Sabtu, 16 Februari 2013

Ini Tentang Cinta


“Mengapa sampai saat detik ini masih terjadi fenomena pacaran?” Sebuah pertanyaan yang sepintas muncul seusai sepulangku dari kost teman yang berada disekitar kampus. Fokus pada perjalanan pulang dengan motor warna putih-merahku memandangi peristiwa perjalanan pulang. Masih saja ku temui duo laki-laki dan wanita beraktivitas layaknya kaka dan adik atau orang yang sudah menikah. Bukan hanya satu atau dua, mungkin bisa mencapai berbilang puluhan, dalam perjalanan pulang dengan durasi kurang lebih 30 menit.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa fenomena aktivitas yang “non halal” alias pacaran ini masih tercecer disekitar kita. Tak hanya lingkup tetangga rumah namun tak luput pula dunia mahasiswa, dunia para pelajar dan para remajanya, bahkan anak SD yang usianya dini.

#Ingat!, ini hanya ada di sistem demokrasi

Mencoba merenungi dan memikirkan, apakah kiranya yang kemudian membuat hal ini bisa tumbuh subur dan sudah turun temurun generasi ke generasi selanjutnya. Memandangi orang yang sudah berkepala dua, seusia mahasiswa atau yang sudah bekerja bergelar dengan status “pacaran”. Apakah mereka mau dikatakan dengan sebutan “Seperti anak-anak saja”. Mengapa? Karena menurutku, perbuatan “non halal” tersebut demikian hanya dilakukan bagi orang yang akalnya belum berfungsi secara sempurna. Tentu tahu, masa anak-anak atau usia belum baligh, itulah usia dimana akal dikatakan belum sempurna. Akan yang belum sempurna ia belum bisa menimbang, antara mana yang benar dan mana yang salah. Antara mana yang haq dan mana yang bathil. Bukankah para pelaku pacaran sangat mirip seperti anak-anak yang akalnya belum sempurna. Karena anak-anak belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Cukup lucu bukan? memang dan #Ingat! Ini hanya di sistem demokrasi-sekuler saat ini. Terkadang aku pun juga berfikir apa sih yang gak lucu dan membuat heran kita hidup di sistem demokrasi-sekuler saat ini.  Hampir semua lini kehidupannya dibuat lumrah dan hal yang wajar biasa saja, itupun dibumbui dengan istilah “kan atas dasar Hak Asasi Manusia”. Maka lagi-lagi jangan heran, kalau ada orang yang pacaran ya dibilang “Biasa aja tuh”, ada orang mabuk “Biasa aja neng”. Ada orang judi “Biasa aja dik”, Ada orang korupsi “Biasa itu nduk”. Ada Aborsi “Biasa aja mbak”. Ada pemerkosaan “Sudah biasa itu mah”. What!!! Semua dibilang biasa? Terus yang luar biasa yang seperti apa??
Rasanya hati tercincang-cincang, ketika suatu kemaksiatan dianggap biasa, ketika hukum Allah seolah tak layak menyentuhnya. Ketika berkah Allah tak turun karena banyaknya ahli maksiat, masyallah….apakah terus akan dibuat buta dan tuli???
Bagi orang yang punya AKAL tentu tidak akan membiarkannya, karena orang yang berakal, akalnya berfungsi untuk membedakan mana yang benar dan mana itu yang salah.
Sabar, memang hidup disistem saat ini bisa naik pitam kalau kita tak menundukan pada aturan yang Maha Mengatur yakni Allah swt.

Jika saja negeri ini akan terus melanjutkan sistem demokrasi-sekulernya maka ku pastikan fenomena ini akan terus menerus akan menjadi warisan turun temurun tidak habis tujuh turunan lanjut ntah sampai turunan keberapa.

Ku Tanya pada para aktivis pacaran. Bukankah pacaran itu adalah berbuatan yang anda tahu bahwa didalamnya ada hal yang bertentangan dengan aqidah Islam. Di sisi lain ku tahu memang ada segelintir aktivis pacaran yang menyadarinya, namun jangan salah juga tetap ada yang getol “sudah tahu hukumnya” tapi pura-pura gak tahu. Fatalnya dia sampai menyetop diri untuk tidak mau mendengarkan atau melihat tulisan kita ini dengan dalih “Ngapain sih lo ngurusi gue, Pliss deh gak usah sok ngurusin orang laen, urusin aja tuh diri loe sendiri, keluarga loe ama orang tua loe”. Really, ketemu orang beginian memang harus lapang sabarnya, kita pun gak bisa “ngotot dan memaksanya”. Cukuplah nada pelan terbunyi “segeralah bertaubat sebelum terlambat”. Jika ucapan singkat demikian sudah terlontar namun juga tak lagi digubris. Kelak ia akan menyadarinya bahwa aktivitasnya kini adalah pada posisi istilah “Jaman Jahiliyah”.

Mari buka mata, buka telinga. Aku tidak membencimu secara individumu namun akan pemikiranmu yang demikian. Dan ini sadarilah, namun jika tidak sadar. Waktu kelak yang akan menjawabnya.

Aku sendiri lagi-lagi kembali diherankan dan #Ingat! Ini hanya ada di demokrasi

Sudah tahu kalau pacaran itu bisa bikin sakit hati namun kenapa juga masih dijalani.
Sudah tahu kalau pacaran itu adalah hal yang haram namun tetap saja dilakoni
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa bikin zina hati, fikiran dan tangan tetap saja diijabahi
Sudah tahu kalau pacarank itu bisa bikin patah hati, namun tetap saja disayangi
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa dikhianati, namun tetap saja terpikati
Sudah tahu kalau pacara itu bisa diselingkuhi, tapi masih saja mencintai
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa ditinggalkan, tapi tetap saja diratapi
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa mengarahkan free sex, tapi tetap saja mau diarahi
Sudah tahu kalau pacaran itu bukan cinta yang hakiki, namun tetap saja dipegangi
Sudah tahu kalau pacaran itu bisa melupakan dari aturan Allah, namun tetap dipaksakan dengan dalil pacaran Islami.

Masyallah…akan sampai kapan sudah tahunya mereka berhenti kepada titik “SADAR” dan menyetop praharanya

Ancaman kesadaran itu kini sedang dibungkus oleh sistem demokrasi-sekuler yang akan terus mengkondisikan aktivitas ini tetap langgeng. Karena kekuatan demokrasi salah satunya adalah kebebasan dalam berekspresi. Lihatlah bagaimana menjagainya “non halal” ini yakni dengan jajanan film sinetron yang berisi “love dan pacaran”, pada ranah iklan dijumpai para modelnya para perempuan yang gaunnya separuh jaitan bak kekurangan kain.Di area media cetak, majalah, Koran, buku-buku, otak kotor dan gambar kotor pun tersebar leluasa. Bagaimana negeri ini generasinya gak jebol akalnya, lingkungannya mendidik dengan didikan jahat.

#Ingat!, ini hanya ada di demokrasi
Teruntuk para aktivis pacaran, jika kamu memang cinta dengan dia,  maka cintailah dia dengan cara Yang Allah cintai, yakni menjadikan hukum Allah sebagai standar dalam berbuat. Untuk itu jika memang cinta jangan kau nodai dengan noktah-noktah hitam kemaksiatan yang kau bangun dengannya
Jika memang cinta jangan biarkan ia terjerumus dan terperosok jauh pada palung siksa api neraka
Jika memang cinta jangan biarkan dia menyesal karena perbuatan maksiatnya dilakukan dengan dirimu
Ku tahu memang ini bukan hal yang mudah, bahkan mungkin kau akan mengatakan bahwa “aku takut putusku justru akan menyakitinya”.
Fahamilah, lantas apakah hati harus selalu merasakan perasaan senang terus? Tidak! ingatlah Allah bahwa Allah memberikan dan memberikan hati kepada manusia punya dua fungsi yakni bukan hanya sekedar untuk merasakan rasa senang melainkan adakalanya hati juga bisa merasakan sakit, ya senang dan sakit. Namun sakit itu semestinya membuatmu tersadarkan dan bukan malah justru memelihara dia dalam kondisi yang justru akan menyakiti hati dan badan dia kelak dihadapan-Nya.

Lebih milih mana antara besuk diakherat ketemu lagi di Surga-Nya karena kau telah menjadikan dia sebagai bidadari surgamu dengan ketaatan kepada Illahi Robbi atau bagi yang perempuan bisa bertemu kembali dengan menjadi suamimu kelak di Surga-Nya. Ataukah justru bertemu ditempat selain Surga? Naudzubillaah…

Bukankah Islam yang kau anut tak sekedar hadir dalam sholat, puasa, zakat atau mampu hajimu. Islam juga ada aturan saat keluarnya kau dari masjid,  akan busanamu,  akan akhlakmu, akan makan dan minimum dan juga akan pergaulanmu antar dengan lawan jenis. Islam memberikan solusinya. Ketika sudah mampu serta siap maka menikahlah, namun jika belum mampu tundukanlah pandangan, jagai kehormatan dan berpuasalah. Inilah cara Islam yang mencerdaskan kita, memberikan solusi dari gejolak naluri nau’ (naluri melestarikan keturunan) bagi setiap makhluk hidup yang telah dibekali akal oleh-Nya.[Ty]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami