Islam
memandang bahwa segala permasalahan kehidupan dapat dipecahkan dengan cara yang
sama yaitu sebagai problematika yang sifatnya manusiawi. Sehingga tidak terjadi
pengkotak-kotakan bahwa masalah ekonomi seperti nafkah, atau masalah social
seperti percaraian berdasarkan masalah ekonomi dan masalah social. Akan tetapi
sama dipandang bahwa ini adalah masalah yang dibutuhkan suatu jalan keluar.
Untuk memahami Islam yang memiliki konsep dalam pengaturan kehidupan maka Islam
memiliki pengarturan akan mana dalil-dalil syariah yang memang bisa digali dan
mana yang memang tidak bisa digali. Telah dijelaskan sebelumnya pada kitan
nidzamul Islam bahwa Apabila sumber ketetapannya
pasti, maka perlu dicermati; yaitu jika penunjukan dalilnya bersifat pasti
(qath’I dilalah), maka hukum yang dikandungnya juga bersifat pasti.
Misalnya jumlah rakaat shalat fardlu yang kesemuanya bersumber
dari hadits mutawatir. Begitu juga dengan hukum haramnya riba, potong tangan
bagi pencuri, atau hukum jilid bagi pezina. Semua itu merupakan hukum-hukum
yang penunjukkannya bersifat pasti dan nilai kebenaran di dalamnya merupakan
suatu ketetapan. Tidak ada tafsiran lain yang ditunjukkannya kecuali hanya satu
ketetapan pasti.
Akan tetapi jika seruan Syari’ itu sumber ketetapannya bersifat
pasti sedangkan penunjukan dalilnya bersifat zhanni, maka hukum yang terkandung
di dalamnya adalah zhanni. Misalnya ayat tentang jizyah, -uang yang dipungut Negara
dari orang kafir dzimmi yang menolak masuk Islam, tetapi bersedia hidup dalam
masyarakat Islam-. Dilihat dari sumber ketetapannya bersifat qath’i, tetapi
bila dit injau dari perincian-perincian hukumnya, maka penunjukan dalilnya adalah
zhanni. Mazhab Hanafi misalnya mensyaratkan penggunaan istilah jizyah; sehingga
ketika memberikannya harus tampak jelas kehinaan bagi pembayarnya. Sedangkan Mazhab
Syaf i ’ i t idak mensyaratkan hal ini , bahkan membenarkan mengambi lnya
dengan sebutan zakat mudla’afah, -zakat berlipat ganda-, tidak perlu
menampakkan kehinaan, melainkan cukup tunduk saja terhadap hukum- hukum Islam.
Adapun seruan Syari’ yang ketetapannya bersifat zhanni tsubut
seperti hadits yang bukan mutawatir, maka hukum yang terkandung di dalamnya
menjadi zhanni pula, baik itu berupa dilalah-nya yang qath’i, seperti puasa
enam hari pada Bulan Syawal yang ditetapkan oleh sunah, maupun yang dilalah-nya
zhanni, seperti larangan menyewakan lahan pertanian yang
ditetapkan oleh sunah.[1]Diatas
adalah konsep untuk memetakan mana yang disitu ada ruang untuk berijtihad untuk
digali dan mana yang memang tidak bisa digali. Berbicara mengenai hal ini maka
pembahasan ini tidak terlepas dari pemhasaan akan ‘illat.
Apakah itu ‘illat?
Illat adalah sesuatu yang karena (keberadaan)nya maka hukum
menjadi ada. Atau, karena perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri’
(pensyariatan suatu hukum). Jadi, hukum itu disyari’atkan karena adanya ‘illat.
‘illat adalah dalil, tanda, dan yang memberitahu (adanya) hukum. ‘illat-lah
yang membangkitkan hukum. Maka ‘illat adalah sesuatu yang menjadikan penyebab
disyariatkan hukum.[2]
Dalam kitab Ushul Fiqih karya Abd. Wahab Khallaf mendefinisikan ‘illat adalah
suatu sifat yang terdapat pada suatu ashl (pokok) yang menjadi dasar hukumnya,
dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far’ (cabangnya).[3]
Dalam permasalahan ranah dimensi pertama yakni hubungan manusia
dengan sang khalik dan ranah dimensi ke dua, segala dalil yang berkaitan
dengannya sifatnya adalah qath’I sehingga tidak ada illat pada kedua dimensi
tersebut. Seperti pada wilayah ibadah, akhlak, makanan, dan pakaian. Mengapa
hal ini tidak diboleh dicari illatnya? Karena apabila ini dicari-cari illatnya
pasti yang akan terjadi adalah menghilangkan status hukum yang ada. Misalkan
saja pada sabda Rasulullah tentang Khamar itu diharamkan karena zatnya. Zat
disini adalah sebagai ‘illat. Maka apakah apabila ketika ada komponen zat
khamar dihilangkan status khamar kemudian hilang menjadi boleh? Tentu tidak.
Untuk itu “mutlak” pada dua wilayah ini tidak dibolehkan untuk mecari cari
‘illat cukup diambil sebagaimana adanya dan diterima dengan kepenuh kepasrahan
tanpa melihat ‘illatnya.[4]
Permasalahan dengan mencoba mencari-cari ‘illat ini pada medan
UIN sudah menjadi bagian dari pembelajaran. Hal yang tak semestinya dicari
‘illatnya tetapi justru digali. Hal ini terbukti dari beberapa para sarjana
lulusan UIN yang sampai-sampai mereka mencoba mengijtihadi ranah dua dimensi
tadi. Seperti yang pernah kita katahui bersama dengan masalah bucil yang
dikeluarkan oleh UII. Diantara nya bucil yang beredar adalah tidak
diwajibkannya perempuan menggunakan jilbab dan kerudung, dan bolehnya imam
menjadi imam shalat jumat, serta masih banyak lagi contohnya seperti dihalalkannya
nikah antar sesama jenis dan lain-sebagainya. Melihat hal ini maka apabila nash
menyebutkan sebagian hukum dengan menyebutkan dengan menyertakan ‘illatnya,
maka hukum tersebut berkaitan dengan ‘illat serta dapat diqiyaskan
(dianalogkan) kepada yang lainnya. Sedangkan nash yang tidak menyebutkan
‘illatnya, maka ‘illatnya sama sekali tidak boleh dicari-cari dan tidak dapat
dianalogkan kepada yang lain. ‘illat yang syar’iyah yaitu yang berdasarkan
kepada nash syara’ yang diambil dari Kitab dan Sunah, karena hanya al-Qur’an
dan Sunahlah yang menjadi nash-nash syara’. Karena itu, ‘illat yang menjadi
dasar hukum syara’ harus ‘illat syar’iyah, bukan ‘illat aqliyah.[5]
Walaupun hukum beredar bersama ‘illatnya, baik dijumpai maupun
tidak ‘illatnya, bukan berarti hukum-hukum syara’ berubah sesuai dengan
perubahan waktu dan tempat dengan alasan mendatangkan maslafat (manfaat) dan
menolak mafsadat (kerugian) merupakan ‘illat bagi hukum-hukum syara’.[6]hal
ini tidak diperbolehkan apabila yang dihadikan sebagai ‘illat adalah
bersandarkan pada aqliyah semata. Seperti dalil-dalil yang tidak disepakati
oleh semua ulama tentang istihsan, mashalih mursalah dan syariat sebelum Islam
(Syar’u man Qablana).
[1]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Peraturan Hidup Dalam Islam”, HTI Press, Jakarta: 2008,
hlm 115-116
[2]
‘Atha bin Khalil, “Ushul Fiqih Kajian Fiqih Mudah dan Praktis”, PTI, Bogor:
2010, hlm 83
[3] Khallaf Abdul Wahab, “Ilmu Ushul Fiqh”, Dina
Utama, Semarang: 1994, Hlm 85
[4]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI Press, Jakarta: 2008, Hlm 57
[5]
Ibid hlm 64
[6]
Ibid hlm 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami