Pada
ringkasnya, aspek rohani adalah pengakuan bahwa segala sesuatu merupakan
mahkluk
yang diciptakan oleh al-Khaliq. Dengan kata lain, aspek rohani adalah hubungan
antara segala sesuatu dengan al-Khaliq dilihat dari aspek penciptaan dan keberadaannya
dari hal yang sebelumnya tidak ada.
Hubungan
ini, pengkaitan hubungan Sang Pencipta dengan yang diciptakan-Nya apabila disadari oleh akal, maka akan melahirkan
perasaan pengagungan terhadap al-Khaliq, rasa takut kepada-Nya dan perasaan
untuk mensucikan-Nya. Perkara inilah yang sesungguhnya menjadi perwujudan adanya
gharizah tadayyun. Yang pada kondisinya, gharizah ini tak bisa dilihat namun
bisa dirasakan/ditampakkan dari perwujudan dari pemenuhan gharizah tersebut.
Dalam kitab Nidzamul Islam, disebutkan diantara naluri-naluri itu terdapat
naluri beragama, yaitu kebutuhan terhadap Sang Pencipta dan Pengatur, yang
muncul dari kelemahan manusia secara alami dalam proses kejadiannya.[1]
Hal ini menjadi bukti bahwa manusia memang memiliki sifat lemah, terbatas dan
serba kurang. Untuk itu manusia semestinya berfikir untuk bisa memenuhi
gharizah-gharizahnya sesuai dengan aturan Sang Khaliq.
Untuk
itu sebagai kaum muslim sudah menjadi suatu keharusan untuk selalu memelihara
aspek kerohanian dalam segala perkara, dan selalu menyesuaikan seluruh amal
perbuatan dengan perintah dan larangan Allah, dengan dilandasi atas kesadaran
akan hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, hendaknya sesuai dengan ruh.
Jadi, dalam satu amal perbuatan tidak ada dua unsur (spiritual dan materi). Yang
ada hanya satu macam saja, yaitu amal perbuatan itu sendiri. Adapun sifatnya,
apakah termasuk materi belaka ataukah berjalan sesuai dengan ruh, hal ini bukan
berasal dari amal perbuatan, melainkan berasal dari apakah amal perbuatan
berjalan sesuai dengan hukum- hukum Islam atau tidak.[2]
Apa
bila dalam kesadarannya akan rasa mengagungkan ini sesungguhnya juga akan
terwujud Kesadaran yang melahirkan perasaan terhadap adanya hubungan dengan
Allah inilah yang disebut ruh. Jadi, ruh
adalah kesadaran (manusia) terhadap hubungannya dengan Allah. Jelaslah apa yang
dimaksudkan dengan makna ruh dan aspek rohani. Menjadi paragraph yang
senantiasa diberikan pengulangan dan penegasan, karena permasalahan pemahaman
terkait “ruh” ini sangat berpengaruh terhadap suluk insane manusia. Maka
menjadi pemahasan penting dalam kitab ini bahkan urgent.
Saking
banyaknya lafadz dari makna Ruh ini maka memang perlu untuk didudukan, karena
kalau tidak bisa mengakibatkan ada kesalahan makna seperti yang pernah
dikomentari oleh teman saya, kitab Syaikh Taqiyuddin seolah menyeleweng dari aturan
bahasanya pada istilah an-nizhâm
alijtimâ‘î untuk menyebut seluruh peraturan kehidupan bermasyarakat. Penggunaan
istilah ini salah. Istilah yang lebih tepat untuk menyebut peraturan kehidupan
bermasyarakat adalah anzhimah al-mujtama‘ (sistem sosial). Sebab sistem ini
hakikatnya mengatur seluruh interaksi yang terjadi dalam suatu masyarakat
tertentu tanpa memperhatikan ada-tidaknya aspek ijtimâ‘ (pergaulan/pertemuan
pria-wanita).[3]Sama
dengan istilah ruh, disini dijawab Ruh dan aspek rohani bukanlah kata-kata yang
memiliki pengertian lughawi yang mengacu pada aspek bahasa saja dan bukan pula
istilah yang dapat dipakai oleh setiap golongan sekehendaknya, melainkan
memiliki makna yang khas, kendati diungkapkan dengan berbagai lafadz. Yang
dibahas di sini adalah mengenai realitas makna ini, bukan dilihat dari sisi
makna lafadznya menurut bahasa.[4]
Pada
beberapa ayat yang menggunakan kata RUH tetapi memiliki makna yang berbeda.
Yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh (nyawa). Katakanlah: ‘ruh
itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.”(TQS. Al-Isra’ [17]: 85).[5]
Pada
Ayat ini Ruh yang dimaksud adalah ruh (sirul hayah/nyawa). Dan memang betul
bahwa nyawa pada manusia yang tahu bentuk dan wujudnya hanyalah Allah semata,
sebagai manusia hanya bisa mengindikasikan bahwa manusia memiliki ruh (nyawa)
apabila manusia atau hewan masih bernafas alias hidup.
Pada
ayat yang lain juga dikemukan akan penggunaan kata ruh, Yang artinya : “Dia
(al-Quran) dibawa turun oleh ar-ruhul amin (Jibril), dan diilhamkan kedalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi orang yang memberi peringatan.”
(TQS.Asy-Syu’araa [26]: 193-194).[6]
Ruh disini berbeda dengan pemaknaan ruh diatas yang awalnya berarti nyawa, namun
pada ayat ini diartikan ruhul amin, yang artinya Malaikat Jibril sebagai perantara
wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.
Ada
lagi ruh juga dapat diartikan sebagai syariah, pada TQS. Asy-Syura[42]: 52).
Yang
artinya “Demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (syari’at) dengan
perintah Kami.[7]
Nah,
melihat arti ruh pada ayat-ayat diatas, maka tidak ada kaitannya dengan ruh
yang sudah dibahas diawal dengan ayat-ayat diatas. Baik aspek ruhani dan makna
ruh yang sesungguhnya.
Apabila
manusia mau berfikir menyeluruh maka akan didapati bahwa manusia dalam
perbuatannya atau dalam hidupnya dilingkupi dua lingkaran area, yaitu lingkaran
yang menguasai manusia dan lingkaran yang dikuasai manusia. Lingkaran yang
menguasai manusia adalah lingkaran yang di dalamnya berlaku nizhamul wujud
(sunnatullah/hukum alam) atas manusia. Manusia berjalan bersama alam dan kehidupan,
sesuai dengan aturan tertentu yang tidakberubah. Karena itu, dijumpai beberapa
kejadian menimpa manusia di dalam lingkaran ini, yang terjadi di luar
keinginannya. Di sini, manusia bersifat musayyar (dikendalikan), bukan
mukhayyar (diberi pilihan).[8]Misalkan
saya kita dilahirkan di Indonesia, menjadi seorang perempuan, menjadi kakak
dari si A, menjadi adek dari mbak A, terlahir dari kedua orangtua kita saat
ini. Dilingkaran ini adalah area yang dikendalikan manusia tidak memiliki
pilihan dalam menawar apa yang menjadi kehendak Allah, maka bisa pula dikatakan
pada area ini bahwa manusia hidup bukan pilihan. Pada contoh area atau
lingkaran yang dikuasai manusia artinya manusia memiliki andil dalam menentukan
pilihan perbuatannya misalkan saja manusia lapar butuh makan, manusia mau makan
dengan soto, mie ayam, ayam goreng, atau daging sapi itu pilihan. Haus juga begitu, apabila manusia haus kemudian
menuntut untuk pemenuhan mau dipenuhi dengan meminum khamr atau sirup itu juga
pilihan, karena manusia diberikan kesadaran yang membuatnya memfungsikan peran
akal untuk menghukumi sesuatu. Sehingga pada area ini bisa dikatakan bahwa
hidup adalah pilihan.
Beberapa
minggu yang lalu, ada teman saya yang menggelisahkan dirinya. Ia memiliki
pandangan bahwa kehidupan ini bukanlah pilihan melainkan sudah Allah kehendaki.
Misalkan saja manusia hidup menjadi pelacur, seolah pelacur itu menjadi
kehendak Allah. Padahal bukan demikian, aktivitas memilihnya wanita menjadi
seorang pelacur itu karena pilihannya bukan karena Allah memaksa menjadi
pelacur. Manusia mengetik, ia menganggap manusia dipaksa untuk mengetik.
Setelah didudukan pada kedua area diatas, teman saya masih juga memegang teguh
pendapatnya.
Ketika
membahas tentang takdir maka kita harus memisahkan pembahasan ini dengan ketiga
hal yaitu, Ilmu Allah, kehendak Allah dan Lauhul Mahfudz. Sebab manusia
memiliki keterbatasan, mereka merasa terpaksa berada dalam kondisi yang memang
sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa, padahal ketiga hal tersebut yaitu Ilmu
Allah, kehendak Allah dan Lauhul Mahfudz tidak boleh sekali-kali dicampuradukkan
dengan pembahasan takdir karena tidak seorang pun yang mengetahui ilmu Allah,
seperti apa yang Allah berkehendak atas dirinya, dan juga tidak mengetahui apa
yang tertulis didalam Lauhul Mahfudz.[9]
[1]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Peraturan Hidup Dalam Islam”, Jakarta : 2008, hlm 110
[2]
Ibid hlm 111
[3]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Sistem Pergaulan Dalam Islam”, HTI Press, Jakarta;
2008, hlm 9
[4]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI Press, Jakarta; 2008, hlm 35
[5]
Ibid hlm 35
[6]
Ibid hlm 36
[7]
Ibid hlm 37
[8]
Ibid hlm 38
[9] Y.
Siauw Felix, “Beyond the Inspiration”, Khilafah Press, Jakarta; 2010, hlm 42
Bagus....tp sayang tulisanya kontras sama background nya...jd tdk bgt jelas tulisnya
BalasHapusSyukran dapat terbantu dalam menjelaskan kitab Mafahim.
BalasHapusSangat bermanfaat
BalasHapus