Senin, 19 Desember 2011

Beginilah Seharusnya Seorang Kepala Negara




Ada sebuah kisah yang jarang diungkap. Kisah ini terjadi pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Yazid bin Abdul Malik bin Marwan bin Al Hakkam Al Umawi. Walaupun Yazid bin Abdul Malik adalah seorang khalifah yang suka berfoya-foya, berhura-hura, dan penyuka wanita, namun sikapnya kepada rakyat (seperti yang tercermin dalam kisah ini) patut untuk dicontoh.

Kisah ini bermula dari Ibnu Dhahhak, wali (gubernur) Madinah. Suatu ketika Fatimah binti Husain bin Ali bin Abu Thalib sudah menjanda dengan beberapa putra. Kemudian Ibnu Dhahhak mendatanginya dan meminangnya untuk menjadi istrinya. Tetapi, Fatimah menolaknya dengan halus seraya berkata, “Maaf, saya sudah tidak lagi berhasrat untuk menikah lagi. Hidup saya sudah saya waqafkan untuk memelihara anak-anak saya.”

Ternyata Ibnu Dhahhak tidak peduli dan semakin memaksanya. Semakin Ibnu Dhahhak memaksa, semakin Fatimah menolaknya disertai rasa takut. Ibnu Dhahhak lalu mengancam Fatimah dan berkata, “Demi Allah! Jika engkau tidak mau menjadi istriku aku akan menahan putra sulungmu dengan tuduhan telah meminum khamr!”
Merasa dizalimi, Fatimah kemudian mengadukan hal ini kepada salah seorang fuqaha Madinah, Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatthab. Salim lalu menyarankan kepada Fatimah agar menulis surat pengaduan kepada Amirul Mukminin tentang perilaku zalim salah seorang pejabatnya. Kemudian Fatimah pun hendak mengirim seorang utusan ke Damaskus untuk menemui Khalifah Yazid bin Abdul Malik.

Tetapi sebelum utusan Fatimah itu berangkat, kebetulan pada saat yang sama Amirul Mukminin memerintahkan Ibnu Hurmuz, bendahara Madinah agar segera datang ke Damaskus untuk membawa laporan-laporan keuangan. Ibnu Hurmuz segera menyiapkan berbagai laporan yang akan dilaporkan kepada Amirul Mukminin. Kemudian dia singgah sejenak ke rumah salah seorang keluarga Rasulullah, Fatimah binti Husain sambil berkata, “Saya hendak pergi ke Damaskus, apakah Anda mau titip sesuatu?”
Fatimah kemudian berkata, “Benar, tolong laporkan kepada Amirul Mukminin kesulitan yang saya alami akibat ulah walinya, Ibnu Dhahhak. Katakan pula bagaimana dia mengabaikan para ulama, terutama Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatthab.”

Mendengar hal itu, Ibnu Hurmuz menyesal telah mampir ke rumah Fatimah, sebab sesungguhnya dia tidak ingin mengadukan Ibnu Dhahhak kepada Yazid bin Abdul Malik di Damaskus.
Kemudian tibalah Ibnu Hurmuz di Damaskus bersamaan dengan kedatangan utusan Fatimah binti Husain. Dalam pertemuan dengan khalifah, Ibnu Hurmuz ditanya tentang kondisi Madinah, juga tentang Salim bin Abdullah bin Umar, dan beberapa fuqaha lainnya. Yazid berkata, “Adakah hal-hal penting yang perlu Anda sampaikan atau berita-berita yang perlu dibahas?” Ibnu Hurmuz sama-sekali tidak menyebut-nyebut pesan Fatimah. Mulutnya pun terkunci rapat tentang sikap walinya kepada Salim bin Abdullah.

Selagi dia masih menjelaskan tentang laporan keuangan yang diminta khalifah, penjaga masuk dan melaporkan bahwa utusan Fatimah binti Husain meminta izin untuk menghadap. Seketika pucatlah wajah Ibnu Hurmuz. Lalu dia segera berkata, “Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniai Amirul Mukminin umur yang panjang. Memang benar Fatimah binti Husain juga menitip pesan kepada saya…” Kemudian dia menceritakan semuanya.
Mendengar penuturan Ibnu Hurmuz, Amirul Mukminin berdiri dari tempat duduknya dan berteriak marah, “Celaka kau! Bukankah aku bertanya kepadamu bagaimana berita Madinah?! Pantaskah kejadian sebesar ini engkau sembunyikan dariku?!” Ibnu Hurmuz segera mencari dalih dan memohon maaf kepada Amirul Mukminin.

Tidak lama kemudian, utusan Fatimah binti Husain itu pun masuk dan menyerahkan surat Fatimah. Amirul Mukminin membacanya dan raut mukanya langsung memerah tanda marah. Dia berteriak lantang, “Ibnu Dhahhak sudah berani mengganggu keluarga Rasulullah dan tidak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah!” Siapa yang bisa mendengar jeritan rakyat Madinah sementara dia tersiksa di Madinah sedangkan aku tetap duduk di Damaskus?!”
Di antara hadirin ada yang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tidak ada yang lain di Madinah kecuali Abdul Wahid bin Bisyr An Nadhari. Angkatlah beliau. Saat ini beliau tinggal di Thaif.” Khalifah berkata, “Benar. Demi Allah! Dia memang layak untuk tugas ini.” Maka khalifah meminta kertas dan menulis surat pengangkatan gubernur yang baru.
“Dari Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik kepada Abdul Wahid bin Bisyr An Nadhari.

Assalammu’alaikum..
Bersama surat ini saya melantik Anda sebagai gubernur Madinah. Jika surat ini telah sampai kepada Anda, maka datanglah ke Madinah dan turunkanlah Ibnu Dhahhak dari jabatannya. Perintahkanlah agar dia membayar denda 400 dirham, lalu hukumlah ia hingga aku mendengar teriakannya dari Madinah.”
Kemudian berangkatlah utusan yang membawa surat tersebut menuju Thaif melewati Madinah. Ketika di Madinah dia tidak tinggal di tempat Ibnu Dhahhak, bahkan memberi salam pun tidak. Gubernur Ibnu Dhahhak menjadi curiga dan khawatir akan dirinya. Lalu diutuslah seorang utusan untuk mengundang utusan Damaskus itu ke rumah Ibnu Dhahhak. Lalu Ibnu Dhahhak bertanya kepada utusan Damaskus tersebut tentang maksud kedatangannya.
Utusan itu tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibnu Dhahhak. Lalu Ibnu Dhahhak mengambil sesuat dari balik tempat tidurnya dan berkata, “Lihatlah, bungkusan ini berisi 1.000 dinar. Aku bersumpah akan merahasiakan apa yang kau bawa dan kemana arah tujuanmu.”
Uang itu pun diserahkan, lalu utusan Damaskus tersebut menjawab pertanyaan Ibnu Dhahhak. Selanjutnya, Ibnu Dhahhak berkata, “Tunggulah di sini selama tiga hari saja, aku akan pergi ke Damaskus sebentar. Baru setelah itu engkau boleh melanjutkan perjalananmu sesuai perintah yang kau terima.”

Ibnu Dhahhak segera bergegas menyiapkan kendaraannya, lalu segera meninggalkan Madinah menuju Damaskus. Setibanya di Damaskus, dia langsung menuju rumah saudara Yazib, yaitu Maslamah bin Abdul Malik. Dia adalah seorang yang baik lagi penolong. Ketika telah di hadapannya, Ibnu Dhahhak berkata, “Aku berada di bawah lindunganmu wahai amir.” Maslamah menjawab, “Semoga baik-baik saja. Apa yang terjadi atasmu?” Ibnu Dhahhak berkata, “Amirul Mukminin marah kepadaku karena kesalahan yang aku lakukan.”
Lalu Maslamah menemui Yazid dan berkata, “Aku ada keperluan penting wahal Amirul Mukminin.” Yazid berkata, “Semua keperluan Anda akan aku penuhi kecuali masalah Ibnu Dhahhak.” Maslamah berkata lagi, “Demi Allah! Aku tidak memiliki keperluan selain itu.” Yazid pun berkata, “Aku tidak bisa mengampuninya.” Maslamah bertanya, “Apa kesalahannya?” Yazid segera menjawab, “Dia mengganggu Fatimah binti Husain dan mengancam serta menekannya. Dia juga tidak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatthab. Para ulama, penyair, tokoh masyarakat, dan penduduk Madinah banyak sekali yang mengecamnya.” Kemudian Maslamah berkata lagi, “Jika begitu persoalannya, maka terserah Anda Amirul Mukminin.” Yazid berkata, “Sekarang perintahkan Ibnu Dhahhak kembali ke Madinah. Dia harus menerima hukuman dari gubernur yang baru agar menjadi pelajaran-pajaran bagi pejabat-pejabat lainnya.”

Rujukan:
1. Kitab Shuwaru min Hayati At Tabi’in karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya
2. Kitab Tarikhul Islam As Siyasi wa Tsaqafi wal Ijtima’ karya Dr. Hasan Ibrahim Hasan
3. Kitab Tarikh Khulafa’ karya Imam As Suyuthi

oleh ustadz Agus Trisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami