Senin, 19 November 2012

Surga, Adakah Aku Layak?


20 November 2012, Pukul 09.22 wib

Bismillahirrohmanirrohim..

Wahai saudaraku, terhatur  maaf atas segala kesalahan dan terucap terima kasih atas perhatiannya yang telah diberikan selama ini kepadaku. Tanggal ini mungkin menjadi tanggal yang dinanti bagi sebagian orang yang saat ini menjadi hari kelahirannya. Istilah ulang tahun pun tak jarang selalu membuat si pelaku ulang tahun menunggu untuk mendapatkan hadiah, surprise, serta hal asyik lainnya.

Namun bagiku, di tanggal ini bukanlah lagi menjadi waktu spesifik dan Istimewa untuk sekedar ucapan “Ulang Tahun”, karena sesungguhnya setiap waktu dan hari adalah ”Istimewa” ketika kita bisa memannfaatkannya dijalan Dakwah.  Tanggal ini cukup membantuku untuk semakin menyadari akan status kehidupanku hidup di dunia ini.
Bagaimana tidak?
Tersentak pada usia 22 tahun, waktu yang tak terasa begitu cepatnya berlalu. Jika Rasulullah wafat pada usia 63 Tahun. Berarti usiaku sudah berjalan kurang lebih 1/3 usia meninggalnya Rasulullah saw. “1/3 kontrak nafas kehidupan telah berjalan, selanjutnya wallahu’alam…” Jika Allah menghendaki seperti rentang usia rasulullah masih ada 2/3 lagi kontrak nafas dipinjamkan.”

Duduk disini pun terbayang akan “apa yang sudah ku lakukan dalam hidup ini?”
Masa kecil yang berjalan dengan begitu cepatnya!
Usia SMP-SMA yang dihingar bingarkan dengan trend remaja gaul, hanya untuk kata “keren, fungky, cool, dan gaul”.
Umur SMA berlalu, baru ku menemukan dan memeluk Islam Kaffah. Kita berdoa sahabat agar  kita bisa meninggal dalam kondisi mengemban, menyebarkan dan mengamalkan ISLAM. Aamiin

Apakah kiranya usia saat ini sudah mencukupi bekal?

Tak ada yang bisa menebak, namun yang ku pahami bahwa hidup itu bukanlah perkara yang lama hanya sebentar dan sebentar, meminjam kata orang jawa “Urip koyo mampir ngombe” (Hidup seperti mampir minum). Dan memang sungguh sangat sebentar.

Jadi teringat berita duka dari salah satu syabab (pemuda) pejuang Khilafah yang ia meninggal dihantarkan dengan sakit. Banyak sahabatnya yang menyapa melihat foto-foto yang masih terpasang di facebook, beberapa sahabatnya memberikan komentar. Berikut cuplikannya :

“Buka Fb ternyata di wall masih ku lihat foto sahabat seperjuangan, Hati ini masih.... sulit diungkapkan, saya kehilangan pejuang yang super semangat | Bagaimanapun galaunya hati harus kita ubah menjadi energi posistif untuk kembali bertarung di medan perjuangan | Memori untuk nasehat diri, ku kenang menjadi bara pengobar semangat...
Masih sangat ingat bagaimana dia semangat. Disaat teman-temannya izin tak bisa datang memenuhi undangan saya untuk rapat agenda Dakwah karena gak ada motor, dia datang tepat waktu padahal saya tau dia gak punya motor tapi ada saja cara dia sampai di lokasi yg dijanjiikan [dia contohkan pada kita fokus pada tujuan bukan hambatan] . Disaat teman-teman yang lain menolak amanah dakwah karena kesibukan lain, dia eksekusi amanah tadi sampai tuntas [dia contohkan bagaimana pengorbanan] . Disaat sakit tipes saya minta istirahat dulu dia jawab "ah cuma sakit biasa ja" . Disaat yang lain lain izin tidak datang karena sakit, dia tetap bersedia datang dengan jawaban "afwan tadz saya butuh waktu sebentar untuk mengatasi sakit saya, sebenatar lagi saya meluncur", padahal saya minta istirahat, baru saya tau saat dia cerita ternyata sekedar nelan obat turun panas untuk mengatasi demamnya trus dia berangkat berjuang padahal saya tau dia sedang sakit tipes serius [semoga Allah membalasnya dengan sejuknya surga].
Sakit yang terakhir paru-paru, masih beliau hiasi dengan aktifitas dakwah bahkan menyampaikan materi training di tiga Kampus dengan penuh semangat walau kadang nafas tersengal. Saya minta untuk istirahat.. hanya dia jawab "klo cuma ngisi satu materi saya masih kuat".
Baru mau istirahat setelah sakit paru-parunya divonis serius oleh dokter dan tak bisa banyak aktifitas keluar. Nengok terakhir masih ku ingat senyummu. Saat harus dirawat di RSU Lampung HP dia tak lagi bisa dikontak. Setelah bertanya disalah satu saudara akhirnya saya dapat nomor barunya. Belum sempat telp ke dia.. Sabtu pagi sms masuk mengabarkan bahwa ia telah menghadap Allah. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.
Kalimat dia yg masi terus terngiang " Lebih baik saya mati di medan Dakwah daripada mati diatas tempat tidur " . Subhanallah Allahuakbar!!

يَٰۤأَ يَّتُهَا ﭐلنَّفْسُ ﭐلْمُطْمَئِنَّةُ (٢٧) ﭐرْجِعِىۤ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
[Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Robb-mu dengan hati yang puas lagi diridhoi-NYA (Q.S. Al – Fajr (89): 27-28)]

Komentar dari sahabat lainnya

Ada seseorang yang meninggalnya tidak ada yang menangisi. Tetangganya tak banyak yang mengunjungi. Tak ada haru biru apalagi testimoni. "Wujuduhu ka adamihi". Ada dan tidak adanya ia, sama saja.

Namun ada juga orang mati, yang seisi negeri'menangisi'. Bukan hanya tetangga, kenalan dari banyak pelosok turut menyesali. Orang-orang bersyahadah atas kebaikannya di banyak testimoni. Di sms, facebook, twitter, radio dan kalau bisa televisi.

Sejak Nabi Adam menginjakkan kakinya, Bumi telah dijejaki milyaran tapak kaki manusia. Sebagian besar jejak itu lenyap begitu saja. Hanya sedikit yang terekam sebagai langkah berharga. Kasarnya, banyak dari mereka yang "lahir untuk dikubur". Berakhir di sepetak tanah 1x2 meter. Jangankan saat matinya. Saat masih hidup pun mereka dianggap tidak ada.

Tapi dari sekian banyak manusia, ada segelintir yang menampakkan cahayanya. Mereka adalah sedikit yang mencoba tampak berbeda. Merekalah yang pada akhirnya tercatat sebagai pemeran dalam lembar-lembar sejarah.”

Berita duka diatas menjadi sebaik-baik pengingat. Fenomena kematian yang tak pernah kita mengetahui kapan datangnya. Disinilah Allah menyayangi kita, bahwa kita tak pernah diberitahu tentang “kapan datangnya akhir kehidupan kita”. Bayangkan apabila Allah memberikan waktu, tanggal dan tahun akan jatuh tempo kita meninggalkan dunia ini? Misalkan saja diberi tahu bahwa “Fulan” meninggal pada awal tahun. Apa yang akan dilakukan Fulan?
Tentunya Fulan akan senantiasa menyibukan diri untuk beribadah, dan mengerahkan segala apa yang ia milikinya untuk beribadah dengan sebaik-baiknya. Sampai-sampai ia berazzam/bertekad akan melakukan apapun agar seketika ia bisa mendapatkan gunung perbekalan yang penuh dan mencukupinya.

Namun, faktanya bukan begitu. Allah Maha Penyayang, tidak memberitahu akan kapan kita berlama-lama di dunia. Sehingga selalu ada kewaspadaan dalam setiap aktivitas “jangan-jangan ini adalah terakhir aku bisa melakukannya”. Ketika mau bermaksiat pun juga jadi berfikir dan hati berbatin, “Yakin ni mau maksiat, nanti kalau meninggal, nyesel loe?” Akhirnya kita tidak jadi maksiat. Berjaga pada terikat dengan syariah-Nya itulah kunci Khusnul Khatimah. Semoga kita bisa mempersiapkan akhir yang baik itu.


Dan berkaca pada setiap hari, kiranya jika setiap waktu ada pertanyaan “Siapkah jika malaikat Izro’il mencabut nyawa kita?” Siap gak siap harus SIAP! Renungilah ketika kita kuatir menghadapi kematian “jangan-jangan kita sudah terlalu cinta dengan dunia sehingga kita takut mati”. Sebagai kaum muslim pahamilah bahwa sesungguhnya “kematian” adalah “Menjadi jembatan”  bukan “Menjadi penghalang”. Kematian adalah jembatan yang menghubungkan antara sisi hilir dunia dengan sisi hulu Surga.

Kematian adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan yang semestinya membuat kita harus selalu berfikir dan berfikir untuk melakukan hal yang terbaik  untuk Islam.
Memang benar, hanya AMAL-lah bekal untuk kehidupan setelah kehidupan ini, tak ada yang lain. Jika menginginkan Surga cukuplah upaya “Semoga kita bisa melayakkan diri memasuki Surga-Nya”

Semoga kedepan kita bisa “melayakkan diri masuk ke Surga-Nya” dengan memanfaatkan waktu yang tersisa di dunia ini dengan mencurahkan waktunya untuk Islam serta menyempurnakan dalam berdakwah, mengemban amanat ALLAH SWT, berjuang untuk tegaknya Khilafah. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami