Oleh: Salim al- Amr
Bagian Pertama
Majalah Al – Waie edisi Arab menerima beberapa memoar dari yang
terhormat, Salim al- Amr. Kami telah mempublikasikan sebagian dari memoar itu,
karena Insya Allah di dalamnya terdapat pelajaran dan manfaat bagi orang-orang
yang mau mengambil pelajaran. Kami menyampaikan terima-kasih dan penghargaan
kepada Saudara Salim untuk memoar yang ekspresif dan menggugah ini. Kami
memohon kepada Allah SWT untuk memberikan kepadanya apa yang yang akhirnya akan
datang, dan semoga Allah menjaganya dari segala keburukan dan kejahatan.
Memoar Penjara dan
Penghargaan Persahabatan (1)
Awalnya dimulai dari Penjara Gurun Sawaqa di Yordania. Hari itu
saya tidak tahu tentang Hizbut Tahrir kecuali beberapa perkara yang membuat
saya meremehkan dan membenci. Semoga Allah mengampuni orang yang menjadi
penyebab atas masalah ini!
Pada pagi hari itu, berita datang ke penjara bahwa seorang
tahanan bernama Ata Abu al- Rashtah [Abu Yasin] akan dipindahkan dari Penjara
Juwaideh ke Penjara Gurun Sawaqa. Hal ini tidak begitu menjadi masalah bagi
saya sebagaimana pentingnya hal itu bagi para syabab (anggota) Hizbut
Tahrir yang berada di ruang sebelah depan ruangan kami. Saya menyaksikan
wajah-wajah ceria mereka, hanya karena mereka mendengar tentang kedatangannya.
Saya mengetahui dari mereka bahwa ia adalah juru bicara resmi Hizbut Tahrir.
Namun siapa dari kami yang mengenalnya?
“Bagaimana anda tidak kenal siapa orang ini, dia adalah salah
seorang dari sangat sedikit orang yang menulis tentang ekonomi Islam!” seru
teman saya (Ahmad al – Sa’oub, yang merupakan saudara saya seiman – dalam
melawan orang-orang Yahudi). Tentu saja, Ahmad termasuk yang rajin membaca
koran sampai-sampai kami mengatakan bahwa kami membeli koran seharga dua puluh
sen dan dia membacanya seharga satu dinar! Bahkan iklan kecil tidak akan luput
dari perhatiannya.
Ketika itu saya berada di sebuah ruangan dengan orang-orang yang
disebut sebagai orang ‘Afghan Yordania’. Kasus ini adalah satu kasus yang
rumit di mana banyak orang yang tidak bersalah dizhalimi. Pada saat itu, kasus
kami diberi nama sebagai ‘Kasus Wadi Mujib’. Singkatnya, kasus kami adalah
suatu operasi syahid melawan para turis Yahudi yang datang ke Yordania, yang
dilakukan pada ulang tahun pertama pembantaian yang dilakukan di Masjid
Ibrahimi tanggal 24 Februari 1995, namun operasi gagal, dan saya dijatuhi
hukuman mati, kemudian dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan
kerja paksa.
Pemikiran saya pada saat itu lebih dekat kepada Salafi jihadi,
karena itu terdapat perbedaan yang sangat jauh dalam pemikiran antara saya dan
Hizbut Tahrir. Saya mengakui bahwa saya belum matang secara intelektual pada
saat itu. Saya tidak peduli tentang pemikiran (fikr) atau mengetahui apa artinya. Kami tidak tahu terminologi yang
kami dengar dari Syabab Hizbut Tahrir dan tidak mau memperhatikannya karena
kami sangat meremehkan /mengolok-olok arti kata pemikiran (fikr). Ketika kami melihat Abu Yasin dan para pengikutnya pindah
dari satu ruangan ke ruangan untuk menunaikan kewajiban kepada salah seorang
dari mereka. Salah seorang teman kami berkata sinis : “Ini adalah pemimpin
mereka yang megajarkan tentang pemikiran kepada mereka”. Kami pun menertawakan
mereka dan dengan naif.
Di saat kami sibuk dengan masalah-masalah internal kami dan
mencari berita tentang amnesti umum yang kami dengar dari waktu ke waktu,
sambil berharap untuk keluar dari penjara, para Syabab Hizbut Tahrir sibuk
menyerap ilmu dari Abu Yasin. Mereka, seperti yang dijelaskan oleh penulis
Abdullah Abu Rumman ketika dia dipenjara karena isu roti, “mereka menulis
sebuah buku setiap minggu.” Realitas mereka juga digambarkan oleh Profesor
Hamza al – Aneed, pada saat dikunjungi keluarganya. Dia berkata kepada
keluarganya: bahwa bersama kami ada Abu Yasin, yang selalu memberi
kajian secara berkelanjutan. Karena itu berita tentang amnesti umum tidak
menyibukan mereka (para syabab). Mereka meyakini bahwa penjara adalah qadaa’
dari Allah. Jarang sekali ada permasalahan internal di antara mereka.
Sheikh Atha telah membuat mereka sibuk dengan kajian dan menulis. Beliau
mengajar mereka bahasa arab dan ushul fiqih. Ketika kami pergi berolah raga
banyak dari mereka yang pergi ke perpustakaan penjara untuk membenamkan waktu
mereka mempelajari kitab-kitab tafsir dan meminjam buku karena mereka
igin menjalankan tugas kewajiban yang ditugaskan kepada mereka (oleh Abu
Yasin).
Memoar Penjara dan
Penghormatan Persahabatan (2)
Kadang-kadang kami terkena konflik, sebagai akibat dari
perkelahian dengan pihak administrasi penjara yang sebenarnya tidak perlu. Hal
ini biasanya terjadi karena saudara-saudara Salafi Jihadi (negara menyebut
kasus mereka sebagai kasus baiat kepada imam). Mereka menganggap para polisi
adalah kumpulan thaghut, sehingga wajar terjadi permusuhan, yang membuat hidup
kami selalu dalam keadaan konflik di dalam penjara, dikarenakan bentrokan
diantara orang-orang seperti ini dan para penjaga tahanan dan polisi.
Kemudian, administrasi penjara berusaha menekan kami dengan
melemparkan gas air mata untuk memecah belah kami. Mereka memutuskan untuk
membagi kami ke dalam kamar-kamar kecil, yang tersebar di dua lantai, sehingga
dapat mengurangi banyak masalah. Situasi saat itu adalah sebagaimana yang
dijelaskan oleh penulis dan wartawan Abdullah Abu Rumman dalam sebuah artikel
yang ditulisnya ketika dia dibebaskan dari penjara dengan judul, “Pemimpin di
Penjara ” (Wa fi al- sujuun ‘umara’) .
Karena saya bertanggung jawab sebagai pimpinan para tahanan,
saya melayani sekelompok tahanan dari gerakan-gerakan yang berbeda :
orang-orang Yordania Afghanistan, orang-orang dari gerakan yang berbeda, dan
dari Hizbut Tahrir, karena sebagian dari mereka berada di sel saya, di antaranya
adalah Tariq al – Ahmar, serta insinyur Laith Shubeilat. Abu Musab al-Zarqawi
juga seorang pemimpin dari sebuah kelompok. Walid Hijazi adalah pemimpin Syabab
Hizbut Tahrir di dalam sel termasuk Abu Yasin, karena Abu Yasin menolak untuk
menjadi pemimpin. Malah dia sering berusaha untuk menjadikan Syabab sebagai
pemimpin, dan membimbing mereka pada beberapa perkara.
Pada saat Sholat Jumat, kami biasa shalat di kamar. Berkali-kali
kami mendengar khutbah Jumat dari Sheikh Ata dan kadang-kadang dari Abu
Muhammad al- Maqdisi. Ini terjadi sebelum kami dibagi ke dalam kamar-kamar
kecil. Khotbah Abu Yasin sangat memukau sehingga mempengaruhi sebagian
kelompok salafi. Kemudian para pemimpin kelompok salafi menyadari hal
ini, sehingga mereka membuat masalah untuk memisahkan kelompoknya dari syaikh
Atha. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Abu Yasin kerap memberikan pelajaran secara rutin di kamar kami
mengenai ushul fiqh yang biasa dihadiri sebagian Syabab di dalam ruangan.
Pelajaran rutin lainnya diberikan oleh Saudara Shabeita, juga dari Hizbut
Tahrir, mengenai bahasa Arab. Namun sayangnya kami tidak menaruh perhatian
besar terhadap pelajaran ini.
Abu Yasin selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk berdiskusi
dengan orang-orang lain di kamar yang berbeda, baik pada saat ada yag sakit
atau pada situasi berkabung. Beliau tidak pernah putus asa. Dia biasa
menasehati teman-temannya dengan Wasiat Rasulullah SAW sahabat-sahabatnya,
«صلْ من قطعك،
واعفُ عمّن ظلمك»
“Sambungkanlah hubungan
dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu dan
maafkanlah orang yang menzalimimu”.
Dia biasa mengabaikan pelecehan yang dilakukan terhadap dirinya
oleh orang-orang lain dari gerakan-gerakan lain dan tidak meresponnya kecuali
dengan kebaikan.
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS Fussilat :
34 )
Saat itu kami biasa mengejek para Syabab Hizbut Tahrir itu namun pada saat yang sama kami juga biasa mencintai mereka. Sebagian dari kami biasa menggoda mereka dengan mengatakan, “Kamu Syabab Hizbut Tahrir, ketika kamu pergi untuk minum kopi kamu meminta kepada pelayan untuk membawakan anda satu cangkir teh dan membawakan juga dua orang untuk berdiskusi.” Saya melihat Abu Yasin menertawakan gurauan ini, yang disampaikan oleh teman saya Idul Jahaleen (dari kasus orang ‘Afghan Yordania’), yang telah kehilangan kedua kakinya dalam usaha meledakkan bioskop – semoga Allah memberinya kesehatan. Dr. Ali al – Faqir, yang biasa duduk dalam lingkaran pengajian Abu Yasin dan belajar Usul, akan mengatakan kepada kami untuk bersikap adil, ketika kami hanya berdua: saudaraku, jika ada orang yang layak dihormati, maka itu adalah Abu Yasin. (Hal ini termasuk ke dalam pengakuan jujur tentang seseorang).
Saat itu kami biasa mengejek para Syabab Hizbut Tahrir itu namun pada saat yang sama kami juga biasa mencintai mereka. Sebagian dari kami biasa menggoda mereka dengan mengatakan, “Kamu Syabab Hizbut Tahrir, ketika kamu pergi untuk minum kopi kamu meminta kepada pelayan untuk membawakan anda satu cangkir teh dan membawakan juga dua orang untuk berdiskusi.” Saya melihat Abu Yasin menertawakan gurauan ini, yang disampaikan oleh teman saya Idul Jahaleen (dari kasus orang ‘Afghan Yordania’), yang telah kehilangan kedua kakinya dalam usaha meledakkan bioskop – semoga Allah memberinya kesehatan. Dr. Ali al – Faqir, yang biasa duduk dalam lingkaran pengajian Abu Yasin dan belajar Usul, akan mengatakan kepada kami untuk bersikap adil, ketika kami hanya berdua: saudaraku, jika ada orang yang layak dihormati, maka itu adalah Abu Yasin. (Hal ini termasuk ke dalam pengakuan jujur tentang seseorang).
Setelah dua tahun di penjara, gambaran mulai jelas bagi saya
sedikit demi sedikit. Saya bisa melihat hal-hal secara obyektif. Saya terutama
melihat bertambahnya masalah-masalah internal hanya karena alasan-alasan
sepele, suatu hal yang membuat saya membuang-buang waktu saja. Saya kemudian
menulis permintaan kepada administrasi penjara untuk mengirimkan saya ke lantai
dua, ruangan tempat para Syabab Hizbut Tahrir itu. Permohonan saya disetujui,
namun dibatalkan beberapa jam kemudian! Jadi saya tinggal di sana hanya
semalam, kemudian kembali ke ruangan asal saya. Duh, sungguh kebahagiaan yang
belum terlaksana.
Dari waktu ke waktu, kami mengucapkan selamat tinggal kepada
Syabab yang dibebaskan, dan menjadi kebiasaan untuk merayakan saat pembebasan
mereka. Bersama dengan sipir penjara, saya mengorganisir malam pelepasan
sebagian dari mereka, saya ikut tidur di kamar-kamar mereka, untuk
mempersembahakan bebrapa nyanyian/nasyid untuk merayakan pembebasan mereka.
Kemudian datanglah hari ketika Allah SWT memberikan kehormatan
kepada saya untuk berjumpa dengan Amir Hizbut Tahrir dan Syababnya dalam satu
sel, ketika kami dipindahkan ke Penjara Salt (di utara – barat Jordan) yang
dibagi-bagi ke dalam sel-sel yang tidak tersinari matahari. Di dalam sel itu
terdapat tempat tidur yang terbuat dari dua lantai beton dan setiap sel
memiliki empat tingkat, yakni delapan tahanan dalam sebuah ruangan.
Jika dibandingkan dengan Penjara Sawaqa, Penjara Salt merupakan
ujian yang lebih berat. Suasanaya pun berubah, tempatnya sangat sempit,
kelembabannya berlipat dan permasalahan-pun meningkat. Tidak berlebihan jika
saya katakan bahwa saya adalah orang yang paling banyak mendapatkan manfaat
karena perpindahan ini, meskipun semua orang tahu bahwa mereka membawa saya
dengan jarak dua kali lipat jauhnya dari keluarga saya, karena saya berasal
kota Karak. Dengan karunia Allah, berubahlah kesulitan di penjara ini menjadi
kenikmatan tersendiri.
Memoar Penjara dan Indahnya Persahabatan
(3)
Setiap penjara memiliki suasana yang berbeda. Meskipun kurangnya pelayanan dan sel-sel kecil di Penjara Salt, kami mulai terbiasa dengan tempat itu. Penjara bukanlah hanya tembok. Terkadang seseorang bisa mengubah kesulitan di penjara menjadi nikmat, karena kehendaknya sendiri, meskipun terdapat banyak rintangan.
Setiap penjara memiliki suasana yang berbeda. Meskipun kurangnya pelayanan dan sel-sel kecil di Penjara Salt, kami mulai terbiasa dengan tempat itu. Penjara bukanlah hanya tembok. Terkadang seseorang bisa mengubah kesulitan di penjara menjadi nikmat, karena kehendaknya sendiri, meskipun terdapat banyak rintangan.
Pada saat itu Abu Yasin hendak mengucapkan selamat tinggal pada
sebagian besar Syabab Hizbut Tahrir di penjara itu. Tidak ada yang tersisa dari
mereka kecuali hanya sedikit, yang semuanya akan segera bebas karena hukuman
mereka berakhir. Saya ingat mereka adalah Walid Hijazi, Suhaib Ja’ara, dan
Abdul al- Rahim Abu ‘ Alba. Ini adalah apa yang terjadi; dalam beberapa minggu
mereka akan berada di luar tembok penjara, menghirup udara kebebasan.
Tak seorang pun dari Syabab yang tersisa di ruangan kecuali Abu
Yasin. Betapa menyakitkan dan menyedihkan ketika seseorang ditinggal seorang
diri terisolasi, tanpa seorang teman di dalam ruangan. Terhadapnya saya
mengulang-ulang syair yang berbunyi:
Orang-orang yang aku cintai telah pergi & Aku tersisa
menyendiri seperti sebilah pedang
Di sini saya memutuskan untuk pindah ke kamarnya, terutama
karena sekarang hal ini sudah menjadi lebih mudah.
Saya juga teringat akan perkataan seorang penyair :
Jika angin-anginmu telah berhembus, maka manfaatkanlah &
karena bagi setiap kegaduhan pasti ada ketenangan
Ada banyak alasan atas keputusan saya ini, di antarannya:
suasana kedamaian di dalam ruangan Abu Yasin; melayani seorang pria yang sudah
beruban. Maka Dia memang layak untuk dilayani -Karena di antara wujud
menganggungkan Allah adalah menghormati seorang Muslim yang telah tua dan
mengormati Ahli Al-Qur’an -, keluasan hati yang menjadi ciri khas Abu Yasin.
Suatu hari saya melihat ada seorang pemuda yang banyak berbuat buruk kepadanya,
namun dia tidak memperdulikannya.
Setelah pindah ke selnya, saya mulai memperhatikan pria itu dari
dekat, bagaimana cara dia makan, bagaimana cara dia minum, bagaimana cara dia
melakukan wudhu, bagaimana cara dia beribadah, dan bagaimana cara dia berurusan
dengan orang-orang. Saya melihat Islam terwujud dalam kenyataan di dalam sel
itu. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Abu Yasin adalah orang yang dihormati semua orang. Dia selalu
menyambut anda dengan senyum. Ketika dia berwudhu dia tidak menyia-nyiakan air,
dia akan menutup keran beberapa kali selama wudhu’ saat dia bergerak dari satu
bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain. Saya akan bertanya kepadanya, “Abu
Yasin, apakah anda khawatir air di penjara akan habis?” “Air ini adalah milik
umum”, dia akan menjawab, “air harus dilestarikan dan jangan di sia-siakan.”
Dia biasa menyambut semua orang dengan salam, namun beberapa
tahanan dari gerakan-gerakan lain tidak akan membalas salamnya, suatu hal yang
membuatnya sedih. Dia akan berkata kepada saya, “Bagaimana mentalitas seperti
itu ditangani ketika negara Islam berdiri? “Dia diam sebentar dan kemudian
berkata, “Tidak ada solusi untuk hal ini, setelah pembentukan Khilafah, kecuali
bahwa mereka ditempatkan di perbatasan untuk berperang melawan musuh.”
Hanya ada satu televisi di penjara, untuk semua orang. Televisi
itu selalu berada di ruang makan. Abu Yasin pergi ke sana hanya untuk menonton
berita pukul delapan dan kemudian akan kembali ke selnya.
Suatu hari salah seorang tahanan lain, dari keluarga Tahhan,
yang bukan dari Syabab Hizbut Tahrir (dia dipenjara karena membawa senjata)
berkata kepada saya, “Saudaraku, anda tidak tahu betapa saya menghormati orang
ini (Ata). Saya telah melihatnya lebih dari sekali menangis setelah
mendengarkan buletin berita, terutama ketika dia mendengar berita yang
menyakitkan dari Aljazair dan pembunuhan yang terjadi di sana.”
Karena saya berasal dari klan Amr yang terkenal dari kota Karak,
sebagian panglima militer yang berasal dari selatan berupaya mendekati saya;
kami biasa pergi ke halaman untuk beristirahat di belakang penjara.
Kadang-kadang sipir penjara pun keluar bersama kami.
Suatu hari, seorang panglima militer dari klan al- Shabtat al –
Tufayla mengatakan kepada saya bahwa dia telah menghabiskan masa pengabdiannya
pada Dinas Keamanan Preventif, sebelum dipindahkan ke penjara itu. Setelah
mulai keakraban dan persahabatan tumbuh diantara kami, dia berkata kepada saya,
“Salim, menurut pendapat anda, siapa yang paling berbahaya bagi rezim Yordania
dari orang-orang yang ada di sini? “Jawaban saya singkat: kelompok
‘kesetiaan kepada Imam’ (yaitu ‘Salafi Jihadi’) lalu ‘Peledak Ajloun’.
Dia sedikit tertawa dan kemudian berkata, “Semua orang itu tidak bisa
melemahkan kami. “Kemudian dia berkata, ” Apakah anda melihat bahwa orang itu
(Abu Yasin) berjalan di sana sendirian, tidak ada seorangpun di antara kamu
yang memperhatikannya.” “Ya,” jawab saya . “Dia adalah yang paling berbahaya
dari anda bagi rezim Yordania.”
Saya kemudian menyadari bahwa kenyataan ini tidak seperti yang
terlihat. Sebagian Petinggi militer sering datang dengan diam-diam ke sel itu
untuk duduk bersama Abu Yasin, ketika mereka yakin tidak ada penjaga keamanan
penjara. Saya kemudian menyadari bahwa nushroh (adanya perlindungan/pertolongan
dari para pemegang kekuasaan) itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Saya
juga yakin bahwa banyak dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan
keimanan mereka (maksudnya banyak orang yang berada di lingkungan rejim
pemerintah yang tidak mendukung rejim itu, dan siap memberikan dukungannya
kepada para pengemban dakwah)
Dahulu saya dulu tidak mampu membedakan antara Mubtada (subjek)
dengan Khabar (predikat) dalam ilmu nahwu. Suatu hari, Abu Yasin berkata kepada
saya, “Mengapa anda tidak memanfaatkan waktu anda dan belajar bahasa Arab? ”
Saya menjawab, “Ini adalah pelajaran yang sulit yang saya tidak mengerti,
lupakan saja”. Maka Abu Yasin berkata : “Yang harus anda lakukan adalah membawa
mushaf al- Quran, buku catatan, dan pena, kemudian serahkan sisanya kepada
saya. Anda akan belajar itu, Insya Allah”. Saya-pun menentangnya, bahwa dia
akan membuang-buang waktu di tempat yang salah. Namun, dia bersikeras untuk
mengajariku bahasa Arab. Mengapa tidak, ini adalah bahasa Al-Qur’an dan kunci
untuk memahaminya dan menggali hukum-hukumnya.
Pada akhirnya, saya meyakinkan sebagian narapidana lain untuk
belajar bahasa Arab, dan kami mulai pada metode lama sekolah Qur’an (katatib).
Kami mulai membedakan antara Kalimah Isim, Kalimah Fi’il, dan Harf, dan bahwa
Jumlah itu adalah suatu ungkapan yang berfaidah dan bermakna (Kalaamun
Mufiidun Dzuu Ma’nan) . Sebagian besar contoh yang dia gunakan adalah dari
Al-Qur’an, demikian juga tugas-tugas yang dia berikan kepada kami. Pada
akhirnya, setelah beberapa minggu kami menjalani tes yang saya tidak pernah
bermimpi pernah mampu menyelesaikannya di masa lalu – Yakni menyelesaikan i’rab
Surat al – Anfal (mengurai kata dan kalimat) secara sempurna, dan saya bisa
melakukannya. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang terbaik atas
pelajaran yang diajarkannya! (diterjemahkan riza/yasin, sumber: alwaie bahasa
arab edisi 324)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami