Senin, 04 Maret 2013

Kisah Ikan Cinta



Bismillaah…

Tubuhnya kecil, mungil, ia lemah, kekuatannya pun serba kurang, ia pun juga memiliki keterbatasan. Kenalkan inilah ikan cinta alias ikan koi (dalam bahasa Jepang kata koi artinya cinta). Ikan yang memiliki warna tubuh yang indah, bersirip putih belang emas, sebagian tubuhnya berwarna kuning kemerah-merahan bertutul warna putih dan sisik ujung ekornya berwarna hitam putih. Dengan bibir yang aktif membuka dan menutup dan ingsang yang ia miliki pun dikepakkan untuk bernafas. Sungguh hidup di air inilah menjadi wadah atau habitat satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk dapat melangsungkan kehidupannya.

Namun tak disangka seketika bencana menimpanya ada suatu hal dan keadaan yang membuat si Koi dan teman-teman ikan lainnya terdampar jauh dari air. Hal yang dahsyat membuat dirinya menghadapai segala resiko dan permasalahan yang menerpanya. Ia terkapar jauh dan tergeletak di daratan. Bukan lagi pada bagian wadah atau tempat yang berisikan air, namun sebuah hamparan daratan pasir yang luas. Ia di hadapkan pada bebatuan yang berbaris, serakan sampah serta ancaman para pemangsa. Dalam kondis ini ia menghadapi kondisi yang berat, bahkan ia merasakan kesedih yang bukan main. Sungguh hidupnya kini berbeda jauh dengan lingkungan hidupnya di dalam air yang memang adalah habitatnya.

Bisa kita bayangkan apa dirasakan oleh si Koi ketika kondisinya di daratan sangat sulit untuk hidup. Meskipun ia punya tubuh kecil mungil yang lemah namun ia memiliki semangat yang luar  biasa untuk menggerakan badannya menuju pada habitatnya. Dengan pelan ia mengepak-kepakan insang, berkelok mencoba menggulingkan badannya, bahkan terengah-engah nafas karena nyaris kehabisan tenaga saking sulitnya bernafas baginya. Bibirnya dengan kuat-kuat digerakan berharap agar tetap dapat bisa hidup. Ia pun ingin rasanya berteriak meminta pertolongan namun apa daya, banyak yang tak memahami akan kondisinya. Dengan otomatis ia terus dan terus berjuang menggerakan siripnya, ekor dan badannya menuju wadah air tempat hidupnya. Segala daya dan upaya ia kerahkan, apapun ia lakukan, tak peduli akan bebatuan yang harus ia benturkan. Tak peduli ada gundukan pasir menghadang, bahkan baris bebatuan menghampar didepan matanya tak ia pedulikan, terus dan terus ia gerakan badannya menuju ke air.

Begitu besar pengorbannya, ia menyadari dan mengetahui akan betapa sakitnya yang sangat ketika ia harus berbenturan dengan pasir, ketika ia harus berbenturan dengan bebatuan. Atau bahkan benturan dengan sampah serta karang di sepanjang perjalanannya yang harus ia lalui menuju ke air.

Ketika ia terdampar, ternyata ia tak terdampar seorang diri, lihatlah disekitarnya ada berpuluh-puluh ratus ikan lainnya yang turut terdampar di daratan. Namun kondisi mereka berbeda dengan usaha si Koi. Ikan lain merasakan bahwa kondisinya saat ini yang membuat susah bernafas dan jauh dari habitatnya membuah ia lengah dan putus asa. Mereka yakni ikan-ikan lainnya justru menyerah pada kondisi. Meraka tak ada usaha untuk menggerakan tubuhnya menuju ke air, jikalau bergerak itupun hanya sedikit dan akhirnya menyerah dengan keadaan. Ikan-ikan yang lain pun sebenarnya juga menyadari akan sakitnya berbenturan dengan pasir dan bebatuan yang menyakiti tubuhnya. Ia pun tahu resiko akan sakitnya, namun apa daya mereka lebih memilih mundur tak menghadapi rintangan yang ada disekitarnya. Bahkan mirisnya banyak ikan-ikan yang akhirnya berujung pada kematian, menjemput tubuh membusuk dan tentu hal ini mereka tak dapat lagi melanjutkan kehidupannya.

Si Koi, meskipun kecil, lemah, serba kurang dan terbatas, karena atas keinginan untuk melanjutkan kehidupannya muski banyak tantangan senantiasa ia upayakan untuk dihadapinya. Baginya "Tak ada sesuatu yang tak mungkin ketika ia berusaha untuk memperjuangkannya". Pelan namun pasti si Koi hampir sampai kepada tepi air, dengan tubuh yang sudah sangat lengah, kehabisan tenaga dan kesakitan tubuh yang sangat akibat berbenturan dengan bebatuan. Ya, hanya tinggal satu langkah lagi, sebentar lagi, "Yak" ia hampir sampai di air dan menggerakan badannya yang terakhir terkapak-kapak dan “Byuuuur” memasuki air. Alhamdulillah ia selamat dapat bernafas normal untuk melanjutkan kehidupan nya karena sudah kembali pada habitatnya.

Sebuah analogi wahai saudariku, apabila kita ingin memahami bahwa hidup si Koi diatas adalah sama dengan kondisi kita, umat muslim saat ini. Yang harusnya kita bisa hidup melanjutkan kembali kehidupan Islam, namun sebuah keputusan kita terdampar hidup sejenak pada sistem kufur Demokrasi-sekuler. Sebuah kondisi yang tak bisa membuat kita hidup dengan kehidupan yang semestinya. Banyak kewajiban dan hak-hak kita yang tak kita dapati dan kita tak bisa melakukannya secara Kaffah. Inilah kondisi umat, ketika umat muslim hidup bukan pada habitatnya ia akan terkondisikan berat menjalankan aturan Islam dan bahkan tak dapat melangsungkan kehidupan Islamnya. Ya, karena sistem sekarang bukan habitatnya.

Maka menjadi kewajaran apabila kita sedang, dan akan menemui kesulitan hidup di sistem Demokrasi-sekuler saat ini. Tidak bisa menjalankan kehidupan yang Islam, tidak dapat menjalankan supra sistem dan sub-sub sistem yang telah Islam aturkan. Hidupnya pun rasanya sesak sebagaimana yang dirasakan oleh si Koi yang sulit bernafas ketika hidup bukan pada habitatnya. Kita pun juga sesak hidup dalam lingkaran kejahatan sistem Demokrasi-sekuler karena tidak diterapkannya aturan Allah secara menyeluruh.

Lantas bagaimana dengan pasir dan bebatuan yang selalu menghampar pada perjalanan si Koi? Itu ibarat benturan dan halangan serta ujian kita saat ini yang sedang memperjuangkan kehidupan Islam. Sesungguhnya "Zona yang sama" antara si Koi yang berjuang dan ikan-ikan lainnya yang tidak berjuang atau menyerah pada keadaan yakni sama-sama mendapatkan suatu ujian, cobaan serta resiko. Berbagai benturan selalu ada, maka bagi kita yang sedang berjuang untuk menuju kehidupan Islam jangan menyerah untuk senantiasa menghadapi atau mencari benturan. Karena alamiahnya sebuah benturan itu pasti adanya. Seperti si Koi yang senantiasa mencari benturan bebatuan agar ia dapat sampai pada habitatnya. Maka benturan kita saat ini adalah berbenturan dengan ideologis selain Islam yakni Kapitalisme dan Sosialisme, yang jelas bertentangan dengan aqidah Islam.

Bagi para pengemban dakwah Islam jangan surut apabila dalam perjalanan dakwahnya menemukan suatu benturan peradaban. Karena yang namanya benturan adalah suatu niscaya yang pasti adanya sehingga tak ada istilah "Zona Nyaman". Bahkan zona nyaman pun juga tidak berlaku bagi orang-orang yang tak memperjuangkan. Sebagaimana ikan-ikan yang akhirnya mereka menyerah pada kondisi sistem, mereka menyerah dan berujung kepada kematian. Maka bagi kini tang tak memperjuangkannya pun terancam kematian pula yakni “Kematian aqidahnya”. Ingatlah, bahwa sejatinya benturan juga dialami bagi yang berjuang maupun bagi yang tidak berjuang.

Pelan tapi pasti, apabila kita senantiasa mau dan melalui sebuah rintangan serta menjalani sebuah perjuangan menuju habitat yang hakiki. Maka cukuplah dengan prosedur metode dakwah Rasulullah saw. Pelan tapi pasti, kita pasti akan mencapai pada visi melanjutkan kembali kehidupan Islam.

Memang hidup itu butuh perjuangan, sebagaimana si Koi yang ia sifatnya lemah, terbatas dan serba kurang namun karena kegigihan akan usahanya ia berhasil menuju kepada habitat yang sesungguhnya. Manusia pun juga demikian, ia memiliki sifat lemah, terbatas dan serba kurang, inilah kefitrahan manusia yang sejatinya manusia butuh dengan Sang Maha Kuasa. Sehingga hidup bukan untuk hidup sebabas-bebasnya tanpa aturan melainkan hidup untuk taat dengan mengabdi kepada Sang Pencipta Hidup yakni Allah swt. (Lihat QS. Adz Dzariyat: 56)

Sungguh benturan peradaban adalah suatu keniscayaan bahkan zona nyaman pun tak akan berlaku bagi pejuang dan yang tidak memperjuangkannya. Maka bukan saatnya lagi kita “heran” jika kita membawa Islam, Syariah dan Khilafah seolah menjadi orang yang terasing. Bukankah Rasulullah saw pernah mengkabarkan “Sesungguhnya bermula datangnya Islam dianggap asing (aneh) dan akan datang kembali asing. Namun berbahagialah orang-orang asing itu. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud orang asing (aneh) itu?" Lalu Rasulullah menjawab, "Orang yang melakukan kebaikan-kebaikan di saat orang-orang melakukan pengrusakan." (HR. Muslim)

Jika detik ini kita berharap untuk mendapatkan Zona Nyaman. Maka satu-satunya langkah adalah tetap hadapilah benturan dan pegang kuat ikatan aqidah dengan berjamaah untuk senantiasa Istiqomah dijalan-Nya. Karena Zona Nyaman yang sesungguhnya bukanlah mundur dari perjuangan dakwah atau menyerah pada kondisi sistem saat ini, akan tetapi kita bisa hidup abadi ditempat yang teduh, yang nyaman, yang tak ada lagi kekuatiran didalamnya. Yakni kita dapat hidup berbagi tempat di Surga-Nya bersama para Syuhada. Semoga Allah mengizinkan saya, anda dan kita untuk bisa meraih Zona Nyaman yang demikian. Insyallah Allahumma Aamiin. Semoga menginspirasi =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami