Senin, 28 Oktober 2013

Azzam Bertekad (Latar : Palestina)

Oleh : Ukhtyan Muhibbah Firdaus

Semilir hembus angin membelai Azzam bocah usia 13 tahun. Suasana riuh lalu-lalang di Rumah Sakit darurat relawan Indonesia, Azzam terbangun dari komanya.

“Assalamu’alaikum, Shobahul khair” sapa dokter muda berkalungkan stetoskop disampingnya.
“Alaykumusalam, Shobahul Nur. Thobibah, hadza aina?” tanya Azzam sembari melihat sekelilingnya.
“Tenang azzam, kamu ada diruangan dan kondisi yang baik-baik saja. Kenalkan Ana teman kerja ibumu, panggilsaja Miss Faiza” jawab Faiza sambil merapikan Jas putihnya.

Azzam merupakan anak pertama dari pasangan dokter Ayubi dan dokter Sarah asal Indonesia. Sejak usia lima tahun Azzam sudah ikut tinggal di Palestina. Setahun yang lalu mereka sekeluarga sempat pulang ke Indonesia untuk mengunjungi kampung halaman. Namun, pasca pergolakan Gaza orangtua Azzam memutuskan untuk kembali ke Palestina menjalankan amanah sebagai relawan medis. Jenazah Dokter Sarah sudah tiba di camp yang jaraknya tidak jauh dari bangsal Azzam terbaring. Sarah meninggal karena dianiaya oleh tentara Israel saat mencoba memerkosanya dan ditembak.

“Aina Ummi?” Tanya Azzam.
“Anak sholih, tenang ya! Ummi insyallah dalam kondisi terbaik disana.” Jawab Faiza. Azzam juga menanyakan kedua adiknya Aisyah dan Nisma.  “Mereka insyallah juga dalam kondisi terbaik”, lanjut Faiza. Muski sebenarnya Faiza belum kuat untuk menyeritakan semuaya jika kedua adiknya telah meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan bangunan akibat bom Kamis tadi malam.”
Azzam mulai pelan-pelan menggerakkan tangannya. Ada yang ia rasa berbeda, ingin ia beranjak bangun.

“ALLAHUAKBAR!!!“ pekik Azzam memekakan telinga Faiza

Menaikan suara Azzam teriak “Miss, dimana kakiku?” disusul keras tangisan Azzam mengalirkan air mata. Faiza menjawab, “Semalam Azzam pulang menghafal Al Qur’an bersama Zaid, tapi pasukan Israel mengirimkan rudal” belum selesai bicara Azzam bertanya. “Aina Zaid?” bentak Azzam.

“Zaid insyallah dalam kondisi terbaik.” Faiza masih coba menahan lelehan air mata. Sesungguhnya Zaid pun dikabarkan telah meninggal dunia ditempat, terkena bom rudal.

“Hiks…hiks…Miss jangan bohong, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi..” tangis air mata Azzam memecah dan rebahlah tubuhnya.

“Tidak Azzam. Ingat! kamu masih punya Allah. Baiklah Miss akan ceritakan sesungguhnya. Ibumu Insyallah syahidah saat terjun ke medan perang mengobati mujahidin. Ayahmu pun insyallah juga syahid saat berusaha membela kehormatan Ibumu.” Airmata Faiza akhirnya tak terbendung membasahi pipinya.

“Miss, Azzam ingin menyusul mereka!!! Azzam bertekad akan menyusul mereka!!!” ketus Azzam.
“Tidak Azzam, kamu harus istirahat cukup, obat dari Indonesia sudah datang. Kamu harus sabar, ikhlas” iba Faiza masih menyeka teteskan airmatanya.

“Iya Miss aku tahu, Palestina kini memang rapuh, Palestina memang lengah. Saat pulang ke Indonesia kemarin, Kakek menceritakan padaku bahwa Bumi Palestina ini dulunya adalah tanah yang kaya, subur, makmur, indah ternaung oleh syariah Islam. Terlebih luar biasa saat Shallahuddin Al Ayubi bersama pasukan Islam mampu menakhlukan Al Quds dari pasukan Salib. Sampai-Sampai Kakek memberi nama ayahku “Ayubi” karena ada harap Ayahlah yang membebaskan Palestina kelak. Miss Faiza tahu tidak? Palestina itu dulu besarnya ibarat Pulau Sumatera, namun kini dijarah Yahudi/Israel hingga secuil seperti Aceh. Miss, meski aku tak lagi punya satu kaki, tapi aku masih punya keimanan. Akan ku perjuangkan kembali tegaknya Khilafah yang menjadi satu-satunya benteng pengembali kemuliaan Islam di pangkuan kaum muslimin. Berikan aku ikat kepala berlafadz kalimat syahadat itu Miss!” tunjuk Azzam mengarah pada tas coklatnya.

(Flash Fiction)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami