Oleh : Ukhtyan Muhibbah Firdaus
Deras hujan pagi ini membuat mentari malu menapakkan sinarnya. Air
hujan yang turun membasahi tanah membuat halaman rumah tergenang air. Tidak
lama kemudian, hujan mulai reda pertanda mentari berani hadir menyapa. Dari
pojok halaman rumah Dik Fatih terlihat
satu persatu laron beterbangan keluar dari persembunyiannya.
“Alhamdulillah, kita bisa keluar ya dari sarang pertapaan ini”
sapa kapten laron yang memimpin pasukan laron keluar dari persinggahan
“Iya kapten, kita tadi nunggu hujan reda baru kita bisa keluar” jawab salah satu pasukan laron
“Ayo kita cari makan!” seru
kapten mengajak anak buah laron-laron yang lain
Mereka berterbangan kesana-kemari, ada yang terbang menuju arah
utara, ke arah selatan ada juga yang ke arah barat. Sampailah kapten laron tepat
di teras depan rumah Dik Fatih,
“Waaah, sepertinya di dalam rumah sini ada makanan” histeris kapten
“Iya kapten, kita masuk saja ke sana” sahut anak laron
“Meeeeeonnnng……Hei kalian, tunggu!” mengeong si Chi-reng kucing hitam milik Dik Fatih keluar dari
rumah, usia masih dua bulan,
“Kapten ada kucing hitam di depan, bagaimana ini?” anak laron ketakutan
“Tenang-tenang, akan ku hadapi”
sambung Kapten merasa tangguh
Chi-reng mulai mengangkat-angkat tangannya menangkap kapten dan
anak laron yang etrbang diatas kepada Chi-reng,
“Apa-apa aku tidak mau kau tangkap, gak kena yei” ejek anak laron
“Iya kami tidak mau kau makan, awas minggir!” seru sang kapten
Chi-reng pun masih mengejar mereka untuk menghalangi masuk ke
rumah. Sebetulnya bukan untuk menghalangi tapi Chi-reng memang hobi bermain
dengan hewan kecil yang bisa terbang.
“Auuuhhh..aduuuuh kapten saaaaakiiiiit!” ringkik anak laron
Ternyata satu sayap anak laron berhasil patah akhirnya “Plaaaak”
anak laron jatuh dan merangkak berjalan di lantai. Sakitnya mulai ia rasakan,
anak laron segera bergegas jalan untuk mencari perlindungan.
Chi-reng sudah berada di depan anak laron, sedangkan kapten laron
masih terbang menuju masuk pintu rumah.
“Hai Om kucing jangan kau terkam aku, aku memang lemah” anak laron meneteskan air mata
Chi-reng pun seketika menghentikan laju gerak tangannya
“Om Kucing siapakah namamu?”
Tanya anak laron
“Dik Fatih menamaiku Chi-reng, kamu siapa?” jawab Chi-reng
“Kenalkan aku adalah Toengkie, anak laron sebatang kara yang ditinggal
mati ayah ibu” jawab Toengkie
“Kamu kasian ya, sayapmu kini sudah patah, terus bagaimana
kelanjutan hidupmu?” Tanya Chi-reng.
Tongkie membalas dengan senyuman
“Aku tahu hidupku di dunia ini hanya sebentar Om, aku tahu itu. Aku
pun tahu bahwa kita juga tidaklah lama, makanya aku berusaha memanfaatkan waktu
dengan sebaik mungkin. Sayapku yang patah aku hanya bisa tabah karena aku
memang lemah. Namun aku tak boleh pantang menyerah, aku yakin hidupku yang
hanya sebentar ini dengan nafas yang masih bisa ku hirup adalah ciptaan-Allah,
maka aku senang diberikan kesempatan hidup sebentar oleh Allah untuk bersyukur” jelas Toengkie
Chi-reng pun tak kuasa menangis mengiba kepada Toengkie, meski Toengkie
anak laron yang kecil tapi dia super tangguh. Berbeda dengan Chi-reng yang bersifat
nakal dan rakus suka memangsa, dari sini ia dapat pelajaran untuk mensyukuri
atas nikmat yang telah Allah berikan dengan memanfaatkan waktu dengan beramal lebih
baik. Tak lama kemudian Toengkir si laron mungil itu meninggal dunia, karena
terinjak Ayah Dik Fatih.
Ibrah : Manfaatkanlah waktu hidup di dunia ini dengan
sebaik-baiknya, karena tak selamanya kita hidup di dunia. Syukurilah apa yang
ada, pahamilah bahwa tujuan hidup di dunia adalah untuk beribadah menggapai keridhoan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami