Apabila kita perhatikan manusia sesungguhnya dalam wilayah
perbuatannya terbagi menjadi dua bagian lingkaran (area), area yang pertama
adalah area yang menguasai manusia.pada area ini manusia tidak dapat memilih
hidupnya dan tidak akan dimintai pertanggungjawabannya. Sedangkan pada area
kedua yakni area yang menguasai manusia maka pada area ini bisa memilih [life is choice] dan setiap apa yang
dipilih pada area ini akan dimintai pertanggungjawaban.
Manusia senantiasa mencintai sesuatu yang berasal darinya atau yang
menimpanya di dalam lingkaran yang
dikuasainya ataupun yang menguasainya. Begitu pula manusia kadang-kadang
membenci sesuatu di dalam kedua lingkaran tersebut. Maka ia berusaha menafsirkan
kecintaan dan kebenciannya ini dengan predikat baik (khair) dan buruk (syarr).
Manusia cenderung menggolongkan apa yang disenanginya sebagai baik, dan apa
yang dibencinya sebagai buruk. Demikian juga terhadap beberapa perbuatan
dikatakan baik dan perbuatan lain dikatakan buruk atas dasar manfaat yang
didapatnya atau kemudharatan yang dijumpainya.[1]
Maka sudah menjadi alamiahnya manusia akan memiliki kaca mata baik
apabila perbuatan tersebut baik dalam perasaannya dan buruk menurut perasaan
ketidaksukaannya. Atas dasar ini maka disini akan diunggkapkan tentang predikat
baik dan buruk yang shahih dalam pandangan Islam.
Nash-nash syara’ telah menunjukkan bahwa sesungguhnya ada
standar-standar dalam Islam sebagai
dasar tolok ukur dalam berbagai perbuatan dan sesuatu benda. yaitu ada baik dan
buruk seperti yang disinggung diatas.
Baik dan buruk
Kata khair dalam lafadz musytarok dari sisi asal lafadznya dan
maknanya. Dari sisi asal lafadznya merupakan isim tafshil (bermakna lebih)
dimana asal qiyasinya memakai lafadz akyaru mengikuti wazan ufngalu akan tetapi
huruf hamzah dibuang dengan menyalahi aturan (syadz). Juga kata khairun
merupakan masdar mengikuti wazan fa’lun.[2]
Sedangkan kata syar dari sisi derivatisasi lafadznya, menyerupai
kata khairun. Sedangkan dari sisi maknanya syarun adalah kebaikan dari khairun
yaitu kejahatan.
Seperti yang diungkapkan diatas jadi manusia itu mencintai dengan
makna manfaat dan membenci dengan makna bahaya. Maka Allah menjelaskan
dalamQur’an surat Al Baqarah; 216.yang artinya : …Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak
mengetahui.(TQS. Al-Baqarah [2]: 216)[3]
Jadi baik dan buruk dalam Islam tidak diqiyaskan dengan manfaat dan
bahaya. Tidak pula dalamaktivitas-aktivitas yang terjadi hanya karena qadha’,
yakni terjadi dari manusia atau atas manusia dengan keadaan terpaksa. Dan tidak
pula dalam aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan manusia dengan ikhtiyar
(pilihannya). Karena manusia itu tidak mengerti dengan teliti bahwa aktivitas
atau sesuatu itu bermanfaat atau berbahaya, baginya dan bagi orang lain,
disebabkan ketidakmengertiannya dengan berbagai akibat sebenarnya yang akan
diperhitungkan atas aktivitas-aktivitasnya di dunia dan akherat. Seperti contoh
misalkan ada orang yang dia sedag terlambat dalam pemberangkatan kereta
sehingga membuatnya tertinggal tentunya perkara ini adalah dipandang sebagai
perkara yang buruk, namun hal ini akan menjadi lain perkara jika terjadi kereta
yang sedang berangkat tersebut tak lama beberapa menit kemudian diberitakan
terjadi kecelakaan dan hancur, ia memuji Allah atas ketertinggalan kereta
tersebut.
Maka manusia member sifat pada suatu aktivitas dengan baik dan
buruk berdasarkan manfaat atau bahaya yang menimpanya sebagai akibat dari
perbuatannya adalah sifat yang tidak benar dan tidak tetap karena sifat itu
datang dari manusia. Sedangkan manusia tempatnya perbedaan, perselisihan,
pertentangan dan terpengaruh oleh lingkungan.[4]
Untuk itu menyifati pekerjaan dengan baik dan buruk itu tidak da
atang dari zat pekerjaan itu dan tidak pula datang dari manusia. Sifat itu
hanya datang dari faktor-faktor diluar manusia, dan faktor-faktor ini bersandar
pada sudut pandang tentang kehidupan, yaitu aqidah yang dipeluk oleh manusia,
dan pemikiran-pemikiran juga sistem-sistem yang memancar dari aqidah. Islam
adalah mabda’. Islam telah meletakkan standa yang rinci untuk sesuatu yang baik
dan buruk. Aktivitas apabila terdiri dari sesuatu yang diridhoi Allah, yaitu
dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka aktivitas
itu baik dan apabila aktivitas itu adalah perkara yang dimurkai Allah yaitu
karena menyalahi perintah-perintah-Nya dan mengikuti larangan-larangan-Nya,
maka aktivitas itu buruk.
Begitu pula dengan istilah terpuji dan tercela, bahwa keduanya juga
ditentukannya karena tolok ukur hukum syara’ bukan tolok ukur akal manusia.
[1]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI
Press, Jakarta: 2008, hlm 38-39
[2]
Abdullah Muhammad Husain, “Mafahim Islamiyah”, Al Izzah, Jatim; 2003, hlm
177-178
[3]
An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI
Press, Jakarta: 2008, hlm 42
[4]
Abdullah Muhammad Husain, “Mafahim Islamiyah”, Al Izzah, Jatim; 2003, hlm 179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami