Minggu, 05 September 2010

Hukum Shalat Ied



Sholat Ied hukumnya Fardlu 'Ain (wajib)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Id hukumnya wajib bagi setiap individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah (Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya) dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Adapun pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat Id tidak wajib, ini sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Id termasuk syi'ar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada berkumpulnya mereka untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan pula takbir di dalamnya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Id hukumnya fardhu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas." [Majmu Fatawa 23/161]

Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam Sailul Jarar (1/315): "Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid. [Hasan Khan dalam Al-Mau'idhah Al-Hasanah 42-43]

Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya (Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari 324, 352, 971, 974, 980, 981 dan 1652. Muslim 890, Tirmidzi 539, An-Nasaa'i 3/180 Ibnu Majah 1307 dan Ahmad 5/84 dan 85).

Semua ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib dengan kewajiban yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita.

Kemudian beliau rahimahullah berkata: "Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Id adalah: Shalat Id dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertetapan waktunya (yakni hari Id jatuh pada hari Jum'at -pent) sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -tatkala bertemu hari Id dengan hari Jum'at- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum'at ...." [Diriwayatkan Abu Daud 1073 dan Ibnu Majah 1311 dan sanadnya hasan. Lihat Al-Mughni 2/358 dan Majmu Al-Fatawa 24/212].

Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama'ah sejak disyari'atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Id" [Lihat Nailul Authar 3/382-383 dan Ar-Raudlah An-Nadiyah 1/142]
Waktu Pelaksanaan Sholat Hari Raya Ied

Abdullah bin Busr sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata: "Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih" (yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat). Lihat Fathul Bari 2/457 dan An-Nihayah 2/331.

Ini riwayat yang paling shahih dalam bab ini. Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq (catatan kecil di awal bab) dalam shahihnya 2/456 dan Abu Daud meriwayatkan secara bersambung 1135, Ibnu Majah 1317, Al-Hakim 1/295 dan Al-Baihaqi 3/282 dan sanadnya Shahih. Diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya (maksudnya jalur periwayatannya tidak kuat).

Berkata Ibnul Qayyim: "Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan (mengundur) shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit" [Zadul Ma'ad 1/442].

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: "Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri mereka" [Minhajul Muslim 278].

Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya.

Abu Daud 1157, An-Nasa'i 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginya".
Tidak ada sholat Sunnah sebelum/sesudah sholat Ied

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at pada hari Idul Fithri, beliau tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya...." [Hadits Riwayat Bukhari 989, At-Tirmidzi 537, An-Nasa'i 3/193 dan Ibnu Majah 1291]

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah: "Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukan shalat (sunah) ketika tiba di tanah lapang sebelum shalat Id dan tidak pula sesudahnya"
Sholat Ied Di Tanah Lapang

Berkata Al-Alamah Ibnul Hajj Al Maliki: "Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : (yang artinya): “Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi -pen) lebih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Haram". [Hadits Riwayat Bukhari 1190 dan Muslim 1394]. Namun, walau ada keutamaan yang sangat agung ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap keluar ke mushalla (tanah lapang) dan meninggalkan masjidnya. [Al-Madkhal 2/283]

Di sini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan Shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat.

Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangannya mushalla (tanah lapang yang digunakan untuk shalat Id) meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh ulama. [Lihat Nihayah Al Muhtaj 2/375 oleh Ar-Ramli]. Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah (fanatisme golongan) untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Shalat Ied Tanpa Adzan dan Iqamah

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah" [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532].

Berkata Ibnul Qayyim: "Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila tiba di mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ucapan "Ash-Shalatu Jami'ah". Yang sunnah semua itu tidak dilakukan. [Zaadul Ma'ad 1/442]

Imam As-Shan'ani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini: "Ini merupakan dalil tidak disyariatkannya azan dan iqamah dalam shalat Id, karena (mengumandangkan) azan dan iqamah dalam shalat Id adalah bid'ah" [Zaadul Ma'ad 1/442]
Tatacara Sholat Ied Rasulullah

Pertama: Jumlah raka'at shalat Id ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu (yang artinya): “Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]

Kedua: Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain dalam shalat -pent)

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku" [Riwayat Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya Shahih].

Peringatan: Termasuk sunnah, takbir dilakukan sebelum membaca (Al-Fatihah). sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud 1152, Ibnu Majah 1278 dan Ahmad 2/180 dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Id tujuh kali pada rakaat pertama kemudian beliau membaca surat, lalu bertakbir dan ruku' , kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian beliau membaca surat, takbir lalu ruku', kemudian sujud". Hadits ini hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat Irwaul Ghalil 3/108-112. Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/443,444).

Ketiga: Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Id [Lihat Irwaul Ghalil 3/112-114]. Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata: "Ibnu Umar -dengan semangat ittiba' (mengikut)nya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir" [Zaadul Ma'ad 1/4410]

Aku katakan: Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal 348: "Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Id diriwayatkan dari Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih. Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang"

Keempat: Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Id. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata (yang artinya): “Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jalla" [Diriwayatkan Al-Baihaqi 3/291 dengan sanad yang jayyid (bagus)]

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah: "(Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut". [Zadul Ma'ad 1/443]

Kelima: Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat Al-Qamar [Diriwayatkan oleh Muslim 891, An-Nasa'i 8413, At-Tirmidzi 534 Ibnu Majah 1282 dari Abi Waqid Al-Laitsi radhiyallahu 'anhu] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-A'la dan surat Al-Ghasyiyah [Diriwayatkan oleh Muslim 878, At-Tirmidzi 533 An-Nasa'i 3/184 Ibnu Majah 1281 dari Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu]

Keenam: (Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun. Untuk mengetahui hal itu disertai dalil-dalilnya lihat tulisan ustadz kami Al-Albani dalam kitabnya Shifat Shalatun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kitab ini dicetak berkali-kali. Dan lihat risalahku At-Tadzkirah fi shifat Wudhu wa Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, risalah ringkas.

Ketujuh: Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Id berjama'ah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at.

Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam "Shahihnya", pada "Bab: Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua raka'at" [Shahih Bukhari 1/134, 135 cet India]. Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/550 berkata setelah menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di atas): "Dalam tarjumah ini ada dua hukum: 1. Disyariatkan menyusul shalat Id jika luput mengerjakan secara berjamaah, sama saja apakah dengan terpaksa atau sengaja. 2. Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua raka'at."

Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla untuk shalat Id. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali" [Syarhu Taraji Abwab al Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu 5/27-29]

Orang yang terlambat dari shalat Id, hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat Id sebagaimana shalat-shalat lain [Al-Mughni 2/212]

Kedelapan: Takbir (shalat Id) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan [Al –Mughni 2/244 oleh Ibnu Qudamah]. Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Khutbah Setelah Shalat Ied

Ibnu Abbas berkata yang artinya: "Aku menghadiri shalat Id bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu 'anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah". [Riwayat Bukhari 963, Muslim 884 dan Ahmad 1/331 dan 346]

Ibnu Umar berkata (yang artinya): “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar menunaikan shalat Idul Fithri dan Idul Adha sebelum khutbah" [Riwayat Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa'i 3/183, Ibnu Majah 1276 dan Ahmad 2/12 dan 38]

Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan: ".... Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang diamalkan Al-Khulafaur Rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum'at- merupakan perbuatan bid'ah yang bersumber dari Marwan" [Dia adalah Marwan Ibnul Hakam bin Abil 'Ash, Khalifah dari Banni Umayyah wafat tahun 65H, biografinya dalam Tarikh Ath-Thabari 7/34]

Abi Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata (yang artinya): “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fithri dan Adha. Maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia sedangkan mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau lalu memberi pelajaran, wasiat dan perintah". [Dikeluarkan oleh Bukhari 956, Muslim 889, An-Nasa'i 3/187, Al-Baihaqi 3/280 dan Ahmad 3/36 dan 54]

Khutbah Id sebagaimana khutbah-khutbah yang lain, dibuka dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Yang Maha Mulia.

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah: "Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian untuk Allah. Tidak ada satu hadits pun yang dihafal (hadits shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri dan Adha dengan takbir...." [Zadul Ma'ad 1/447-448]

Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah Id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk. Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al-Bazzar meriwayatkan dalam "Musnad"nya (no. 53 Musnad Sa'ad) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan di antara keduanya dengan duduk. Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib: "Haditsnya mungkar".

Maka khutbah Id itu tetap satu kali seperti asalnya.

Tidak Wajib Menghadiri (Mendengarkan) Khutbah

Menghadiri khutbah Id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat, karena ada riwayat dari Abdullah bin Saib, ia berkata (yang artinya): “Aku menghadiri Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai shalat, beliau bersabda: "Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilah". [Diriwayatkan Abu Daud 1155, An-Nasa'i 3/185, Ibnu Majah 1290, dan Al-Hakim 1/295, dan isnadnya Shahih. Lihat Irwaul Ghalil 3/96-98].

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah (Zadul Ma'ad 1/448): "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi yang menghadiri shala Id untuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi" [Lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 24/214].
Sunnahnya mengambil jalan lain sepulang dari Mushalla

Telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radliallahu 'anhu, ia berkata (yang artinya): "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla-pen)" [Hadits Riwayat Bukhari 986].

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah : "Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Beliau pergi ke mushalla melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan itu. Ada yang mengatakan : Agar mendapatkan barakahnya dari beliau bagi kedua pengguna jalan yang berbeda. Dan dikatakan pula, agar beliau dapat memenuhi hajat orang yang butuh pada beliau di dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi'ar Islam .... Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- : Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kosong dari hikmah". [Zaadul Ma'ad 1/449].

Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas, beliau mengomentari: "Kalau pun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a'lam". [Raudlatut Thalibin 2/77]. Lihat ucapan Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (4/314).

dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami