Minggu, 05 September 2010

Hari Raya 'Iedul Fithri

Definisi dan makna Hari Raya 'Id

Hari Raya ialah semua hari yang didalamnya terdapat sekumpulan orang. Adapun kata al-‘Id merupakan pecahan kata dari: ‘aada ya’uudu, yang memiliki arti: “seakan-akan mereka kembali kepadanya”. Dan ada yang mengatakan, bahwa pecahan katanya dari: al-‘aadah, yang artinya: “karena mereka membiasakannya.” Dan bentuk jamaknya: a’yaad. Dikatakan: ‘ayyadal muslimun, artinya: “mereka menghadiri hari raya mereka.”

Ibnu A’rabi berkata,”Dikatakan al-‘Id itu, ‘Id (hari raya) karena kegiatan itu berulang setiap tahunnya dengan kegembiraan yang baru.” (Lisanul ‘Arab 3/319)

Berkata ‘al Allamah Ibnu ‘Abidin, “Dinamakannya ‘Id (hari raya) itu, karena pada diri ALLAH Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan atau aneka ragam kebaikan yang kembali kepada hamba-hambaNya di setiap harinya. Diantaranya : berbuka setelah dicegah dari makan, sedekah/zakat fitrah, menyempurnakan ibadah haji dengan Thawaf, ziarah, daging sembelihan dan yang lainnya, karena kebiasaan yang ada didalamnya terdapat keceriaan dan kegembiraan serta semangat. (Lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/165).
Rahmat Allah bagi umat Islam dengan Dua Hari Raya (Iedul Fithri & Adha)

Dari Anas Radliallahu 'anhu ia berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah (yaitu hari Nairuz dan hari Mahrajan -pent. Lihat Aunul Ma'bud 3/485 oleh Ath Thayib Al-Adhim Abadi 3/485) maka beliau bersabda (yang artinya): “Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu: Idul Kurban dan Idul Fithri". (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad 3/103,178,235, Abu Daud 1134, An-Nasa'i 3/179 dan Al-Baghawi 1098).

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna: "Maksudnya: Karena hari Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan dengan syariat Allah Ta'ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu Haji dan Puasa, serta didalamnya Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu. Penyebab ditentukannya hari itu sebagai hari raya buat mereka adalah karena pada kedua hari itu situasi kondisi, suhu udara dan selainnya dari keistimewaan yang akan sirna. Perbedaan antara dua keistimewaan antara Idul Fithri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya". [Fathur Rabbani 6/119].
Tuntunan para Salaf dalam bertakbir disaat hari Raya

Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): “Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangan (puasa Ramadhan) dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur".

Telah terdapat riwayat, “Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah keluar pada hari raya Idhul Fithri, beliau bertakbir, ketika mendatangi mushalla sampai selesainya shalat, apabila shalat telah selesai, maka beliau menghentikan takbirnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf, al Muhamili dalam Shalatul ‘Idain dengan sanad sahih tetapi mursal. Riwayat tersebut memiliki syahid (penguat) yang menguatkan riwayat tersebut. Lihat Silsilah al Ahadits ash Shohihah (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Id).

Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani: "Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir dengan suara jahr (keras) di jalanan ketika menuju mushalla (tempat shalat yakni tanah lapang -pent.) sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita."

Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari'atkan berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut, dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam".

Ibnu Umar dahulu apabila pergi keluar pada hari raya Idhul Fithri dan Idhul Adha, beliau mengeraskan ucapan takbirnya sampai ke mushalla, kemudian bertakbir sampai imam datang. (HR Ad Daraquthni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dengan sanad yang shahih. Lihat Irwa ‘ul Ghalil 650).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya (Kapan kaum muslimin diperintahkan takbir di kedua hari raya –pent), maka beliau rahimahullah menjawab: "Alhamdulillah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah: Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat". [Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat Subulus Salam 2/71-72]

Aku katakan: Ucapan beliau rahimahullah: "(dilakukan) setelah selesai shalat" -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab 'Iedain dari "Shahih Bukhari" 2/416: "Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah".

Umar radliallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.

Maimunah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid.

Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang lafazh takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.

Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh: "Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu". Yang artinya: “Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih]

Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh: "Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajallu Allahu Akbar 'alaa maa hadanaa". Yang artinya: “Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita". [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]

Abdurrazzaq -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam As Sunanul Kubra (3/316)- meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al-Khair radliallahu anhu, ia berkata (yang artinya): “Agungkanlah Allah dengan mengucapkan: "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira".

Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/536): "Pada masa ini telah diada-adakan suatu tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya".

Yang lebih tragis lagi pelaksanaan takbir untuk hari raya Iedhul Fithri khususnya, sebagian kaum muslimin di negeri-negerinya melakukan dengan cara-cara yang jauh dari sunnah, seperti yang disebutkan di atas dan yang lebih fatal sebagian mereka mengadakan acara takbiran – menurut anggapan mereka – pada malam hari Lebaran sudah mengumandangkan kalimat takbir bahkan dengan cara-cara yang penuh dengan kemaksiatan musik, bercampurnya laki-laki dan wanita serta berjoget-joget dan kemungkaran lainnya – yang sudah dianggap bagian dari syiar Islam. Bahkan mereka menganggap hal itu sunnah dan kewajiban yang harus dilakukan dengan cara yang demikian. Laa haula walaa quwwata illa billah.
Sunnah mandi sebelum sholat Ied

Dari Nafi' ia berkata: "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushalla tempat berkumpul manusia untuk sholat" (Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi'i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih).

Imam Said Ibnul Musayyib berkata (yang artinya): “Sunnah Idul Fithri itu ada tiga: berjalan kaki menuju ke mushalla (tempat shalat), makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1-2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam Irwaul Ghalil 2/104].

Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka. Karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal demikian. Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah). Ini diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah 1315 dan dalam isnadnya ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli hadits yang menganggapnya dusta (kadzab).
Berpenampilan indah di hari raya Ied

Dari Ibnu Umar radhliallahu 'anhuma ia berkata: Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata (yang artinya): “Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Umar: "Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat)". Maka berlalu waktu bersama Umar sepanjang yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ia berkata: "Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan: "Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian", dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Umar: "Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49]

Berkata Al-Allamah As-Sindi: "Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha". [Fathul Bari 2/439]

Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/441): "Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah (Lihat Silsilah As-Shahihah 1279), namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman."
Sunnahnya makan di hari Ied

Dari Anas Radliallahu anhu, ia berkata (Yang artinya): “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pergi (ke tanah lapang) pada hari Iedul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma". [Hadits Riwayat Bukhari 953, Tirmidzi 543, Ibnu Majah 1754 dan Ahmad 3/125, 164, 232]

Berkata Imam Al Muhallab: "Hikmah makan sebelum shalat (Idul Fithri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa hingga dilaksankan shalat Id, seolah-olah beliau ingin menutup jalan menuju ke sana" [Fathul Bari 2/447, lihat di dalam kitab tersebut ucapan penulis tentang hikmah disunahkannya makan kurma].

Dari Buraidah Radliallahu anhu ia berkata (Yang artinya): “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, sedangkan pada hari Raya Kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya" [Diriwayatkan Tirmidzi 542, Ibnu Majah 1756, Ad-Darimi 1/375 dan Ahmad 5/352 dan isnadnya hasan].

Al-Alamah Asy Syaukani menyatakan [Dalam Nailul Authar 3/357]: "Hikmah mengakhirkan makan pada Idul Adha adalah karena hari itu disyari'atkan menyembelih kurban dan makan dari kurban tersebut, maka bagi orang yang berkurban disyariatkan agar berbukanya (makan) dengan sesuatu dari kurban tersebut. Ini dikatakan oleh Ibnu Qudamah" [Lihat Al-Mughni 2/371]

Berkata Az-Zain Ibnul Munayyir [Lihat Fathul Bari 2/448]: "Makannya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pada masing-masing Id (Idul Fithri dan Idul Adha) terjadi pada waktu disyariatkan untuk mengeluarkan sedekah khusus dari dua hari raya tersebut, yaitu mengeluarkan zakat fithri sebelum datang ke mushalla dan mengeluarkan zakat kurban setelah menyembelihnya".
Petunjuk dari Salaf tentang Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab: "Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Id: Taqabbalallahu minnaa wa minkum yang artinya: Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian". [Majmu Al-Fatawa 24/253]

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar [Fathul Bari 2/446]: "Dalam Al Mahamiliyat dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya): Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya: Taqabbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)".

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata: "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain: Taqabbalallahu minnaa wa minka.

Imam Ahmad menyatakan : "Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)" [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]

Adapun ucapan selamat: "kullu 'aamin wa antum bikhair" atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia (di Indonesia "minal 'aidin walfaizin"), maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah (yang artinya): "Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?".
Kebolehan dalam syariat ALLAH saat berhari-raya

Diriwayatkan dari Aisyah radliyalahu 'anha, ia berkata (yang artinya): “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku sedangkan di sisiku ada dua anak perempuan kecil yang sedang bernyanyi (dalam riwayat lain ada lafadh "dan keduanya bukanlah penyanyi". Lihat Syarhu Muslim 6/182 oleh An-Nawawi) dengan nyanyian Bu'ats. Lalu beliau berbaring (bersandar di atas lengannya) di tempat tidur dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Masuklah Abu Bakar, lalu dia menghardikku dan berkata: "Suara syaitan di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam !?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menghadap ke Abu Bakar seraya berkata: "Biarkan kedua anak perempuan itu". Ketika ia lengah, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar".

Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (4/322) mengatakan: "Bu'ats, adalah hari yang terkenal di antara hari-harinya bangsa Arab. Pada hari itu suku Aus mendapatkan kemenangan yang besar dalam peperangan dengan suku Khazraj. Peperangan antara kedua suku ini berlangsung selama 120 tahun sampai datang Islam. Syair yang didendangkan oleh kedua anak perempuan itu berisi penggambaran (tentang) peperangan dan keberanian serta menyinggung upaya untuk membantu tegaknya perkara agama. Adapun nyanyian yang berisi kekejian, pengakuan berbuat haram dan menampakkan kemungkaran dengan terang-terangan melalui ucapan, adalah termasuk nyanyian yang dilarang. Tidak mungkin nyanyian seperti itu yang didendangkan di hadapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dilalaikan untuk mengingkarinya. Sabda beliau: "Ini adalah hari raya kita", beliau mengemukakan alasan dari Aisyah bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya merupakan syiar agama ini, dan tidaklah hari raya itu seperti hari-hari lain". Demikian ucapan Imam Al-Baghawi.

Dalam riwayat lain: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita". [Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari 949, 952, 2097, 3530, 3931. Diriwayatkan juga oleh Muslim 892. Ahmad 6/134 dan Ibnu Majah 1898].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata: "Dalam hadits ini ada beberapa faedah: Disyariatkan untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama. [Fathul Bari 2/443]

Judul asli: Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, yang terjemahannya dalam edisi Indonesia ada dua buku yaitu Hari Raya Bersama Rasulullah, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein; dan Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan.

dari berbagai sumber




.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami