=========================================
Bismillah...
Banyak dalil yang menunjukkan kewajiban menegakkan syariah. Di antaranya dalil tentang wajibnya mentaati Allah, RasulNya dan pemimpin (An-Nisaa : 59).
Ayat ini mengharuskan adanya pemimpin yang menerapkan aturan Allah dan RasulNya.
Pada Qur’an surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47, 48, dan 49 secara tegas mengandung perintah menerapkan syariah.
Lalu mengapa kewajiban berhukum Syariah ini diartikan menegakkan negara berdasarkan Syariah?
Hal ini didasarkan oleh kaidah fiqih
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.
Kaidah ini disampaikan oleh Imam Al-Ghazali. Dan perlu diketahui bahwa setiap kaidah fiqh disusun oleh ulama ushul berdasarkan penelitiannya terhadap nash-nash Qur’an dan Sunnah.
Atas dasar kaidah ini, kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya negara dan penguasa yang bertindak sebagai pelaksana (munaffidz), maka mewujudkan negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu menjadi wajib.
Kalau pihak yang berwenang menghukumi dengan syariah itu tidak disebut negara, lalu mau disebut apa?
Hanya saja, wajibnya menerapkan syariah oleh negara ternyata masih menyimpan pertanyaan: jika memang intinya penerapan syariah oleh negara, mengapa harus bentuknya Khilafah?
Bukankah negaranya boleh apa saja, entah republik (demokrasi), monarki, dsb, yang penting menerapkan syariah?
Berikut penjelasannya.
Mengapa Harus Khilafah?
1. Dalil Qur’an
Dalil Qur’an tentang wajibnya menerapkan khilafah adalah dalil-dalil kewajiban berhukum dengan syariah sebagaimana dipaparkan di atas. Selain itu, ada juga dalil Qur’an yang mencantumkan kata “khalifah” di dalamnya, yaitu ayat berikuti ini:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Memang ada banyak penafsiran atas kata “khalifah”. At-Thabariy berpendapat bahwa “khalifah” yang dimaksud adalah pemimpin untuk kalangan jin. Sedangkan asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi berpendapat bahwa maksudnya pemimpin untuk malaikat. Sedangkan Ibnu Katsir memaknai penyebutan “khalifah” karena manusia menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain (arti khalifah sendiri adalah pengganti.
Namun, ada pendapat keempat : maksud ayat di atas adalah manusia diturunkan untuk menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi. Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.
2. Dalil hadits
Perhatikan hadits-hadits ini :
“Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.”
Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” [HR. Muslim]
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi SAW disebut sebagai khalifah. Memang ini sifatnya khabar bukan perintah. Namun, sebuah hadits ahad tidak mungkin dijadikan dasar aqidah, dan oleh karenanya menjadi dasar amal. Maknanya, hadits ini mengharuskan kita beramal untuk mewujudkan khilafah.
3. Dalil ijma shahabat
Ijma shahabat adalah tafsir terbaik atas Qur’an dan Sunnah. Para shahabat adalah rujukan pertama sekaligus standar kebenaran tatkala kita ingin memahami Qur’an dan Sunnah. Fakta menunjukkan bahwa para shahabat sibuk memilih khalifah bahkan hingga menunda pemakaman Rasulullah SAW.
Abu Bakar r.a. dibaiat sebagai khalifah, dengan sebutan yang memang “khalifah” lalu disepakati oleh para shahabat. Kesepakatan (ijma) mereka menjadi dalil bahwa khilafah itu wajib dan bahwa bentuk pemerintahan Islam adalah khilafah.
Ijma shahabat tidak mungkin diganggu gugat. Rasulullah SAW menjamin bahwa mereka generasi terbaik. Mereka adalah manusia terbaik dengan pemahaman yang terbaik atas apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Kata Para Ulama Tentang Khilafah
Kaidah fiqh yang disebutkan di atas menjadi salah satu pendapat ulama yang mendukung kewajiban pendirian khilafah. Selain itu, seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362.
Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya.
Jelaslah bahwa mendirikan khilafah itu wajib, dan berdosa meninggalkannya. Tanpa khilafah, banyak aspek syariah yang terbengkalai. Di samping itu, mendirikan Khilafah adalah wujud ketaatan kita pada Allah SWT dan RasulNya. Jadi, jika ada pendapat bahwa kewajiban mendirikan Khilafah tidak ada landasannya dalilnya, maka entah dalil apa lagi yang dimaksud. Wallahu a’lam.
***
Mari sahabat sebarkan informasi ini.
Semoga bisa menginspirasi kebaikan dan bisa menjadi amal jariyah untuk kita bersama. Jazakumullahu khairan katsiron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami