Jumat, 30 Agustus 2013

Aspek Rohani & Ruh

Pada ringkasnya, aspek rohani adalah pengakuan bahwa segala sesuatu merupakan
mahkluk yang diciptakan oleh al-Khaliq. Dengan kata lain, aspek rohani adalah hubungan antara segala sesuatu dengan al-Khaliq dilihat dari aspek penciptaan dan keberadaannya dari hal yang sebelumnya tidak ada.

Hubungan ini, pengkaitan hubungan Sang Pencipta dengan yang diciptakan-Nya apabila  disadari oleh akal, maka akan melahirkan perasaan pengagungan terhadap al-Khaliq, rasa takut kepada-Nya dan perasaan untuk mensucikan-Nya. Perkara inilah yang sesungguhnya menjadi perwujudan adanya gharizah tadayyun. Yang pada kondisinya, gharizah ini tak bisa dilihat namun bisa dirasakan/ditampakkan dari perwujudan dari pemenuhan gharizah tersebut. Dalam kitab Nidzamul Islam, disebutkan diantara naluri-naluri itu terdapat naluri beragama, yaitu kebutuhan terhadap Sang Pencipta dan Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia secara alami dalam proses kejadiannya.[1] Hal ini menjadi bukti bahwa manusia memang memiliki sifat lemah, terbatas dan serba kurang. Untuk itu manusia semestinya berfikir untuk bisa memenuhi gharizah-gharizahnya sesuai dengan aturan Sang Khaliq.

Untuk itu sebagai kaum muslim sudah menjadi suatu keharusan untuk selalu memelihara aspek kerohanian dalam segala perkara, dan selalu menyesuaikan seluruh amal perbuatan dengan perintah dan larangan Allah, dengan dilandasi atas kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, hendaknya sesuai dengan ruh. Jadi, dalam satu amal perbuatan tidak ada dua unsur (spiritual dan materi). Yang ada hanya satu macam saja, yaitu amal perbuatan itu sendiri. Adapun sifatnya, apakah termasuk materi belaka ataukah berjalan sesuai dengan ruh, hal ini bukan berasal dari amal perbuatan, melainkan berasal dari apakah amal perbuatan berjalan sesuai dengan hukum- hukum Islam atau tidak.[2]

Apa bila dalam kesadarannya akan rasa mengagungkan ini sesungguhnya juga akan terwujud Kesadaran yang melahirkan perasaan terhadap adanya hubungan dengan Allah inilah yang disebut ruh.  Jadi, ruh adalah kesadaran (manusia) terhadap hubungannya dengan Allah. Jelaslah apa yang dimaksudkan dengan makna ruh dan aspek rohani. Menjadi paragraph yang senantiasa diberikan pengulangan dan penegasan, karena permasalahan pemahaman terkait “ruh” ini sangat berpengaruh terhadap suluk insane manusia. Maka menjadi pemahasan penting dalam kitab ini bahkan urgent.

Saking banyaknya lafadz dari makna Ruh ini maka memang perlu untuk didudukan, karena kalau tidak bisa mengakibatkan ada kesalahan makna seperti yang pernah dikomentari oleh teman saya, kitab Syaikh Taqiyuddin seolah menyeleweng dari aturan bahasanya pada  istilah an-nizhâm alijtimâ‘î untuk menyebut seluruh peraturan kehidupan bermasyarakat. Penggunaan istilah ini salah. Istilah yang lebih tepat untuk menyebut peraturan kehidupan bermasyarakat adalah anzhimah al-mujtama‘ (sistem sosial). Sebab sistem ini hakikatnya mengatur seluruh interaksi yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu tanpa memperhatikan ada-tidaknya aspek ijtimâ‘ (pergaulan/pertemuan pria-wanita).[3]Sama dengan istilah ruh, disini dijawab Ruh dan aspek rohani bukanlah kata-kata yang memiliki pengertian lughawi yang mengacu pada aspek bahasa saja dan bukan pula istilah yang dapat dipakai oleh setiap golongan sekehendaknya, melainkan memiliki makna yang khas, kendati diungkapkan dengan berbagai lafadz. Yang dibahas di sini adalah mengenai realitas makna ini, bukan dilihat dari sisi makna lafadznya menurut bahasa.[4]

Pada beberapa ayat yang menggunakan kata RUH tetapi memiliki makna yang berbeda. Yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh (nyawa). Katakanlah: ‘ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”(TQS. Al-Isra’ [17]: 85).[5]
Pada Ayat ini Ruh yang dimaksud adalah ruh (sirul hayah/nyawa). Dan memang betul bahwa nyawa pada manusia yang tahu bentuk dan wujudnya hanyalah Allah semata, sebagai manusia hanya bisa mengindikasikan bahwa manusia memiliki ruh (nyawa) apabila manusia atau hewan masih bernafas alias hidup.

Pada ayat yang lain juga dikemukan akan penggunaan kata ruh, Yang artinya : “Dia (al-Quran) dibawa turun oleh ar-ruhul amin (Jibril), dan diilhamkan kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi orang yang memberi peringatan.” (TQS.Asy-Syu’araa [26]: 193-194).[6] Ruh disini berbeda dengan pemaknaan ruh diatas yang awalnya berarti nyawa, namun pada ayat ini diartikan ruhul amin, yang artinya Malaikat Jibril sebagai perantara wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.

Ada lagi ruh juga dapat diartikan sebagai syariah, pada TQS. Asy-Syura[42]: 52).
Yang artinya “Demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (syari’at) dengan perintah Kami.[7]

Nah, melihat arti ruh pada ayat-ayat diatas, maka tidak ada kaitannya dengan ruh yang sudah dibahas diawal dengan ayat-ayat diatas. Baik aspek ruhani dan makna ruh yang sesungguhnya.

Apabila manusia mau berfikir menyeluruh maka akan didapati bahwa manusia dalam perbuatannya atau dalam hidupnya dilingkupi dua lingkaran area, yaitu lingkaran yang menguasai manusia dan lingkaran yang dikuasai manusia. Lingkaran yang menguasai manusia adalah lingkaran yang di dalamnya berlaku nizhamul wujud (sunnatullah/hukum alam) atas manusia. Manusia berjalan bersama alam dan kehidupan, sesuai dengan aturan tertentu yang tidakberubah. Karena itu, dijumpai beberapa kejadian menimpa manusia di dalam lingkaran ini, yang terjadi di luar keinginannya. Di sini, manusia bersifat musayyar (dikendalikan), bukan mukhayyar (diberi pilihan).[8]Misalkan saya kita dilahirkan di Indonesia, menjadi seorang perempuan, menjadi kakak dari si A, menjadi adek dari mbak A, terlahir dari kedua orangtua kita saat ini. Dilingkaran ini adalah area yang dikendalikan manusia tidak memiliki pilihan dalam menawar apa yang menjadi kehendak Allah, maka bisa pula dikatakan pada area ini bahwa manusia hidup bukan pilihan. Pada contoh area atau lingkaran yang dikuasai manusia artinya manusia memiliki andil dalam menentukan pilihan perbuatannya misalkan saja manusia lapar butuh makan, manusia mau makan dengan soto, mie ayam, ayam goreng, atau daging sapi itu pilihan. Haus  juga begitu, apabila manusia haus kemudian menuntut untuk pemenuhan mau dipenuhi dengan meminum khamr atau sirup itu juga pilihan, karena manusia diberikan kesadaran yang membuatnya memfungsikan peran akal untuk menghukumi sesuatu. Sehingga pada area ini bisa dikatakan bahwa hidup adalah pilihan.

Beberapa minggu yang lalu, ada teman saya yang menggelisahkan dirinya. Ia memiliki pandangan bahwa kehidupan ini bukanlah pilihan melainkan sudah Allah kehendaki. Misalkan saja manusia hidup menjadi pelacur, seolah pelacur itu menjadi kehendak Allah. Padahal bukan demikian, aktivitas memilihnya wanita menjadi seorang pelacur itu karena pilihannya bukan karena Allah memaksa menjadi pelacur. Manusia mengetik, ia menganggap manusia dipaksa untuk mengetik. Setelah didudukan pada kedua area diatas, teman saya masih juga memegang teguh pendapatnya.

Ketika membahas tentang takdir maka kita harus memisahkan pembahasan ini dengan ketiga hal yaitu, Ilmu Allah, kehendak Allah dan Lauhul Mahfudz. Sebab manusia memiliki keterbatasan, mereka merasa terpaksa berada dalam kondisi yang memang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa, padahal ketiga hal tersebut yaitu Ilmu Allah, kehendak Allah dan Lauhul Mahfudz tidak boleh sekali-kali dicampuradukkan dengan pembahasan takdir karena tidak seorang pun yang mengetahui ilmu Allah, seperti apa yang Allah berkehendak atas dirinya, dan juga tidak mengetahui apa yang  tertulis didalam Lauhul Mahfudz.[9]



[1] An-Nabhani Taqiyuddin, “Peraturan Hidup Dalam Islam”, Jakarta : 2008, hlm 110
[2] Ibid hlm 111
[3] An-Nabhani Taqiyuddin, “Sistem Pergaulan Dalam Islam”, HTI Press, Jakarta; 2008, hlm 9
[4] An-Nabhani Taqiyuddin, “Mafahim HT”, HTI Press, Jakarta; 2008, hlm 35
[5] Ibid hlm 35
[6] Ibid hlm 36
[7] Ibid hlm 37
[8] Ibid hlm 38
[9] Y. Siauw Felix, “Beyond the Inspiration”, Khilafah Press, Jakarta; 2010, hlm 42

3 komentar:

  1. Bagus....tp sayang tulisanya kontras sama background nya...jd tdk bgt jelas tulisnya

    BalasHapus
  2. Syukran dapat terbantu dalam menjelaskan kitab Mafahim.

    BalasHapus
  3. Sangat bermanfaat

    BalasHapus

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami