Sabtu, 31 Agustus 2013

Islam mampu menyelesaikan masalah


Islam memandang bahwa segala permasalahan kehidupan dapat dipecahkan dengan cara yang sama yaitu sebagai problematika yang sifatnya manusiawi. Sehingga tidak terjadi pengkotak-kotakan bahwa masalah ekonomi seperti nafkah, atau masalah social seperti percaraian berdasarkan masalah ekonomi dan masalah social. Akan tetapi sama dipandang bahwa ini adalah masalah yang dibutuhkan suatu jalan keluar. Untuk memahami Islam yang memiliki konsep dalam pengaturan kehidupan maka Islam memiliki pengarturan akan mana dalil-dalil syariah yang memang bisa digali dan mana yang memang tidak bisa digali. Telah dijelaskan sebelumnya pada kitan nidzamul Islam bahwa Apabila sumber ketetapannya pasti, maka perlu dicermati; yaitu jika penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath’I dilalah), maka hukum yang dikandungnya juga bersifat pasti.

Misalnya jumlah rakaat shalat fardlu yang kesemuanya bersumber dari hadits mutawatir. Begitu juga dengan hukum haramnya riba, potong tangan bagi pencuri, atau hukum jilid bagi pezina. Semua itu merupakan hukum-hukum yang penunjukkannya bersifat pasti dan nilai kebenaran di dalamnya merupakan suatu ketetapan. Tidak ada tafsiran lain yang ditunjukkannya kecuali hanya satu ketetapan pasti.

Akan tetapi jika seruan Syari’ itu sumber ketetapannya bersifat pasti sedangkan penunjukan dalilnya bersifat zhanni, maka hukum yang terkandung di dalamnya adalah zhanni. Misalnya ayat tentang jizyah, -uang yang dipungut Negara dari orang kafir dzimmi yang menolak masuk Islam, tetapi bersedia hidup dalam masyarakat Islam-. Dilihat dari sumber ketetapannya bersifat qath’i, tetapi bila dit injau dari perincian-perincian hukumnya, maka penunjukan dalilnya adalah zhanni. Mazhab Hanafi misalnya mensyaratkan penggunaan istilah jizyah; sehingga ketika memberikannya harus tampak jelas kehinaan bagi pembayarnya. Sedangkan Mazhab Syaf i ’ i t idak mensyaratkan hal ini , bahkan membenarkan mengambi lnya dengan sebutan zakat mudla’afah, -zakat berlipat ganda-, tidak perlu menampakkan kehinaan, melainkan cukup tunduk saja terhadap hukum- hukum Islam.

Adapun seruan Syari’ yang ketetapannya bersifat zhanni tsubut seperti hadits yang bukan mutawatir, maka hukum yang terkandung di dalamnya menjadi zhanni pula, baik itu berupa dilalah-nya yang qath’i, seperti puasa enam hari pada Bulan Syawal yang ditetapkan oleh sunah, maupun yang dilalah-nya zhanni, seperti larangan menyewakan lahan pertanian yang
ditetapkan oleh sunah.[1]Diatas adalah konsep untuk memetakan mana yang disitu ada ruang untuk berijtihad untuk digali dan mana yang memang tidak bisa digali. Berbicara mengenai hal ini maka pembahasan ini tidak terlepas dari pemhasaan akan ‘illat.
Apakah itu ‘illat?
Illat adalah sesuatu yang karena (keberadaan)nya maka hukum menjadi ada. Atau, karena perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri’ (pensyariatan suatu hukum). Jadi, hukum itu disyari’atkan karena adanya ‘illat. ‘illat adalah dalil, tanda, dan yang memberitahu (adanya) hukum. ‘illat-lah yang membangkitkan hukum. Maka ‘illat adalah sesuatu yang menjadikan penyebab disyariatkan hukum.[2] Dalam kitab Ushul Fiqih karya Abd. Wahab Khallaf mendefinisikan ‘illat adalah suatu sifat yang terdapat pada suatu ashl (pokok) yang menjadi dasar hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far’ (cabangnya).[3]

Dalam permasalahan ranah dimensi pertama yakni hubungan manusia dengan sang khalik dan ranah dimensi ke dua, segala dalil yang berkaitan dengannya sifatnya adalah qath’I sehingga tidak ada illat pada kedua dimensi tersebut. Seperti pada wilayah ibadah, akhlak, makanan, dan pakaian. Mengapa hal ini tidak diboleh dicari illatnya? Karena apabila ini dicari-cari illatnya pasti yang akan terjadi adalah menghilangkan status hukum yang ada. Misalkan saja pada sabda Rasulullah tentang Khamar itu diharamkan karena zatnya. Zat disini adalah sebagai ‘illat. Maka apakah apabila ketika ada komponen zat khamar dihilangkan status khamar kemudian hilang menjadi boleh? Tentu tidak. Untuk itu “mutlak” pada dua wilayah ini tidak dibolehkan untuk mecari cari ‘illat cukup diambil sebagaimana adanya dan diterima dengan kepenuh kepasrahan tanpa melihat ‘illatnya.[4]
Permasalahan dengan mencoba mencari-cari ‘illat ini pada medan UIN sudah menjadi bagian dari pembelajaran. Hal yang tak semestinya dicari ‘illatnya tetapi justru digali. Hal ini terbukti dari beberapa para sarjana lulusan UIN yang sampai-sampai mereka mencoba mengijtihadi ranah dua dimensi tadi. Seperti yang pernah kita katahui bersama dengan masalah bucil yang dikeluarkan oleh UII. Diantara nya bucil yang beredar adalah tidak diwajibkannya perempuan menggunakan jilbab dan kerudung, dan bolehnya imam menjadi imam shalat jumat, serta masih banyak lagi contohnya seperti dihalalkannya nikah antar sesama jenis dan lain-sebagainya. Melihat hal ini maka apabila nash menyebutkan sebagian hukum dengan menyebutkan dengan menyertakan ‘illatnya, maka hukum tersebut berkaitan dengan ‘illat serta dapat diqiyaskan (dianalogkan) kepada yang lainnya. Sedangkan nash yang tidak menyebutkan ‘illatnya, maka ‘illatnya sama sekali tidak boleh dicari-cari dan tidak dapat dianalogkan kepada yang lain. ‘illat yang syar’iyah yaitu yang berdasarkan kepada nash syara’ yang diambil dari Kitab dan Sunah, karena hanya al-Qur’an dan Sunahlah yang menjadi nash-nash syara’. Karena itu, ‘illat yang menjadi dasar hukum syara’ harus ‘illat syar’iyah, bukan ‘illat aqliyah.[5]
Walaupun hukum beredar bersama ‘illatnya, baik dijumpai maupun tidak ‘illatnya, bukan berarti hukum-hukum syara’ berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat dengan alasan mendatangkan maslafat (manfaat) dan menolak mafsadat (kerugian) merupakan ‘illat bagi hukum-hukum syara’.[6]hal ini tidak diperbolehkan apabila yang dihadikan sebagai ‘illat adalah bersandarkan pada aqliyah semata. Seperti dalil-dalil yang tidak disepakati oleh semua ulama tentang istihsan, mashalih mursalah dan syariat sebelum Islam (Syar’u man Qablana).





[1] An-Nabhani Taqiyuddin, “Peraturan Hidup Dalam Islam”, HTI Press, Jakarta: 2008, hlm 115-116
[2] ‘Atha bin Khalil, “Ushul Fiqih Kajian Fiqih Mudah dan Praktis”, PTI, Bogor: 2010, hlm 83
[3]  Khallaf Abdul Wahab, “Ilmu Ushul Fiqh”, Dina Utama, Semarang: 1994,  Hlm 85
[4] An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI Press, Jakarta: 2008, Hlm 57
[5] Ibid hlm 64
[6] Ibid hlm 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami