Pandangan
yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap perbuatan manusia menunjukkan bahwa
perbuatan manusia dilihat dari sisi zatnya, tanpa dilihat lagi faktor-faktor
dan pertimbangan-pertimbangan lain adalah materi belaka. Keberadaannya sebagai
materi berarti tidak mempunyai predikat terpusji (hasan) atau tercela (qabih)
karena zatnya, melainkan didapat dari faktor-faktor luar atau
pertimbangan-pertimbangan lain.[1]
Adapun pertimbangan datangnya predikat hasan dan qabih dapat kita petakan menjadi
empat pertimbangan :
1.
Bahwa
predikat tersebut berasal dari akal saja
2.
Hanya
berasal dari syariat saja
3.
Bisa
berasal dari Akal dan syariat yang dijadikan dalilnya
4.
Bisa
berasal dari Syariat dan Akal sebagai dalilnya.
Pada
pertimbangan pertama, ditegaskan oleh Syaikh Taqiyuddin bahwa pertimbangan ini
bathil, Mengapa? Karena manusia ia tempatnya lupa khilaf yang secara tab’iinya
bersifat lemah, terbatas dan serba kurang.[2]
Seperti
contoh misalkan Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam
kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan
DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel
("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan
perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27
Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada
masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.
bentuk
pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri
dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan
sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli
1959)
Pada
periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering
disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti,
akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih
memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan
UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama
hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem
Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan
UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi
pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur;
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante
dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950
Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 -
1966)
Karena
situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur
kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada
tanggal 5
Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada
masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
- Presiden
mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA
menjadi Menteri Negara
- MPRS menetapkan
Soekarno sebagai
presiden seumur hidup
- Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966
- 21 Mei 1998)
Pada
masa Orde
Baru (1966-1998),
Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuen.
Pada
masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat
"sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:
- Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan
terhadapnya
- Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa
bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta
pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR
Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999
Pada
masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan
oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
Periode Perubahan UUD 1945
Salah
satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada
masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada
kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat
menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan
perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di
antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan
kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil.
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang
Umum MPR 1999, tanggal 14-21
Oktober 1999 → Perubahan Pertama
UUD 1945
- Sidang
Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18
Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang
Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9
November 2001 → Perubahan
Ketiga UUD 1945
- Sidang
Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11
Agustus 2002 → Perubahan
Keempat UUD 1945[3]
Sangat
jelas bahwa apabila ketika sesuatu disandarkan kepada akal maka dari
ukuran-ukuran menentukan mana yang hasan wa qabih sesuai dengan kepentingan
seperti yang terjadi pada UUD negeri ini. Masa berlaku yang anehnya sampai saat
ini masih berlaku, dan herannya dipandang baik saat masa itu namun masa
sekarang sudah tidak dipandang sebaik pada saat dulu. Bukti bahwa akal manusia ketika diberikan sebagai standar
jadinya tidak terukur sehingga
tergantung siapa yang memandang. Seperti contoh ukuran perbuatan pacaran bagi
aktivis pacaran tentukan bukan suatu permasalahan karena mereka menganggap
fine-fine saja tidak menjadi masalah, namun berbeda apabila kita memandang
aktivitas pacaran tersebut dengan menggunakan standar tolokukur hukum syara’
tentu didakdibolehkan. Untuk itu maka pembahasa predikat hasan waqabih diatas
adalah dengan menyandarkannya kepada hukum syara’ bukan yang lainnya.
Adapun
menjadikan syara’ sebagai dalil terhadap
apa yang telah ditunjuk oleh akal, maka hal itu berarti menjadikan akal sebagai
tolok ukur terha dap terpuji dan tercelanya sesuatu dan hal ini sudah kita
ketaui kebathilannya. Menjadikan akal sebagai dalil terhadap sesuatu yang telah
ditunjuj oleh syara’, berarti menjadikan akal sebagai dalil terhadap hukum
syara’, padahal hukum syara’dalilnya adalah nash, bukan Akal.[4]Lantas
bagaimana kedudukan akal sebenarnya, seolah dalam pembahasan ini Akal tidak
diturun perankan padahal manusia melakukan aktivitas hasan wa qabih dengan
menggunakan akal juga. Fungsi akal dalam halini adalah untuk “memahami hukum
syara”, bukan menjadikan dalil terhadap hukum syara’. Dengan demikian,terpuji
dan tercela semata-mata harus berdasarkan syara’ saja, bukan akal.[5]
Mengenai
perbedaan buruk dan baik, terpuji dengan tercela yakni buruk apabila aktivitas
tersebut adalah aktivitas yang Allah murkai sedangkan baik adalah Aktivitas
yang Allah ridhai. Seperti pada pembahasan diawal bahwa standar untuk menentukan baik dan buruk disndarkan
kepada hukum syara’. Sedangkan terpuji dan tercela disini ada imbalan dan
sangsi. Terikat pada kitab nidzamul Islam bab macam-macam hukum syara’ karena
itu fardlu atau wajib adalah seluruh perbuatan yang mendapatkan pujian bagi
pelakunya,dan celaan bagi yang meninggalkannya, atau bagi yang meninggalkannya
akan memperoleh sanksi/siksaan. Sedangkan haram adalah perbuatan yang
mendapatkan celaan bagi pelakunya, dan pujian bagi yang meninggalkannya. Dengan
kata lain, orang yang melakukannya akan memperoleh sanksi/siksaan.[6]Dengan
demikian, terdapat perbedaan antara terpuji dan tercela dengan baik dan buruk.
Lantas bagaimana dengan tujuan suatu perbuatan?
Sangat
disayangkan apabila ternyata suatu aktivitas tidak memiliki nilai, maka sebagai
seorang muslim ketika hendak berbuat maka difikirkan terlebih dahulu,ketika
berbuat ditegakkan apa nilainya yang hendak dicapai. Ada empat qimatul’amal :
yakni nilai materiil (qimah madiyah), nilai spiritual nilai humanistis (qimah
insaniyah) dan nilai moral tersebut tidak dapat disamakan atau dilebihkan
berdasarkan esensi nilai tersebut, karena pada salah satunya tidak ditemukan
sifat-sifat yang membedakannya dari yang lain. Hanya saja sebenarnya manusia itu
selalu mengutamakan nilai salah satu diatas nilai yang lain karena mengikuti
apa yang telah diraihnya dari manfaat atau bahayanya, untung atau ruginya.[7]
Semua qimah
harus dicapai dalam setiap amal. Dalam proses pencapaian itu harus sesuai hukm
syara'. Dan setiap amal bisa berubah qimah, tapi ada yang berubah menjadi
keliru ada yang berubah tetap benar. Misal, sholat qimahnya ruhiyah. tapi ada
orang yang sholat mengejar madiyah. ini keliru. Contoh lain, dokter menolong
orang itu qimahnya insaniyah. tapi ada pasien2 yg ia kenakan tarif. ini berarti
qimahnya berubah menjadi madiyah. dan itu boleh.[8]
[1]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI
Press, Jakarta: 2008, hlm 43
[2] An-Nabhani
Taqiyuddin,”Peraturan Hidup Dalam Islam:, HTI Press,Jakarta: 2008,hlm 10
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
diakses tanggal 24 oktober 2012
[4]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI
Press, Jakarta: 2008, hlm 44
[5]
ibid
[6]
An-Nabhani Taqiyuddin,”Peraturan Hidup Dalam Islam:, HTI Press,Jakarta:
2008,hlm 121
[7] Abdullah
Muhammad Husain, “Mafahim Islamiyah”, Al Izzah, Jatim; 2003, hlm 167
[8] http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=128691107193673&id=126193820734544&comment_id=795581&offset=0&total_comments=5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami