Jumat, 30 Agustus 2013

Tercela dan Terpuji

Pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap perbuatan manusia menunjukkan bahwa perbuatan manusia dilihat dari sisi zatnya, tanpa dilihat lagi faktor-faktor dan pertimbangan-pertimbangan lain adalah materi belaka. Keberadaannya sebagai materi berarti tidak mempunyai predikat terpusji (hasan) atau tercela (qabih) karena zatnya, melainkan didapat dari faktor-faktor luar atau pertimbangan-pertimbangan lain.[1] Adapun pertimbangan datangnya predikat hasan dan qabih dapat kita petakan menjadi empat pertimbangan :
1.      Bahwa predikat tersebut berasal dari akal saja
2.      Hanya berasal dari syariat saja
3.      Bisa berasal dari Akal dan syariat yang dijadikan dalilnya
4.      Bisa berasal dari Syariat dan Akal sebagai dalilnya.
Pada pertimbangan pertama, ditegaskan oleh Syaikh Taqiyuddin bahwa pertimbangan ini bathil, Mengapa? Karena manusia ia tempatnya lupa khilaf yang secara tab’iinya bersifat lemah, terbatas dan serba kurang.[2]

Seperti contoh misalkan Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)

Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.
bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950
Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:
  • Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
  • Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
Periode Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Sangat jelas bahwa apabila ketika sesuatu disandarkan kepada akal maka dari ukuran-ukuran menentukan mana yang hasan wa qabih sesuai dengan kepentingan seperti yang terjadi pada UUD negeri ini. Masa berlaku yang anehnya sampai saat ini masih berlaku, dan herannya dipandang baik saat masa itu namun masa sekarang sudah tidak dipandang sebaik pada saat dulu. Bukti bahwa akal  manusia ketika diberikan sebagai standar jadinya tidak  terukur sehingga tergantung siapa yang memandang. Seperti contoh ukuran perbuatan pacaran bagi aktivis pacaran tentukan bukan suatu permasalahan karena mereka menganggap fine-fine saja tidak menjadi masalah, namun berbeda apabila kita memandang aktivitas pacaran tersebut dengan menggunakan standar tolokukur hukum syara’ tentu didakdibolehkan. Untuk itu maka pembahasa predikat hasan waqabih diatas adalah dengan menyandarkannya kepada hukum syara’ bukan yang lainnya.
Adapun menjadikan syara’  sebagai dalil terhadap apa yang telah ditunjuk oleh akal, maka hal itu berarti menjadikan akal sebagai tolok ukur terha dap terpuji dan tercelanya sesuatu dan hal ini sudah kita ketaui kebathilannya. Menjadikan akal sebagai dalil terhadap sesuatu yang telah ditunjuj oleh syara’, berarti menjadikan akal sebagai dalil terhadap hukum syara’, padahal hukum syara’dalilnya adalah nash, bukan Akal.[4]Lantas bagaimana kedudukan akal sebenarnya, seolah dalam pembahasan ini Akal tidak diturun perankan padahal manusia melakukan aktivitas hasan wa qabih dengan menggunakan akal juga. Fungsi akal dalam halini adalah untuk “memahami hukum syara”, bukan menjadikan dalil terhadap hukum syara’. Dengan demikian,terpuji dan tercela semata-mata harus berdasarkan syara’ saja, bukan akal.[5]
Mengenai perbedaan buruk dan baik, terpuji dengan tercela yakni buruk apabila aktivitas tersebut adalah aktivitas yang Allah murkai sedangkan baik adalah Aktivitas yang Allah ridhai. Seperti pada pembahasan diawal bahwa standar  untuk menentukan baik dan buruk disndarkan kepada hukum syara’. Sedangkan terpuji dan tercela disini ada imbalan dan sangsi. Terikat pada kitab nidzamul Islam bab macam-macam hukum syara’ karena itu fardlu atau wajib adalah seluruh perbuatan yang mendapatkan pujian bagi pelakunya,dan celaan bagi yang meninggalkannya, atau bagi yang meninggalkannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Sedangkan haram adalah perbuatan yang mendapatkan celaan bagi pelakunya, dan pujian bagi yang meninggalkannya. Dengan kata lain, orang yang melakukannya akan memperoleh sanksi/siksaan.[6]Dengan demikian, terdapat perbedaan antara terpuji dan tercela dengan baik dan buruk. Lantas bagaimana dengan tujuan suatu perbuatan?
Sangat disayangkan apabila ternyata suatu aktivitas tidak memiliki nilai, maka sebagai seorang muslim ketika hendak berbuat maka difikirkan terlebih dahulu,ketika berbuat ditegakkan apa nilainya yang hendak dicapai. Ada empat qimatul’amal : yakni nilai materiil (qimah madiyah), nilai spiritual nilai humanistis (qimah insaniyah) dan nilai moral tersebut tidak dapat disamakan atau dilebihkan berdasarkan esensi nilai tersebut, karena pada salah satunya tidak ditemukan sifat-sifat yang membedakannya dari yang lain. Hanya saja sebenarnya manusia itu selalu mengutamakan nilai salah satu diatas nilai yang lain karena mengikuti apa yang telah diraihnya dari manfaat atau bahayanya, untung atau ruginya.[7] Semua qimah harus dicapai dalam setiap amal. Dalam proses pencapaian itu harus sesuai hukm syara'. Dan setiap amal bisa berubah qimah, tapi ada yang berubah menjadi keliru ada yang berubah tetap benar. Misal, sholat qimahnya ruhiyah. tapi ada orang yang sholat mengejar madiyah. ini keliru. Contoh lain, dokter menolong orang itu qimahnya insaniyah. tapi ada pasien2 yg ia kenakan tarif. ini berarti qimahnya berubah menjadi madiyah. dan itu boleh.[8]



[1] An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”,  HTI Press, Jakarta: 2008, hlm 43
[2] An-Nabhani Taqiyuddin,”Peraturan Hidup Dalam Islam:, HTI Press,Jakarta: 2008,hlm 10
[4] An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”,  HTI Press, Jakarta: 2008, hlm 44
[5] ibid
[6] An-Nabhani Taqiyuddin,”Peraturan Hidup Dalam Islam:, HTI Press,Jakarta: 2008,hlm 121
[7] Abdullah Muhammad Husain, “Mafahim Islamiyah”, Al Izzah, Jatim; 2003, hlm 167

[8] http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=128691107193673&id=126193820734544&comment_id=795581&offset=0&total_comments=5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami