua mata beliau berlinang-, lantas bendera diambil oleh “si pedang Allah”,
Khalid bin Al Walid hingga Allah membuka kemenangan bagi mereka. (HR.
al-Bukhari no. 3929)[1] Hadits:
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ لَمَّا سَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ
الْفَتْحِ فَبَلَغَ ذَلِكَ قُرَيْشًا خَرَجَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ
وَحَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ وَبُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ يَلْتَمِسُونَ الْخَبَرَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلُوا يَسِيرُونَ
حَتَّى أَتَوْا مَرَّ الظَّهْرَانِ فَإِذَا هُمْ بِنِيرَانٍ كَأَنَّهَا نِيرَانُ
عَرَفَةَ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ مَا هَذِهِ لَكَأَنَّهَا نِيرَانُ عَرَفَةَ
فَقَالَ بُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ نِيرَانُ بَنِي عَمْرٍو فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ
عَمْرٌو أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ فَرَآهُمْ نَاسٌ مِنْ حَرَسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَدْرَكُوهُمْ فَأَخَذُوهُمْ فَأَتَوْا بِهِمْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ أَبُو سُفْيَانَ
فَلَمَّا سَارَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ احْبِسْ أَبَا سُفْيَانَ عِنْدَ حَطْمِ
الْخَيْلِ حَتَّى يَنْظُرَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ فَحَبَسَهُ الْعَبَّاسُ
فَجَعَلَتْ الْقَبَائِلُ تَمُرُّ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَمُرُّ كَتِيبَةً كَتِيبَةً عَلَى أَبِي سُفْيَانَ فَمَرَّتْ كَتِيبَةٌ
قَالَ يَا عَبَّاسُ مَنْ هَذِهِ قَالَ هَذِهِ غِفَارُ قَالَ مَا لِي وَلِغِفَارَ
ثُمَّ مَرَّتْ جُهَيْنَةُ قَالَ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَرَّتْ سَعْدُ بْنُ هُذَيْمٍ
فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ وَمَرَّتْ سُلَيْمُ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى
أَقْبَلَتْ كَتِيبَةٌ لَمْ يَرَ مِثْلَهَا قَالَ مَنْ هَذِهِ قَالَ هَؤُلَاءِ
الْأَنْصَارُ عَلَيْهِمْ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ مَعَهُ الرَّايَةُ فَقَالَ سَعْدُ
بْنُ عُبَادَةَ يَا أَبَا سُفْيَانَ الْيَوْمَ يَوْمُ الْمَلْحَمَةِ الْيَوْمَ
تُسْتَحَلُّ الْكَعْبَةُ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ يَا عَبَّاسُ حَبَّذَا يَوْمُ
الذِّمَارِ ثُمَّ جَاءَتْ كَتِيبَةٌ وَهِيَ أَقَلُّ الْكَتَائِبِ فِيهِمْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ وَرَايَةُ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ فَلَمَّا
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَبِي سُفْيَانَ قَالَ
أَلَمْ تَعْلَمْ مَا قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ قَالَ مَا قَالَ قَالَ كَذَا
وَكَذَا فَقَالَ كَذَبَ سَعْدٌ وَلَكِنْ هَذَا يَوْمٌ يُعَظِّمُ اللَّهُ فِيهِ
الْكَعْبَةَ وَيَوْمٌ تُكْسَى فِيهِ الْكَعْبَةُ قَالَ وَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُرْكَزَ رَايَتُهُ بِالْحَجُونِ. قَالَ
عُرْوَةُ وَأَخْبَرَنِي نَافِعُ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ سَمِعْتُ
الْعَبَّاسَ يَقُولُ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ هَا
هُنَا أَمَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَرْكُزَ
الرَّايَةَ قَالَ وَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَئِذٍ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ أَنْ يَدْخُلَ مِنْ أَعْلَى مَكَّةَ مِنْ
كَدَاءٍ وَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُدَا
فَقُتِلَ مِنْ خَيْلِ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ
رَجُلَانِ حُبَيْشُ بْنُ الْأَشْعَرِ وَكُرْزُ بْنُ جابِرٍ الْفِهْرِيُّ
Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Ismail Telah menceritakan kepada
kami Abu Usamah dari Hisyam dari Ayahnya, katanya, ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perjalanan pada penaklukan Makkah,
orang-orang Quraisy mendengar berita kepergiannya. Maka Abu Sufyan bin Harb,
Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa’ langsung memburu berita Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam. Mereka terus melakukan perjalanan hingga sampai
Marru Zhahran. Tiba-tiba mereka lihat perapian seolah-olah perapian Arafah. Abu
Sufyan berkomentar “Apa ini, rupanya ia adalah perapian Arafah.” Sedang Budail
bin Warqa’ mengtakan “Itu perapian Banu Amru.” Sedang Abu Sufyan mengatakan;
‘Perapian Banu Amru lebih kecil daripada itu.” Para penjaga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian melihat pembesar-pembesar Quraisy ini,
mereka memburunya dan menangkapnya, serta meringkusnya ke hadapan Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam. Rupanya Abu Sufyan kemudian masuk Islam. Ketika
Rauslullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan inspeksi pasukan, beliau
katakan kepada Abbas; “Tolong Abu Sufyan engkau tahan di lokasi unta-unta yang
dilubangi hidungnya itu sehingga ia bisa bebas mengamati kegiatan kaum
muslimin.” Abbas pun menahan Abu Sufyan, selanjutnya beberapa kabilah lewat
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka lewat regu demi regu melewati
Abu Sufyan. Sebuah regu kemudian melewatinya dan Abu Sufyan bertanya “Wahai
Abbas, Siapa ini? Abbas menjawab; “Ini bani Ghifar. Kata Abu Sufyan; Apa
urusanku dengan ghifar, aku dan mereka belum pernah terlibat perang.” Kemudian
bani Juhainah lewat dan Abu Sufyan memberi komentar yang sama, Bani Sa’d bin
Hudzaim lewat dan Abu Sufyan berkomentar yang sama, bani Sulaim lewat dan Abu
Sufyan berkomentar yang sama, hingga lewatlah sebuah regu yang Abu Sufyan belum
pernah melihatnya sama sekali.”Dan siapakah ini?” Tanya Abu Sufyan. Jawab
Abbas; “Mereka adalah sahabat anshar, yang dipimpin oleh Sa’d bin Ubadah dengan
membawa bendera. Sa’d bin Ubadah berujar; “Wahai Abu Sufyan, hari ini adalah
hari peperangan, hari ini ka’bah dihalalkan (tercederai karena perang).” Lantas
Abu Sufyan mengatakan “Alangkah indah hari pembelaan ini! Kemudian datang
sebuah regu yang anggotanya paling sedikit yang diikuti oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam, para sahabatnya, dan bendera Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersama Zubair bin Awwam. Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melewati Abu Sufyan, Abu Sufyan berujar “Tidakkah engkau dengar
ucapan Sa’d bin Ubadah?”Apa yang diucapkannya? Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab “Bohong si Sa’d itu,
namun yang benar hari ini adalah hari Allah mengagungkan ka’bah, dan hari saat
ka’bah agar diberi kiswah (kain penutup ka’bah).” Lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memberi intruksi agar bendera kaum muslimin ditancapkan di
Hujun. Kata ‘Urwah, dan telah mengabarkan kepadaku Nafi’ bin Jubair bin Muth’im
katanya, aku mendengar Abbas berujar kepada Zubair bin Awwam; “Wahai Abu
Abdullah, disinilah Rasulullah memerintahkanmu agar bendera ditancapkan.” Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan Khalid bin Walid agar masuk
Makkah lewat bagian atas dari Kada”, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
masuk Makkah melewati Kuda -nama tempat-, pasukan berkuda Khalid bin Walid
radliallahu ‘anhu ketika itu terbunuh dua orang, Hubaisy bin Al Asy’ar dan Kurz
bin Jabir Al Fihri. (HR. al-Bukhari no. 3944)Selasa, 18 September 2012
Sudahkah Kita Mengenal Dunia Kampus ???
Hhe..bahasanya udah pake bahasa tingkat
Mahasiswa nie. Cie..cieee
Ya ndapapalah, karena emang kudu tau nie
tentang Dunia Kampus kalau kita sebagai mahasiswa yang baru =) Tapi penulis tak
hanya mengkhususkan buat yang ngerasa muda alias mahasiswa baru aja loh. Yang
mahasiswa lama pun boleh nyimak nie tulisan. Ya namanya juga Dunia Kampus.
Dunia yang tak pernah lepas dari yang namanya “mahasiswa”. Ntah itu mahasiswa
baru mau pun mahasiswa lama.
Okey sekarang penulis ingin mengajak para
pembaca untuk sedikit merenungkan akan “Status menjadi seorang mahasiswa”.
Status ini tentu sangat berbeda dengan status sebelum menjadi mahasiswa
adalah seorang siswa. Masih ingat dan terbayang akankah dunia siswa lalu? Mungkin
masa-masa SMA/MA/sederajatnya. Hhe
Dimana aturan yang diberlakukan dulu ketika menjadi siswa cukup
ketat dan harus dilakukan. Misalkan saja harus berpakaian seragam, harus bersepatu
hitam, harus memakai ikat pinggang. Harus potong ramput sepak bagi yang
laki-laki. Yang perempuan harus pakai seragam yang longgar tidak ber-rok mini.
Belum lagi banyaknya aturan sekolah baik harus ikut ekstrakulikuler atau pun
latihan-latihan untuk lomba dan lain sebagainya. Nah…tapi, hal ini sangat
berbeda jika sudah masuk ke Dunia kampus alias Dunia Mahasiwa. Kalau kemarin
dunia siswa sekarang dunia Mahasiswa. Di dunia mahasiswa ini, mahasiswa diberikan
ruang bebas dalam segalanya. Bahkan penulis ber-warning- apabila seorang
mahasiswa tidak bisa mengambil peluang justru yang terjadi adalah ia mendapatkan
jebakan.
Bisa kita buat slogannya “Dunia Mahasiswa,
Penuh Peluang, Penuh Jebakan!”
Humm..jadi musti ati-ati nie kayaknya, yang
merasa sudah menjadi mahasiswa. Mahasiswa merupakan tingkat tertinggi dalam hal
jenjang pendidikan. Sehingga jangan heran jika masyarakat lingkungan alias
tetangga kita memandang seorang diri kita ini adalah berbeda dengan yang bukan sebagai
mahasiswa. Masyarakat itu memandang kita, dengan pandangan tinggat tinggi,
karena mahasiswa dipandang memiliki posisi penting dan terpandang. Ya, jelas
dipandang sebagai “intelektual, harapan perubahan bangsa lebih baik dan menjadi
tempat rujukan dalam mencari solusi permasalahan”.
Nah apalagi nie, kita yang terlebih sebagai
mahasiswa yang berkuliah di Kampus Islam. Penulis yakin bahwa masyarakat
menunggu kita untuk bisa menjadi harapan menyelesaikan masalah publik merujuk
kepada rujukan hukum-hukum Islam.
Berbicara tentang mahasiswa juga tidak bisa
terlepas dari ikonnya sebagai Agent of change dan iron stock-nya.
Namun, sayangnya sematan ikon tersebut banyak tak disadari sendiri oleh sang mahasiswanya.
Ya wajar sajalah, di tengah era Globalisasi saat ini yang penuh dengan godaan arus
kebebasan, dunia kampus pun tak luput dari serangan kebebasan tersebut. Baik
serangan kebebasan pemikiran, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi,
hingga pergaulan yang bebas. Disinilah mahasiswa dihadapkan pada dunia kampus
yang varian dan tentunya ada peluang dan jebakan. Tuuh khan slogannya nonggol
lagi “Dunia Mahasiswa, penuh peluang, penuh jebakan”.
Maka menjadi mahasiswa memang
dituntut bersikeras untuk memilah-milah dan menemukan sosok bagaimana menjadi
mahasiswa Ideal. Sebelumnya penulis ingin bertanya. “Anda Muslim?” Jika “Ya”.
Maka jangan pernah lupakan status anda sebagai seorang Muslim. Sehingga
harapannya masuk ke Dunia Kampus tak sekedar memilah untuk menjadi “Mahasiswa
Ideal tetapi menjadi “Mahasiswa Muslim Ideal”. Yang sesungguhnya sosok inilah
yang sebenarnya diharapkan oleh keluarga, masyarakat bahkan negara.
Mengembalikan sadar status “Mahasiswa
Muslim” tentu tidak mudah harus dibarengi dengan wawasan pengetahuan dan
tsaqofah Islam sebagai benteng dalam menjagai diri sehingga tidak terperosok
dalam jebakan yang dapat mematikan peran tersebut.
Kembali kepada “Dunia Mahasiswa, penuh
peluang dan penuh jebakan”
Bagaimana yang dikatakan peluang : dikatakan
peluang apabila seorang mahasiswa mengambil pilihan aktivitas atau peluangnya
dengan niatan mengharap keridhoan Allah. Sehingga dorongan yang melandasi
aktivitas untuk memilihnya adalah dorongan keimanannya kepada Allah SWT. Bukan
karena asas manfaat atau pun asas nyaman tidaknya.
Mendudukan kembali bahwa tujuan mahasiswa di
kampus pun juga tidak terlepas dari hakikat tujuan kehidupan kita di dunia ini.
Karena dunia kampus merupakan bagian kecil yang turut andil dalam mewarnai fase
kehidupan kita didunia. Sehingga memang semustinya seorang mahasiswa harus memahami
dunia kampus agar tidak terjebak. Apabila setiap mahasiswa mampu mengarahkan
keinginannya untuk mengharap keridhoan Allah niscaya itulah peluang yang bisa
kita ambil. Misalkan saja ketika dapat tugas kuliah, hal ini akan menjadi
peluang ketika kita mengerjakan tugas tersebut dengan diniatkan untuk beribadah
kepada Allah, atau ketika diberikan kesempatan untuk berpresentasi, itu kita
niatkan juga untuk beribadah.
Contoh yang lain, ketika ikut organisasi pun juga
ikutlah karena dorongan keimanan sehingga organisasi yang diikutinya pun tentu
bukan organisasi jebakan yang menjauhkan kita dari hakekat tujuan hidup kita
yang sesungguhnya yakni beribadah. Dan tentunya aktivitas keorganisasian,
aktivitas kuliah baik yang bersifat akademik maupun yang non akademik tidak
kemudian melalaikan akan makna kebahagiaan mengharap keridhoan Allah. Disinilah
yang kemudian oleh penulis didefinisikan akan makna peluang dari slogan yang
disebut diatas tadi. Yakni melakukan aktivitas dengan niatan karena Allah dan
sesuai dengan aturan Islam. Bahkan tak hanya menjadi peluang tetapi insyallah
juga akan ada nilainya dihadapan Allah SWT. Aamiinn
Lantas bagaimana yang kemudian dimaksud
dengan dunia mahasiswa yang banyak jebakannya. Berbicara tentang jebakan tentu
bisa kita melihat fakta kerusakan remaja akhir-akhir abad ini, tak terkecuali
juga pelakunya adalah usia-usia mahasiswa. Menurut penulis ketika ia (Seorang
mahasiswa) melalaikan akan makna kebahagiaa hakiki dan makna hakekat kehidupannya
yang untuk beribadah tentu akan sangat mudah sekali terjebak dalam jebakan semu.
Dari kuliah, misalkan saja pada ruang
kuliah hanya diberikan kesempatan 75%. Belum lagi dalam perjalanan kuliah yang
harus dihadapkan pada banyaknya tugas
sehingga membelenggu para mahasiswa untuk berteguklutut fokus dengan padatnya
tugas. Ketika banyak tugas, sayangnya tugas ditambah lagi dengan minggu
depannya harus mempresentasikan makalah. Lelah memang, bisa kita bayangkan
sejenak. Seminggu sebelumnya sibuk mencari buku di Perpustakaan, belum lagi
pinjamnya harus naik dulu ke Perpustakaan lantai 3. Ditambah dengan bahan buku
bacaan yang harus dikebut dan itu lebih dari dua buku. Setelah itu diambil mana
yang penting dan mana yang harus diketik untuk disusun dalam makalah. Itu pun
baik tugas makalah individu maupun makalah kelompok. Setelah makalah jadi. Masalah
tak kunjung selesai, masih ditambah dengan harus mengusai bahan presentasi
secara matang. Untuk apa? Untuk bisa
mempresentasikan di depan Kelas dan bisa menjawab pertanyaan dari Dosen dan dari
mahasiswa. Setelah presentasi selesai.
Jangan dikira masalah tugas kampus
selesai. Ini baru SATU matakuliah belum dengan mata kuliah yang lainnya yang
sebagian besar menggunakan metode yang sama yakni membuat makalah, mpresentasikan
pada setiap minggunya. Huhh… presentasi bak antrian beli tiket diantrian loket
kereta api. Setiap minggu pasti ada makalah dan presentasi yang harus
ditampikan setiap minggunya. Bisa kita bayangkan bukan, bikin pusing, tidak
bisa mengkaji Islam, fokus masalsah tugas. Haduuuh…apabila mahasiswa
terkodisikan mengikuti alur sistem kampus seperti itu, bisa dipastikan masuk
pada bagian mahasiswa yang terjebak sibuk pada kuliah.
Ya penulis tau itu sih memang tugasnya anak
mahasiswa. Tapi, mari kita tengok efek jangka panjangnya apabila kondisi
seperti itu tidak diambil alih untuk diposisikansebagai peluang yang diniatkan
untuk beribadah. Efeknya ia pun sibuk mengurusi tugas-tugasnya tetapi
melalaikan perkara yang sifatnya publik, misalkan kasus korupsi yang merugikan
uang rakyat, kasus hukum yang tidak adil, mahalnya biaya bahan pokok bahkan
biaya pendidikan. Parahnya sampai melupakan untuk mengugurkan kewajiban ‘ain (mengkaji
Islam Kaffah).
Sehingga apabila kebiasaan inni dilanjutkan
ini bisa berimbas kepada jebakan yang menyibukkan berfikir hanya skup pribadi
semata (individualisme) ditengah-tengah banyaknya permasalahan bangsa saatini.
Apa jadinya jika seorang mahasiswa yang digandang-gadang masyarakat sebagai agent
of change justru malah memikirkan kepentingan dan urusannya pribadi tentu
ini akan mematikan peran dan harapan masyarat dan bangsa sendiri.
Penulis
kembali menegaskan bahwa Dunia kampus adalah dunia yang penuh tantangan yang
didalamnya banyak peluang dan banyak jebakan. Semustinya dari hal tersebut kita segera
sadar status yakni menjadi MAHASISWA MUSLIM yang menjadikan Islam sebagai kepemimpinan kita dalam berfikir. Untuk itu
dibutuhkan upaya untuk memahami Islam secara komprehensif, mengamalkannya serta
menyebarkannya. Semoga status kita sebagai mahasiswa saat ini mampu memainkan perannya sebagai
agen pengubah menuju perubahan yang lebih baik dengan Islam kaffah.
Aamiin Allahuma Aamin.
[Ukhtyan, 19 September 2012. 8.14 am]
Langganan:
Postingan (Atom)