“Mengapa sampai saat detik ini masih terjadi fenomena pacaran?”
Sebuah pertanyaan yang sepintas muncul seusai sepulangku dari kost teman yang
berada disekitar kampus. Fokus pada perjalanan pulang dengan motor warna
putih-merahku memandangi peristiwa perjalanan pulang. Masih saja ku temui duo
laki-laki dan wanita beraktivitas layaknya kaka dan adik atau orang yang sudah
menikah. Bukan hanya satu atau dua, mungkin bisa mencapai berbilang puluhan,
dalam perjalanan pulang dengan durasi kurang lebih 30 menit.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa fenomena aktivitas yang “non
halal” alias pacaran ini masih tercecer disekitar kita. Tak hanya lingkup
tetangga rumah namun tak luput pula dunia mahasiswa, dunia para pelajar dan para
remajanya, bahkan anak SD yang usianya dini.
#Ingat!, ini hanya ada di sistem demokrasi
Mencoba merenungi dan memikirkan, apakah kiranya yang kemudian
membuat hal ini bisa tumbuh subur dan sudah turun temurun generasi ke generasi
selanjutnya. Memandangi orang yang sudah berkepala dua, seusia mahasiswa atau
yang sudah bekerja bergelar dengan status “pacaran”. Apakah mereka mau
dikatakan dengan sebutan “Seperti anak-anak saja”. Mengapa? Karena menurutku,
perbuatan “non halal” tersebut demikian hanya dilakukan bagi orang yang akalnya
belum berfungsi secara sempurna. Tentu tahu, masa anak-anak atau usia belum
baligh, itulah usia dimana akal dikatakan belum sempurna. Akan yang belum
sempurna ia belum bisa menimbang, antara mana yang benar dan mana yang salah. Antara
mana yang haq dan mana yang bathil. Bukankah para pelaku pacaran
sangat mirip seperti anak-anak yang akalnya belum sempurna. Karena anak-anak belum
bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Cukup lucu bukan? memang dan #Ingat! Ini hanya di sistem demokrasi-sekuler
saat ini. Terkadang aku pun juga berfikir apa sih yang gak lucu dan membuat
heran kita hidup di sistem demokrasi-sekuler saat ini. Hampir semua lini kehidupannya dibuat lumrah
dan hal yang wajar biasa saja, itupun dibumbui dengan istilah “kan atas dasar Hak
Asasi Manusia”. Maka lagi-lagi jangan heran, kalau ada orang yang pacaran ya
dibilang “Biasa aja tuh”, ada orang mabuk “Biasa aja neng”. Ada orang judi
“Biasa aja dik”, Ada orang korupsi “Biasa itu nduk”. Ada Aborsi “Biasa aja
mbak”. Ada pemerkosaan “Sudah biasa itu mah”. What!!! Semua dibilang biasa?
Terus yang luar biasa yang seperti apa??
Rasanya hati tercincang-cincang, ketika suatu kemaksiatan dianggap
biasa, ketika hukum Allah seolah tak layak menyentuhnya. Ketika berkah Allah tak
turun karena banyaknya ahli maksiat, masyallah….apakah terus akan dibuat buta
dan tuli???
Bagi orang yang punya AKAL tentu tidak akan membiarkannya, karena
orang yang berakal, akalnya berfungsi untuk membedakan mana yang benar dan mana
itu yang salah.
Sabar, memang hidup disistem saat ini bisa naik pitam kalau kita
tak menundukan pada aturan yang Maha Mengatur yakni Allah swt.
Jika saja negeri ini akan terus melanjutkan sistem
demokrasi-sekulernya maka ku pastikan fenomena ini akan terus menerus akan menjadi
warisan turun temurun tidak habis tujuh turunan lanjut ntah sampai turunan
keberapa.
Ku Tanya pada para aktivis pacaran. Bukankah pacaran itu adalah
berbuatan yang anda tahu bahwa didalamnya ada hal yang bertentangan dengan
aqidah Islam. Di sisi lain ku tahu memang ada segelintir aktivis pacaran yang
menyadarinya, namun jangan salah juga tetap ada yang getol “sudah tahu
hukumnya” tapi pura-pura gak tahu. Fatalnya dia sampai menyetop diri untuk
tidak mau mendengarkan atau melihat tulisan kita ini dengan dalih “Ngapain sih
lo ngurusi gue, Pliss deh gak usah sok ngurusin orang laen, urusin aja tuh diri
loe sendiri, keluarga loe ama orang tua loe”. Really, ketemu orang beginian
memang harus lapang sabarnya, kita pun gak bisa “ngotot dan memaksanya”. Cukuplah
nada pelan terbunyi “segeralah bertaubat sebelum terlambat”. Jika ucapan singkat
demikian sudah terlontar namun juga tak lagi digubris. Kelak ia akan
menyadarinya bahwa aktivitasnya kini adalah pada posisi istilah “Jaman
Jahiliyah”.
Mari buka mata, buka telinga. Aku tidak membencimu secara
individumu namun akan pemikiranmu yang demikian. Dan ini sadarilah, namun jika
tidak sadar. Waktu kelak yang akan menjawabnya.
Aku sendiri lagi-lagi kembali diherankan dan #Ingat! Ini hanya ada
di demokrasi
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa bikin sakit hati namun kenapa
juga masih dijalani.
Sudah tahu kalau pacaran itu adalah hal yang haram namun tetap saja
dilakoni
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa bikin zina hati, fikiran dan
tangan tetap saja diijabahi
Sudah tahu kalau pacarank itu bisa bikin patah hati, namun tetap
saja disayangi
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa dikhianati, namun tetap saja
terpikati
Sudah tahu kalau pacara itu bisa diselingkuhi, tapi masih saja
mencintai
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa ditinggalkan, tapi tetap saja
diratapi
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa mengarahkan free sex, tapi tetap
saja mau diarahi
Sudah tahu kalau pacaran itu bukan cinta yang hakiki, namun tetap
saja dipegangi
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa melupakan dari aturan Allah,
namun tetap dipaksakan dengan dalil pacaran Islami.
Masyallah…akan sampai kapan sudah tahunya mereka berhenti kepada
titik “SADAR” dan menyetop praharanya
Ancaman kesadaran itu kini sedang dibungkus oleh sistem
demokrasi-sekuler yang akan terus mengkondisikan aktivitas ini tetap langgeng.
Karena kekuatan demokrasi salah satunya adalah kebebasan dalam berekspresi.
Lihatlah bagaimana menjagainya “non halal” ini yakni dengan jajanan film
sinetron yang berisi “love dan pacaran”, pada ranah iklan dijumpai para
modelnya para perempuan yang gaunnya separuh jaitan bak kekurangan kain.Di area
media cetak, majalah, Koran, buku-buku, otak kotor dan gambar kotor pun
tersebar leluasa. Bagaimana negeri ini generasinya gak jebol akalnya,
lingkungannya mendidik dengan didikan jahat.
#Ingat!, ini hanya ada di demokrasi
Teruntuk para aktivis pacaran, jika kamu memang cinta dengan
dia, maka cintailah dia dengan cara Yang
Allah cintai, yakni menjadikan hukum Allah sebagai standar dalam berbuat. Untuk
itu jika memang cinta jangan kau nodai dengan noktah-noktah hitam kemaksiatan
yang kau bangun dengannya
Jika memang cinta jangan biarkan ia terjerumus dan terperosok jauh pada
palung siksa api neraka
Jika memang cinta jangan biarkan dia menyesal karena perbuatan
maksiatnya dilakukan dengan dirimu
Ku tahu memang ini bukan hal yang mudah, bahkan mungkin kau akan
mengatakan bahwa “aku takut putusku justru akan menyakitinya”.
Fahamilah, lantas apakah hati harus selalu merasakan perasaan
senang terus? Tidak! ingatlah Allah bahwa Allah memberikan dan memberikan hati
kepada manusia punya dua fungsi yakni bukan hanya sekedar untuk merasakan rasa
senang melainkan adakalanya hati juga bisa merasakan sakit, ya senang dan
sakit. Namun sakit itu semestinya membuatmu tersadarkan dan bukan malah justru
memelihara dia dalam kondisi yang justru akan menyakiti hati dan badan dia
kelak dihadapan-Nya.
Lebih milih mana antara besuk diakherat ketemu lagi di Surga-Nya karena
kau telah menjadikan dia sebagai bidadari surgamu dengan ketaatan kepada Illahi
Robbi atau bagi yang perempuan bisa bertemu kembali dengan menjadi suamimu kelak
di Surga-Nya. Ataukah justru bertemu ditempat selain Surga? Naudzubillaah…
Bukankah Islam yang kau anut tak sekedar hadir dalam sholat, puasa,
zakat atau mampu hajimu. Islam juga ada aturan saat keluarnya kau dari
masjid, akan busanamu, akan akhlakmu, akan makan dan minimum dan
juga akan pergaulanmu antar dengan lawan jenis. Islam memberikan solusinya. Ketika
sudah mampu serta siap maka menikahlah, namun jika belum mampu tundukanlah
pandangan, jagai kehormatan dan berpuasalah. Inilah cara Islam yang mencerdaskan
kita, memberikan solusi dari gejolak naluri nau’ (naluri melestarikan
keturunan) bagi setiap makhluk hidup yang telah dibekali akal oleh-Nya.[Ty]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami